Mengapa di kota sebesar Jakarta tidak banyak orang yang mencatat sejarah kulinernya? Mengapa juga tidak banyak yang membuat ulasan tentang kulinernya?
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·5 menit baca
Sangat sedikit orang yang mau mencatat kehadiran dan menghilangnya makanan di dalam sebuah gaya hidup sebuah kota. Makanan masih banyak dianggap sekadar mengisi perut. Padahal, makanan menjadi salah satu indikator perubahan sosial dan gaya hidup sebuah kota. Dari makanan pergerakan ekonomi dan politik sebuah kota juga bisa dibaca.
Salah satu di antara yang sedikit pembaca berbagai perubahan kota dari kacamata kuliner itu adalah Kevindra Prianto Soemantri (29). Ia seorang penulis pangan (food writer) dan sekaligus kritikus kuliner dan restoran. Lebih dari sekadar predikat itu, ia boleh dibilang pencatat perubahan kota, secara khusus Jakarta, melalui perubahan gaya hidup kulinernya.
Sore itu, kami bertemu di sebuah restoran di kawasan Blok M, Jakarta. Baru saja kami bertemu, Kevin, begitu panggilannya, terampil bercerita tentang restoran tersebut dan juga menu makanan yang menjadi ciri khasnya.
Sebelum berjumpa, seharian ia bertemu dengan orang-orang bergerak di industri kuliner dan restoran. Sore itu, ia tetap tidak tampak lelah dan bersemangat bercerita soal perkembangan kuliner Jakarta.
Kevin juga langsung bercerita tentang perubahan-perubahan di Jakarta dari kacamata kuliner, seperti kafe yang marak, restoran steik yang tumbuh kembali, dan kawasan Senopati yang makin ikonik. Akan tetapi, ia juga mengeluh. Jakarta sebenarnya memiliki potensi kuliner besar, tetapi sangat sedikit yang mau mencatat dan mendokumentasikannya.
”Mengapa di kota ini tidak banyak yang mencatat sejarah kulinernya? Mengapa juga tidak banyak yang membuat ulasan tentang kulinernya?” tanya Kevin. Tak hanya itu, banyak hal yang bisa ditulis dari makanan dan perubahan kota. Bahkan, termasuk investigasi denyut perubahan itu melalui kehadiran dan menghilangnya makanan beserta orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Kevin berusaha mencatat berbagai perubahan itu baik sekadar berupa catatan di laptop maupun kemudian menjadi buku. Sampai saat ini, Kevin telah menulis lima buku tentang kritik restoran dan kuliner serta sejarah kuliner. Buku itu adalah Adiboga Khas Eropa (GPU 2015), Top Tables: A Food Traveller’s Companion (Studio Geometry 2019), The Art of Restaurant Review (KPG 2020), Jakarta A Dining History (GPU 2021), dan satu lagi buku yang dalam waktu dekat hendak diluncurkan. Ia juga menjadi pencerita kuliner di salah satu acara di kanal Netflix.
”Saya ingin lebih banyak lagi penulis kuliner hadir di Indonesia, bahkan kalau bisa di setiap kota ada para penulisnya. Saya sendiri tidak akan mencatat dan mendokumentasikan semuanya. Saya lebih percaya diri kalau saya hanya berbicara kuliner dan perubahan Jakarta,” tuturnya.
Masa kecil
Kevin menuturkan minatnya untuk menjadi penulis sebenarnya muncul dari kehidupan masa kecilnya. Kakek dan neneknya telah memperkenalkan berbagai cita rasa makanan sedari ia kecil. Mereka juga kerap mengajak Kevin mengunjungi berbadai restoran di Jakarta. Setelah itu, kedua orangtuanya yang kebetulan juga mengelola restoran memperkenalkan hal yang sama dan malah lebih jauh, yaitu terlibat di dalam pengelolaan restoran.
”Saya masih ingat waktu saya bersekolah di TK dan sampai SD kelas III, saya sering ikut orangtua saya ke restoran mereka di kawasan SCBD Jakarta. Waktu itu di kawasan itu dikenal sebagai warung tenda,” kisah Kevin. Warung tenda bermunculan dan digagas oleh beberapa kalangan saat krisis moneter melanda Indonesia tahun 1997-1999. Warung tenda itu terus berdiri sampai beberapa tahun kemudian, tetapi kemudian tutup.
Setiap akhir pekan, ia diajak kedua orangtuanya berada di tempat itu. Kevin bisa merasakan suasana restoran dan sejumlah tempat makan di kawasan itu. Bau asap, hirup pikuk orang, lalu lalang selebritas, dan juga pertemanan dengan anak-anak pemilik restoran membekas di hati dan pikirannya. Ia juga ingat ibunya yang membuat dan meramu bumbu di rumah karena takut kalau dibuat di restoran bisa ditiru orang.
Setelah itu semua berjalan biasa. Waktu remaja dia tak terlalu memikirkan dunia kuliner. Saat SMA kelas I dan II, ia lebih serius belajar tentang ekonomi dan bisnis. Kevin ingin kuliah di perguruan tinggi ternama di bidang itu. Apalagi di sekitarnya juga banyak yang menekuni bisnis. Namun, saat kelas III minatnya berubah. Acara-acara kuliner di televisi menggiring minatnya ke dunia kuliner.
”Kenangan saya semasa kecil di warung tenda itu kembali muncul. Saya merasakan kembali dunia saya, katanya. Minatnya berubah dari dunia menekuni dunia bisnis ke dunia kuliner. Ia pun banting stir. Rencana kuliah di bidang ekonomi dan bisnis tak lagi menjadi fokusnya. Ia kemudian mengambil studi di Jakarta Culinary Center.
Setelah itu, ia magang di Bvulgari di Bali dan sempat bekerja di tempat itu. Saat bekerja di Bali, Kevin membaca sejumlah artikel dari beberapa media. Ia juga sempat menjadi finalis Master Chef Indonesia musim 1 tahun.
Akan tetapi, ia mulai tertarik dengan dunia kepenulisan makanan dan restoran. Keinginan itu tetap tersimpan hingga ketika berada di Jakarta ia bertemu dengan temannya dan diminta membantu membuat naskah berkaitan dengan sebuah acara di Kokiku TV.
”Itu pertama saya terjun ke media dan setelah itu saya diminta menulis di The Jakarta Post,” katanya. Sejak saat itulah, ia menekuni dunia kepenulisan kuliner hingga sekarang.
Baginya, dunia kuliner dan Jakarta tidak akan habis dikupas. Orang bisa melihat perubahan-perubahan sebuah kota melalui perubahan kuliner. Ia sendiri kagum dengan sejumlah penulis kuliner global yang mampu mengungkap gerak-gerik sebuah kota melalui kuliner dan kehadiran rumah makannya.
Kevindra Prianto Soemantri
Lahir: Jakarta 13 Mei
Pendidikan:
- Jakarta Culinary Center: Professional Chef Class (2011).
- La Fondation Le Cordon Bleu: Gastronomic Tourism Professional (2021)
Pekerjaan:
- Penulis kuliner dan kritikus restoran di sejumlah media
- Editorial Director & Restaurant Editor www.feastin.id