Buku ”Identity In a Piece of Cloth, The Batak Ulos” menjadi puncak ekspresi kecintaan Torang Sitorus pada ulos. Torang membawa ulos ke industri mode, menghidupkan tenun ulos berkualitas, dan menyejahterakan petenunnya.
Oleh
NIKSON SINAGA
·6 menit baca
Buku berjudul Identity In a Piece of Cloth, The Batak Ulos menjadi puncak ekspresi kecintaan Torang Sitorus (44) pada ulos. Ia merangkum makna, filosofi, dan fotografi koleksi ulos terbaiknya. Lebih dari 20 tahun Torang membawa ulos ke industri mode, menghidupkan tenun ulos berkualitas, dan menyejahterakan petenun kain tradisional Batak itu.
Torang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya dalam peluncuran buku The Batak Ulos yang dikemas bersama peragaan busana berbahan kain ulos di Glass House, Medan, Sumatera Utara, Senin (21/3/2022). Kebahagiaannya itu mengingatkan pada momen penting awal perjalanan hidup Torang mencintai ulos.
Ketika berusia belasan tahun, Torang mengingat dengan sangat jelas kebahagiaan mendalam terpancar dari wajah ibunya ketika menerima ulos harungguan dari kerabatnya. ”Kebahagiaan mendalam itu menunjukkan ulos bukan sekadar karya seni atau penghias tubuh, melainkan wujud dari harapan, doa, dan berkat yang menyertai perjalanan hidup orang Batak mulai dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian,” kata Torang.
Kecintaan Torang pun semakin kuat karena sejak kecil ia sangat dekat dengan ulos. Torang lahir di Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, kota kecil di selatan kawasan Danau Toba. Ayahnya adalah seorang tokoh adat dan ibunya pencinta kain ulos. Saat libur sekolah, orangtuanya sering membawanya ke sejumlah daerah di kawasan Danau Toba untuk melihat berbagai aktivitas bertenun dan keindahan Danau Toba.
Torang kemudian mulai mengoleksi ulos secara serius sejak umur 19 tahun. Ia membeli berbagai jenis ulos dengan menggunakan uang keluarganya. Dengan melihat banyaknya uang yang dihabiskan, dia menyadari bahwa ulos juga menyimpan potensi bisnis yang cukup besar. Pengalamannya di Bali juga membuat dia menyadari betapa benda-benda seni budaya mempunyai nilai tinggi.
Torang pun memulai bisnis ulos dengan memasuki industri mode. Jika hanya menyasar pasar ulos di Sumut, kebutuhannya sangat terbatas. Ia pun memilih menggandeng perancang mode nasional seperti Ivan Gunawan, Adrian Gan, dan Edward Hutabarat. ”Ternyata respons pasar bagus sekali. Kebutuhan ulos berkualitas di industri mode sangat tinggi dan kami kewalahan menutupinya,” kata Torang.
Torang pun menjadi perancang busana dengan ciri khas kain ulos. Ia lalu bergerilya mencari ulos hingga ke petenun (partonun) di sejumlah daerah di kawasan Danau Toba. Ia pun menyadari, di balik gemerlap industri mode ternyata tenun ulos berada di ambang kepunahan. Jumlah partonun terus berkurang. Hanya perempuan yang sudah tua yang menggelutinya dan tanpa generasi penerus.
Ketika itu, istilah partonun pun sangat identik dengan kemiskinan. Tidak ada anak muda yang mau melanjutkan warisan bertenun itu. Petenun yang tersisa hanya menghasilkan ulos dengan kualitas seadanya. Mereka menggunakan benang dan pewarna kualitas rendah serta motif yang disederhanakan dari aslinya.
Petenun juga membagi dua kain ulos dari ukuran sebenarnya agar pengerjaannya lebih cepat dan mudah. Setelah selesai ditenun, baru disambung dengan cara dijahit. Alat tenunnya pun menjadi lebih kecil.
Melihat kondisi tersebut, Torang pun berkomitmen mendampingi para partonun. Bagi dia, partonun adalah bagian paling penting dari pelestarian tenun ulos berkualitas. Seharusnya mereka diposisikan sebagai seniman, sama seperti pelukis dan penyanyi. Di industri mode, posisinya juga setara dengan perancang busana.
Torang pun mulai mendampingi beberapa partonun agar kembali menenun ulos dengan kualitas terbaik. Mereka mengganti alat tenun ke ukuran asli agar bisa menghasilkan ulos dalam satu helai yang utuh. Torang juga meminta petenun agar menggunakan benang berkualitas tinggi, seperti katun mercerized.
