Junita Batubara Meneliti Musik Suku Terpinggirkan
Junita Batubara menggunakan pengalaman meneliti musik suku terpinggirkan untuk menjadi inspirasi karyanya.
Ada buah manis dari aktivitas seorang pendidik dan komponis Junita Batubara ketika meneliti musik suku terpinggirkan di Tanjung Malim, Malaysia. Ia meraih penghargaan sebagai Dosen Terbaik Internasional dari Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia, pada 2018.
Selain mendapat penghargaan, Junita merasa ada hikmah lebih besar dari peristiwa itu. ”Kami memiliki keanekaragaman suku termasuk yang paling kaya di dunia. Setiap suku memiliki ekspresi hiburan, di antaranya bermain musik. Dari sinilah sekarang kita bisa meneliti dan melahirkan musik-musik kontemporer dunia,” ujar Junita, Selasa (12/4/2022) di Medan, Sumatera Utara.
Junita meneliti musik dan kehidupan komunitas yang masih mengisolasi diri di sekitar Sungai Bil di Tanjung Malim. Lokasinya dari Kuala Lumpur hanya berjarak sekitar 30 kilometer. Sejauh ini, komunitas tersebut kerap disebut sebagai orang asli Malaysia.
Komunitas ini memiliki kekhasan meniru suara-suara dari alam. Mereka mengolah vokal, bukan bersiul untuk membunyikan suara-suara burung. Hal itu dilakukan untuk merayakan sebuah perolehan rezeki. Menurut Junita, masyarakat Batak memiliki tradisi serupa, tetapi dilantunkan ketika berduka.
”Musik bagi orang asli masih dominan dari vokal, meskipun ada pula permainan seruling pentatonik dan gendang kecil satu membran. Juga masih ada musik lesung,” ujar Junita, yang mengajar di Fakultas Bahasa dan Seni di Universitas HKBP Nommensen, Medan, sejak 2002 hingga sekarang.
Junita meraih gelar doktoral bidang Pengkajian Komposisi Musik dari Universiti Sains Malaysia (USM), Pulau Penang, Malaysia, pada 2013. Disertasi doktoralnya, ”Pengkaryaan Opera Dua Zaman-Hikayat Siboru Deakparujar: Penggabungan Musik Barat dan Musik Batak Toba”.
Pada 2016 ia mulai dikontrak selama 2,5 tahun untuk menjadi dosen internasional di Universitas Pendidikan Sultan Idris di Tanjung Malim. Di situ, Junita tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk meneliti musik dari komunitas orang asli Sungai Bil. Komunitas ini memang terpinggirkan di Malaysia. Saat ini mereka kurang memperoleh akses dan perlindungan negara. Mereka pun masih enggan berbaur dengan komunitas sosial lain.
Junita menelusuri kawasan sungai Bil dan menjumpai komunitas orang asli tidak lebih dari 300 orang. Di antara mereka masih ada yang lebih suka tinggal di atas pohon.
Junita mendiskripsikan bentuk tubuh orang-orang asli itu. Mereka mempunyai kecenderungan warna kulit sawo matang, berambut keriting, dan tubuhnya relatif pendek. Kehidupan religi mereka masih terbilang animisme dan dinamisme. Nuansa magis masih dimuliakan di tempat-tempat tertentu di lingkungan mereka.
Hibah penelitian
Dengan motivasi tinggi untuk meneliti musik orang-orang asli Sungai Bil, pada 2017 Junita pun meraih Pemenang Hibah Penelitian dari Malaysia. Ia mengajukan judul penelitiannya, ”Programmatic Musik of Life in Tanjung Malim, Malaysia”.
”Dari wajah dan rambut orang asli yang keriting, saya membayangkan mereka seperti saudara-saudara kita yang berada di Nusa Tenggara Timur. Orang asli juga pernah melantunkan sebuah lagu, ternyata ada kemiripan dengan bahasa dari suatu lagu Spanyol,” ujar Junita, yang menuntaskan studi magister S-2 untuk program Penciptaan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2005.
Junita mengetahui kemiripan dengan bahasa dan lagu Spanyol di antaranya dari beberapa kursus musik di negara lain. Pada 2002, ia mengikuti kursus musik di Asian Institute Liturgy Manila Samba-Likhaan, Manila, Filipina.
Pada kesempatan lain, di tahun 2008 sempat pula mengikuti kursus Ear Training For Music, serta kursus Jazz Piano. Keduanya ditempuh di Malaysia.
Suatu ketika, Junita tidak hanya menjumpai alat musik orang asli yang berupa seruling, kendang kecil, atau lesung. Ia melihat ada suatu alat musik seperti kecapi dengan dawai yang dipetik. Alat musik itu tidak pernah dimainkan. Mereka menyampaikan saat ini sudah tidak ada lagi yang bisa memainkan alat seperti kecapi tersebut.
”Ketika bulan purnama, muda-mudi di sana sering memainkan musik seruling dan gendang kecil saja,” ujar Junita, yang kini menjabat Dekan Fakultas Bahasa dan Seni di almamaternya untuk periode 2019-2023.
Dengan pilihan hidup mengisolasi diri, maka tradisi unik komunitas orang asli Sungai Bil masih terawat hingga kini. Di sisi lain, komunitas ini menjadi makin terpinggirkan, terutama karena enggan berbaur dengan kelompok sosial lainnya.
