Menjaga Asa Penganyam Pandan Karanggayam Kebumen
Muhammad Suwoto bersama istrinya merintis usaha anyaman pandan Jaxee di Kebumen. Mereka menjaga asa para penganyam pandan serta turut menjaga lingkungan dengan budidaya pandan supaya terhindar dari bahaya longsor.
”
Melihat kekayaan potensi desa yang berlimpah akan hasil alam, salah satunya tanaman pandan, serta kebiasaan menganyam daun pandan yang sudah diwariskan turun-temurun, Suwoto (35) tergerak untuk merangkul sedikitnya 30 perajin pandan untuk terus belajar mengupayakan kualitas produk sesuai kebutuhan pasar.
Berkat kesabaran dan kegigihannya, pemilik merek anyaman pandan Jaxee ini pun mampu mengenalkan aneka produk anyaman pandan desanya hingga ke Malaysia dan Jepang.
”Dulu itu banyak yang membuat anyaman pandan setengah jadi dalam bentuk complong atau lembaran berbentuk sarung dengan ukuran 50 cm x 50 cm,” kata suami dari Noviati (34) saat ditemui di rumahnya di RT 002 RW 007, Dukuh Mbatur, Desa Karanggayam, Kecamatan Karanggayam, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Rabu (23/3/2022).
Baca juga: Jumawan, Pelindung Penyu Pantai Sodong Cilacap
Di kawasan perbukitan yang sejuk setelah diguyur hujan juga ditemani aroma daun pandan kering warna-warni yang menumpuk di berbagai sudut rumahnya, ayah dua anak ini memulai kisahnya bahwa dia merintis usaha di bidang anyaman pandan sekitar 2012 lantaran ketidaksengajaan.
”Awalnya saya dan istri membuka warung kelontong dan sembako. Nah saat itu, di desa ini masih menggunakan sistem barter untuk membeli barang. Tetangga sekitar, kalau belanja sayur atau telur, membayarnya pakai complong ini yang nilainya Rp 5.000 per lembar,” papar ayah dari Ibnu Malik Argani (12) dan Sahlana Malika Sani (4) ini.
Dalam dua hari saja, lanjut Oto, demikian panggilan akrab Suwoto, sudah ada sekitar 50 complong di rumahnya. Jadi dalam seminggu, setidaknya ada 300 lembar complong diterimanya. Sementara itu, Oto dan istrinya membutuhkan uang untuk kembali membeli barang dagangan di pasar.
”Mulai saat itu, kami berpikir bagaimana caranya untuk bisa menjual complong ini,” kata Oto yang merupakan lulusan jurusan permesinan dari SMK N 1 Blora.
Oto bersama sang istri yang merupakan warga asli Desa Karanggayam itu pun secara tidak langsung menjadi pengepul kecil-kecilan bagi tetangga desanya yang membuat complong. Complong hasil barteran dagangan itu dijual Oto ke pengepul lebih besar di desa tetangga, seperti Desa Kelapa Gada dan juga ke desa-desa sekitar Gombong. Dari pengepul besar itu, ternyata complong dikirim ke Tasikmalaya untuk diolah menjadi aneka kerajinan anyaman, seperti dompet dan tas. Oto pun berupaya menjalin relasi dengan para perajin di Tasikmalaya.
”Tahun 2012-2014 itu, banyak anak SD sampai SMA menganyam pandan untuk mendapatkan uang saku. Jadi karena berlimpahnya complong ini, saya mengajak beberapa pemilik warung di desa untuk menjual complong-nya pada saya untuk saya jualkan langsung ke Tasik,”katanya.
Baca juga: Setia Menjaga Terowongan Air di Tebing Gunung Slamet
Hingga beberapa tahun berlangsung, Oto menemukan masalah di mana hasil anyaman complong yang diproduksi oleh perajin-perajin tua di desanya tidak memenuhi standar pesanan lantaran motifnya tidak rapi dan cengkeraman antarbilah daun tidak kuat juga rengkat. ”Mau saya tolak, tidak tega. Tapi kalau saya terima, tidak bisa dijual,” ujarnya.
Bahkan, selain karena kualitas yang tidak bagus serta pada 2015 ada kelesuan dalam perdagangan kerajinan anyaman pandan, complong di rumah Oto sempat menumpuk hingga 500 lembar selama 3 bulan dan hancur disikat rayap. ”Waktu itu karena lantai masih tanah dan lembab, maka complong yang disimpan malah rusak dimakan rayap. Ruginya sampai sekitar Rp 3 juta,” katanya.
Melihat kondisi itu, Oto pun berinisiatif untuk membuat barang jadi di desanya supaya hasil anyaman complong yang kurang maksimal dari para lansia di sekitar rumahnya bisa segera diperbaiki lalu dibuat kerajinan tangan yang siap jual. Untuk itu, Oto membeli sejumlah barang jadi dari Tasikmalaya untuk dibedah dan dipelajari bagaimana pola serta cara membuatnya. Kemudian, Oto mencoba membentuk kelompok yang terdiri dari delapan perajin untuk diikutsertakan dalam program pelatihan menjahit dari pemerintah kabupaten selama 3 bulan pada periode 2016-2017.
Untuk pemasaran, selain masih menyuplai bahan setengah jadi untuk Tasikmalaya, Oto juga memanfaatkan media sosial Facebook dengan akun Oto Jaxee untuk memasarkan produknya. Merek Jaxee dipilihnya dari salah satu jenis pandan yang tumbuh di desanya, yaitu pandan jeksi. Dua jenis pandan lainnya adalah pandan sari dan pandan pudak. ”Biar kelihatan keren, jeksi saya ganti nama Jaxee,” katanya.
