Jon Batiste, Musik adalah Pengalaman Spiritual
Bagi Jon Batiste, musik tak semata hiburan. Musik adalah pengalaman spiritual.
Di album We Are, musisi multigenre Jon Batiste (35) menampilkan kayanya pengaruh musik pada dirinya, mulai dari musik yang berakar di keluarganya yang berasal dari New Orleans hingga permainan video Sonic the Hedgehog. We Are menjadi album terbaik di ajang Grammy Awards ke-64 yang digelar di Grand Garden Arena, Las Vegas, Amerika Serikat, Minggu (3/4/2022) waktu setempat.
Daftar prestasi Jon Batiste kini kian panjang. Setelah menyandang gelar sebagai peraih piala Oscar dan Golden Globe, serta dikenal sebagai pemimpin band dan direktur musik untuk acara The Late Show with Stephen Colbert, Batiste kini juga jawara Grammy.
Di ajang Grammy Awards tahun ini, Batiste dinominasikan untuk 14 kategori dan berhasil memboyong lima di antaranya. Selain Album Terbaik, Batiste juga menyabet piala untuk Best American Roots Performance (Cry), Best American Roots Song (Cry), Best Score Soundtrack For Visual Media (Soul), dan Best Music Video (Freedom).
Dengan prestasinya itu, Batiste tak hanya berhasil mengungguli nama-nama yang biasa menduduki tangga lagu papan atas seperti Justin Bieber, Olivia Rodrigo, Doja Cat dan Billie Eilish. Tak kalah mengesankan, namanya yang ”beredar” di tujuh kategori, mulai dari ranah umum, R&B, Jazz, American Roots, Visual Media, klasik, serta Video/Visual, menjadi bukti talentanya yang luar biasa.
Baca juga: Olivia Rodrigo, Bintang Pop Generasi Baru
Meski begitu, kemenangan Batiste mencuatkan spekulasi baru tentang institusi Recording Academy. Kemampuan serta dedikasi Batiste pada kesetaraan dinilai telah menarik simpati para pemilih yang selama ini dikenal tak terlalu progresif.
Dalam hal penghargaan untuk kategori utama bagi artis kulit hitam, Recording Academy dianggap memiliki jejak suram. Batiste adalah musisi kulit hitam pertama dalam 14 tahun terakhir yang berhasil memenangi Album of The Year. Sebelumnya, duo hiphop OutKast asal Amerika Serikat merupakan satu-satunya musisi kulit hitam berusia di bawah 65 tahun yang merebut penghargaan tersebut untuk album ganda 2003 mereka, Speakerboxxx/The Love Below. Baru setelah itu, Ray Charles dan Herbie Hancock masing-masing memenangi kategori yang sama untuk album jazz kolaborasi.
”Musik membuatku tetap muda. Albumku memiliki kehidupan dan merupakan pencapaian artistik dari masa lalu, sekarang, dan masa depan,” tuturnya tentang album We Are. Album tersebut digarap selama enam hari di akhir tahun 2019.
Beberapa lagu di album We Are menyuguhkan estetika akustik funk dari tahun 1960-an, tetapi di bagian lainnya merepresentasikan tahun 1990-an. Salah satunya ”Cry”. Di lagu ”Boy Hood”, kolaborasi Batiste dengan Trombone Shorty dan PJ Morton, Batiste merombak komponen estetika musik untuk meditasi menjadi kegembiraan masa kanak di New Orleans. Di lagu ”Freedom”, Batiste mencoba masuk ke dalam sebuah lagu pergerakan lama lalu memelintirnya menjadi sebuah lagu kebangsaan untuk pesta.
Tak bisa dimungkiri, latar belakang Batiste, lahir dan tumbuh di New Orleans, di mana tradisi instrumental kulit hitam yang mati 50 tahun lalu di sebagian besar negara bagian lain masih berlanjut, bervibrasi sangat kuat dalam We Are.