”Saya pernah ke Australia dan melihat komunitas orang asli di Tanjung Malim ini seperti komunitas Aborigin di Australia. Kehidupan mereka makin terpinggirkan, meski masih menyimpan suatu peradaban tertentu terutama di bidang musik,” ujar Junita.
Baca juga: I Wayan Pendet Menanam Padi Dalam Diri
Peradaban orang asli Tanjung Malim kini juga makin terimpit. Ini disebabkan pembukaan area di dekat hunian mereka menjadi kawasan industri. Masyarakat yang heterogen dari Kuala Lumpur mulai banyak bekerja di situ. Ketika di hari libur Sabtu dan Minggu, mereka pulang ke Kuala Lumpur.
Inspirasi karya Junita tidak hanya mengamati, tetapi juga merekam permainan musik orang-orang asli. Ini menginspirasi Junita untuk menciptakan komposisi musik instrumen berupa perpaduan vokal dan musik orang-orang asli dengan suara alat musik modern, seperti biola, gitar, piano, saksofon, dan terompet.
”Saya membuat perpaduan seperti itu menjadi sebuah komposisi musik instrumen. Judulnya, My Life in Tanjung Malim yang pernah dipentaskan di Universitas Pendidikan Sultan Idris pada 2018,” kata Junita.
Komposisi My Life in Tanjug Malim berdurasi sekitar 20 menit. Junita yang menguasai penciptaan lagu dan musik berhaluan Barat itu seperti menemukan oase baru. Musik dan lagu yang terinspirasi dari komunitas terasing itu terus berkembang.
Pada 2019, Junita menggubah komposisi musik berjudul ”Alam Menyapa”. Ini seperti ringkasan My Life in Tanjung Malim dan berdurasi hanya lima menit. Di situ tidak ada lagi suara rekaman orang-orang asli. Junita menampilkan komposisi musik yang dimainkan dengan alat-alat musik modern Barat.
”My Life in Tanjung Malim dan komposisi ’Alam Menyapa’ untuk menceritakan kehidupan keseharian orang-orang asli di Tanjung Malim,” ujar Junita.
Masih di tahun 2019, Junita juga menggubah komposisi musik yang diberi judul ”Renungan”. Ia menampilkan instrument petikan dawai yang dibaurkan nyanyian lirik bahasa orang asli Tanjung Malim.
”Nyanyian orang asli itu saya rekam dari nyanyian mereka ketika suatu saat menyambut kedatangan saya. Ini peradaban yang luar biasa dan membuat saya kadang berpikir, mana yang lebih beradab di antara mereka yang terpinggirkan atau masyarakat yang ada di luar mereka,” ujar Junita, yang lantas menceritakan suatu pengalaman pahit.
Ketika itu untuk pertama kali Junita mengunjungi komunitas orang asli sungai Bil dan diantar seorang sopir taksi. Dalam sebuah percakapan, sopir taksi menyebut Junita sebagai bagian dari orang Indon. Orang Indon pun dikonotasikan sebagai pekerja atau pembantu rumah tangga asal Indonesia di Malaysia.
Junita mencak-mencak. Ia berontak, tidak mau disebut sebagai orang Indon dengan konotasi yang rendah. Ia menyampaikan kepada sopir taksi tersebut, tidak semua orang Indonesia yang datang ke Malaysia untuk menjadi pembantu rumah tangga.
Junita berujar, ia datang ke Malaysia sebagai ilmuwan. Sejak 2017 hingga sekarang, Junita masih tercatat sebagai Pembimbing Tugas Akhir Doktoral di Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI), Malaysia.
Ini riwayat Junita di negeri jiran. Di sana Junita menerbitkan impian untuk menggubah makin banyak komposisi yang mengolah musik dari suku-suku yang mungkin pula terpinggirkan di Tanah Air. Ini hikmah lebih besar yang diraih Junita.
Junita Batubara
Lahir: Padang Sidimpuan, 20 Juni 1972
Pendidikan:
- S-1 Universitas HKBP Nommensen, Medan, Program Studi Teori dan Komposisi (2000)
- S-2 Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, Program Studi Penciptaan (2005).
- S-3 Universiti Sains Malaysia (USM), Pulau Penang-Malaysia, Program Studi Pengkajian Komposisi Musik (2013) Pekerjaan:
- Komponis
- Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas HKBP Nommensen, Medan
Karya Komposisi:
- Opera Monolog “VIO”, 2005
- Operette Multimedia “Butteria dan Ladiffa”, 2007
- Musical Drama ”Dream a Dream” (Expressing Dream with Creative, For Special Needs) Disteg College, Penang-Malaysia, 2009.
-”Dialogue” (Mostly 20th & 21st Century Piano Music- In a Recital Tour of Shah Alam (Malaysia), Penang (Malaysia), Medan (Indonesia), Bangkok (Thailand)
-“Tjong A Fie” (Chamber Music), Beijing, 2012
- “Saudara-Saudara Inilah Cerita”, Yogyakarta, 2014
- “Song of Birds” (Ansamble), Universitas Pendidikan Sultan Idris, Malaysia, 2018
- Rebawang Malim (Kompilasi Karya Album), Malaysia, 2019
- “Roha Na Marpangkirimon” (Opera Batak), Balige, Medan, 2019
- Perempuan Tiga Zaman (Opera Monolog), Medan, 2020
- “Alam Menyapa” (Ansambel), Medan, 2020
- “Aktivitas” (Ansambel), Medan, 2020.
- “Renungan” (Ansambel), Medan, 2020.