Pada awal produksi barang jadi di desanya itu, Oto berpikir keras untuk membuat satu barang kerajinan unggulan supaya produknya dikenal pasar. “Produk tas dan dompet itu sudah banyak dikenal dari Tasik dan Yogya. Saya mencoba membuat produk yang beda dari yang lain, yaitu lampu petromaks dari anyaman bambu untuk mengangkat brand Jaxee,” papar Oto yang juga menjadi guru mengaji di desanya.
Ternyata petromaks dari anyaman pandan itu, yang sejatinya lampu hias anyaman pandan, yang hanya diproduksi terbatas dengan harga jual Rp 250.000 hingga Rp 350.000 per buah, berhasil dilirik oleh para pembeli dari daerah-daerah seperti Pekalongan juga Madura. Produk lainnya pun jadi ikut dikenal.
Pandemi Covid-19 yang membuat wisata berhenti total sekitar 2 tahun membuat Oto dan mitra para perajinnya terdampak. Topi anyaman yang per bulan dikirim 1.000 buah ke Tasikmalaya untuk dijual ke Bali juga terhenti. Meski demikian, Oto tetap menyemangati para perajin untuk terus menganyam untuk memenuhi permintaan beberapa pembeli yang singgah ke akun media sosial Instagram anyamanpandan_jaxee dan nauviganie_new.
”Ini tas sudah dipesan pembeli dari Malayasia. Harganya Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per buah. Kami kirim 200 buah per 10 hari ke sana,” tutur Oto sambil menunjukkan tas kecil berwarnai-warni.
Usaha anyaman pandan Oto itu setidaknya bisa menyerap 300-an complong per bulan dengan ratusan produk jadi sesuai permintaan pembeli. Sebanyak 30 penganyam pandan aktif yang menyetorkan karyanya per bulan bisa mendapatkan pemasukan antara Rp 600.000 hingga Rp 1 juta. ”Para penganyam adalah ibu rumah tangga, usia mereka sekarang rata-rata di atas 40 tahun,” ujarnya.
Tidak sekadar penjualan dan pemasaran, Oto juga mengajak pemuda serta warga dalam KUBe (Kelompok Usaha Bersama) Marga Muda yang berjumlah 14 orang untuk membudidayakan tanaman pandan. Jika dulu, tanaman pandan hanya sekadar tumbuh apa adanya, kini warga diajak untuk memupuk dan merawatnya. Tiga tahun terakhir, terdapat 2 hektar tanaman pandan yang tersebar di 3 lokasi. ”Tanaman pandan ini akarnya bisa mengikat tanah dan dengan demikian mencegah longsor,” katanya.
Rangkaian upaya Oto itu pernah meraih penghargaan sebagai Terbaik I Usaha Mikro pada ajang Kebumen Business Forum 2018. Selain itu, produk anyaman pandan Jaxee untuk keranjang buah juga masuk dalam Good Design Award 2020 saat berkolaborasi dengan desainer Fauzy Prasetya Kamal di Jepang.
Oto ingin terus menularkan semangat berwirausaha sosial kepada warga dan para pemuda di desanya bahwa untuk memulai usaha tidak sekadar dibutuhkan modal semata, tapi juga dukungan dari keluarga dan kegigihan untuk melihat peluang. Menurut dia, pandangan umum masyarakat di desanya ialah setelah sekolah, anak-anak harus membantu orangtuanya. Dalam hal ini, karena orangtua Oto adalah pedagang buah di pasar Blora, Oto terbiasa untuk jatuh bangun dalam membangun usaha dan orangtua pun tidak menuntut supaya sang anak men-support finansial setelah selesai sekolah.
Perjuangan dan jatuh bangun Oto merintis usaha telah dimulai sejak dia selesai kontrak sebagai operator mesin di pabrik mobil di Jakarta pada 2008. Tabungannya habis untuk membuka usaha pecel lele dan kelapa muda di Karawang. Oto pun kemudian memutuskan pulang ke kampung halaman istrinya dan memulai usaha di desa. ”Usaha itu proses, tidak sekali jadi langsung untung,” ungkap Oto.
Dengan semangat memajukan desanya, Oto dan istrinya terus menjaga asa para perajin penganyam pandan. Dia pun mengajak anak-anak muda untuk berwirausaha, mulai dari budidaya jamur hingga usaha peternakan. “Dulu pemuda pernah merintis budidaya jamur tiram. Sudah sampai 3 kumbung (rumah jamur), tapi gagal karena ada penyemprotan disinfektan akibat pandemi Covid-19. Meski gagal, saya berusaha terus menyemangati mereka dan menjadi kakak bagi mereka,” ujarnya.
Anyaman pandan di tangan Oto dan istrinya tidak sekadar menghidupi keluarga-keluarga secara ekonomi, tapi juga turut menjaga lingkungannya yang curam di perbukitan dari bahaya longsor. Seperti jalinan pandan yang menyatu erat menjadi kerajinan ramah lingkungan yang indah, demikian pula kolaborasi sosial Oto bersama para penganyam yang saling menjaga asa untuk bersama-sama menjadi lebih baik.
Biodata
Nama: Muhammad Suwoto
TTL: Blora, 7 Desember 1986
Istri: Noviati (34)
Anak: Ibnu Malik Argani (12) dan Sahlana Malika Sani (4)
Pendidikan:
SMK N 1 Blora (2005)
Penghargaan:
Terbaik I Usaha Mikro pada ajang Kebumen Business Forum 2018