Beberapa petenun menggunakan pewarna alami. Mereka juga menggali lagi berbagai motif asli ulos meskipun pengerjaannya lebih rumit dan lama. Dengan kualitas ulos yang lebih baik, para partonun pun bisa mendapat penghasilan yang jauh lebih tinggi.
Mereka kini bisa mendapat lebih dari Rp 7 juta per bulan, meningkat dari sebelumnya hanya sekitar Rp 1 juta. ”Dengan penghargaan yang lebih baik, banyak anak muda kini dengan bangga menjadi partonun,” kata Torang.
Torang pun kini bermitra dengan lebih dari 100 partonun khususnya di Tarutung, Muara, Silaen, dan Samosir. Mereka menghasilkan rata-rata 100 lembar kain ulos berkualitas setiap bulan. Torang bersama mitra partonun itu bisa mendapat omzet hingga Rp 1,5 miliar setiap bulan. Lebih dari 80 persennya dinikmati partonun.
”Satu-satunya cara untuk menjaga kelestarian tenun ulos adalah dengan memperbaiki kesejahteraan partonun,” kata Torang.
Di semua pameran ulos yang digagas Torang, nama partonun pun ditampilkan di tiap kain yang dipajang. Apresiasi itu menjadi nilai yang sangat berharga dan mengharukan bagi partonun.
Torang mengatakan, buku The Batak Ulos yang saat ini baru diterbitkan dalam bahasa Inggris itu merekam perjalanan panjangnya selama lebih dari 20 tahun bergelut dalam dunia ulos. Buku itu menyajikan 136 ulos koleksi terbaik dari sekitar 2.000 ulos yang dimiliki Torang dari semua etnik Batak. Buku itu mendeskripsikan makna, filosofi, bahan, dan asal daerah dari setiap ulos itu.
Buku itu juga merangkum berbagai koleksi tenun ulos yang kini hampir punah karena tidak ada petenunnya, seperti yang terjadi di Batak Simalungun. Koleksi ulos itu, yang di Simalungun disebut hiou, sangat penting untuk menyimpan motif yang pernah hidup di Simalungun. Motif hiou itu menjadi modal penting untuk menghidupkan kembali tenun ulos di Simalungun.
Koleksi ulos Torang pun kini disimpan di galerinya di Kompleks Royal Sumatera, Medan. Tempat itu merupakan salah satu galeri ulos terlengkap yang ada saat ini dan menjadi destinasi wisata bagi pencinta kain tradisional.
Torang juga menginisiasi acara tahunan, yakni Medan Fashion Culture Festival, yang menjadi acara berskala nasional dan salah satu acara dalam kalender pariwisata Kota Medan. Dengan perannya dalam pelestarian budaya, ia juga menjadi satu dari 75 Ikon Prestasi Pancasila 2020 dari Badan Pembina Ideologi Pancasila.
Torang juga berhasil mengantarkan Ulos Harungguan mendapat penghargaan dari The World Crafts Council (WCC) pada 2018, penghargaan dari organisasi nonpemerintah yang berafiliasi dengan UNESCO. Ulos Harungguan itu hanya ditenun di Muara, kain yang merangkum hampir semua motif ulos tanpa ada pengulangan, dan menggunakan pewarna alami.
Irawati Simorangkir (32), partonun dari Tapanuli Utara, mengatakan, dengan masuknya ulos ke industri mode dan dihargai dengan nilai tinggi, ia sangat bangga menjadi partonun.Ia dan beberapa petenun lainnya membangun kelompok partonun sebagai mitra Torang Sitorus. ”Kami mendapat hasil yang layak setelah memasuki industri mode. Kami juga sangat bangga bisa menghasilkan dan melestarikan kain tradisional bernilai tinggi,” kata Irawati.
Fikarwin Zuska, antropolog dari Universitas Sumatera Utara, mengatakan, buku The Batak Ulos mengungkap filosofi kain ulos dalam kehidupan masyarakat Batak mulai dari kelahiran, perkawinan, hingga kematian. Torang juga mengupas aspek religiusitas dan spiritualitas ulos.
”Yang paling penting dari buku ini, Torang mampu berdialektika untuk melihat kain tidak hanya dalam konteks adat, tetapi membawanya dalam perkembangan zaman dalam industri nasional hingga global,” kata Fikarwin.