Gim
Batiste lahir di Louisiana, di sebuah dinasti baru keluarga musik New Orleans, yaitu Keluarga Batiste (Batiste Family). Kelompok ini terdiri atas 25 orang, termasuk sang ayah, Michael Batiste. Pada usia delapan tahun, Batiste bermain perkusi dan drum dengan saudara-saudaranya di Batiste Brothers Band yang didirikan ayahnya. Mereka memainkan banyak genre musik termasuk R&B, soul, funk, dan musik New Orleans.
Seperti kebanyakan anak-anak, Batiste menyukai video gim. Namun berbeda dari anak-anak lainnya, dia selalu terpesona dan mempertanyakan mengapa musik meningkatkan pengalaman bermain para pemain gim, juga kisah-kisah yang disampaikan melalui musik.
Batiste kemudian menggunakan lagu pengiring gim dan lagu-lagu soundtrack sebagai inspirasi awal musiknya, seperti ”Street Fighter Alpha”, ”Final Fantasy VII”, dan ”Sonic the Hedgehog”. ”Gim secara tidak sadar mengajariku tentang cara membuat tema menarik yang ingin Anda dengar berulang kali. Tapi di saat yang sama, temanya tidak boleh mengganggu,” ujarnya pada Washington Post.
Pada usia 17 tahun, Batiste masuk ke Juilliard School di New York, yang membuatnya menyerap sifat-sifat kota setelah lama tenggelam dalam budaya jazz New Orleans. Bersama bandnya, Stay Human, dia memainkan konser kecil untuk pengguna kereta bawah tanah, sebagai refleksi permenungannya akan pengaruh musik terhadap budaya kota.
”Musik selalu menjadi cara bagi orang untuk mengatasi kesulitan dan mencari cara untuk benar-benar terhubung dengan kemanusiaan mereka ketika segala sesuatu di sekitar mereka mencoba menggilas kemanusiaan mereka,” ujarnya.
Sejak pindah ke New York, Batiste dan Stay Human mengemban misi untuk memperkenalkan jazz kepada audiens yang tak terlalu terpapar musik, memadukannya ke dalam budaya kota New York. ”Budaya New York adalah budaya tercepat, paling eklektik dan beragam di planet bumi. Ini memengaruhiku untuk selalu berpikir, selalu bergerak dan selalu beusaha mengasimilasi hal-hal baru,” ujarnya.
Batiste juga menggunakan musiknya untuk bersuara. Tahun lalu, Batiste ambil bagian di acara Juneteenth di Brooklyn, sebuah konser protes pada seri yang disebut We Are. Batiste membawakan lagu kebangsaan ”Star Spangled Banner” yang digambarkannya sebagai lagu yang menuntut sebuah penemuan kembali.
Baca juga: Jack Antonoff, Meracik Alirannya Sendiri
”Cara Jimi Hendrix membawakan lagu itu, cara Marvin Gaye atau Whitney (Houston) menyanyikannya, tradisi itulah yang kupikirkan ketika memainkannya. Diaspora yang mereka masukkan ke dalamnya, adalah respons terhadap ideologi beracun yang tertanam dalam lagu, dan kemudian dalam budaya,” ujarnya.
Baginya, seperti diungkapkan dalam pidato kemenangannya, musik lebih dari sekadar hiburan. Musik adalah pengalaman spiritual. Banyak hal melingkupinya, termasuk kisah personalnya dengan sang istri, penulis Suleika Jaouad.
Merujuk pada musisi dan tokoh panutan Batiste, Louis Armstrong, virtuoso jazz yang memulai kariernya sekitar satu abad lalu, campuran keramahan dan keseriusan, semangat menyebarkan kerendahan hati, penekanan pada nilai-nilai di luar klaim politik, dan talenta yang luar biasa, adalah semua yang ada pada Batiste. Semuanya terangkum di album terbaik tahun ini, We Are. (PEOPLE/THE NEW YORK TIMES)
Jonathan Michael Batiste
Lahir: Louisiana, 11 November 1986
Diskografi (antara lain):
- Times in New Orleans (2005)
- Jazz Is Now (2013)
- Hollywood Africans (2018)
- Meditations with Cory Wong (2020)
Film: Red Hook Summer
Serial: Treme (HBO)