Sulastri Oktavia, Perajin Batik yang Menolak Kalah
Pandemi Covid-19 tidak membuat Sulastri menyerah. Perajin batik tulis dari Lampung itu justru memanfaatkan masa-masa sepi pandemi untuk mengembangkan pewarna alami dari bahan alam.
Sulastri Oktavia (38) menolak kalah pada pandemi. Dua tahun berjuang, perajin batik tulis di Lampung itu mampu bertahan dengan inovasi batik pewarna alam.
Aktivitas membatik di rumah Sulastri yang berada di Kelurahan Pinang Jaya, Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung, kembali hidup. Tujuh pembatik yang sebagian besar ibu rumah tangga dengan teliti memoleskan lilin malam pada kain batik. Seorang pekerja lainnya mewarnai kain batik menggunakan kuas di bekas kandang kambing yang kini menjadi tempat usaha batik.
Dua tahun melewati pandemi Covid-19, Sulastri kini sudah lebih lega usahanya bisa berangsur bangkit. Satu per satu pesanan kain batik berdatangan. Beberapa waktu lalu, ia telah menyelesaikan pesanan delapan lembar kain batik tulis dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Tengah. Ada juga pesanan segaram batik dari Pemerintah Kabupaten Pesawaran dan Pemerintah Kota Bandar Lampung.
”Kalau ada pesanan, perajin batik yang bekerja dengan saya juga lega karena mereka mendapatkan kepastian penghasilan,” ucap Sulastri saat ditemui di rumahnya, Selasa (15/3/2022).
Meski usahanya terancam gulung tikar karena pandemi, Sulastri tak pernah merumahkan karyawannya. Ia tetap mempekerjakan tetangganya untuk membatik meski pesanan menurun drastis. Mereka tetap diminta membuat batik untuk stok di galeri walaupun saat itu Sulastri belum tau siapa yang akan membeli batiknya.
”Saat itu hati nurani saya yang berbicara. Mereka juga pasti banyak kebutuhan. Apalagi, pandemi saat itu terjadi menjelang Lebaran,” katanya.
Kain-kain batik hasil produksi pada masa awal pandemi sempat menumpuk berbulan-bulan. Ada puluhan kain batik yang menanti pembeli. Karena penjualan turun drastis, ia pun perlu berhemat pengeluaran.
Berbagai cara Sulastri lakukan untuk mempertahankan usaha batik tulis yang ia rintis pada 2019 itu. Enam bulan menjalani bisnis batik, Sulastri harus rela dihantam pandemi.
Namun, bukan pengusaha namanya jika memilih menyerah. Ia memutuskan untuk mengakses pinjaman modal usaha dari perbankan agar bisa tetap memproduksi batik dan membayar karyawan.
Ia juga memanfaatkan masa-masa sepi pembeli itu untuk memikirkan inovasi pada produk batik tulisnya. Alhasil, pandemi Covid-19 justru menjadi jembatan bagi Sulastri untuk mengembangkan pewarna batik dari bahan alam.
Awalnya, Sulastri mencoba membuat pewarna batik dari rebusan air ranting pohon sungkai. ”Saat pandemi, daun sungkai terkenal sebagai obat herbal untuk Covid-19. Karena banyak ranting yang tidak terpakai, saya coba untuk membuat pewarna alami untuk batik,” katanya.
Dari beberapa kali percobaan pembuatan pewarna alami dari ranting pohon sungkai, Sulastri mendapatkan warna kecoklatan. Untuk bisa digunakan sebagai pewarna, ranting pohon Sungkai itu direbus selama 5-6 jam. Air rebusannya disaring dan didinginkan selama beberapa jam. Setelah itu, kain yang telah diberi lilin dimasukkan ke dalam air rebusan ranting daun sungkai untuk selanjutnya dijemur hingga kering.
Selain ranting pohon sungkai, ia juga membuat pewarna batik dari rebusan air kulit jengkol untuk menghasilkan warna coklat dan krem. Kebetulan, pohon jengkol masih mudah ditemui di sekitar tempat tinggal Sulastri yang masih hijau dan berdekatan dengan kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman, Bandar Lampung.
Saat diaplikasikan ke kain, batik yang dihasilnya dari bahan pewarna alam itu ternyata menampilkan kesan lembut dan klasik. Tak disangka, kain-kain batik yang dibuat dari pewarna alam itu juga diminati pembeli. Sebagian batik langsung dipesan oleh para relasi Sulastri saat mengetahui dari foto-foto yang diunggah di media sosial.
Untuk menarik lebih banyak pembeli, Sulastri juga berinovasi dengan membuat berbagai macam motif batik. Selama ini, batik tulis Lampung dikenal dengan hiasan motif siger pada kainnya.
Sulastri pun mencoba menggambar berbagai jenis motif baru. Lewat motif Gunung Anak Krakatau pada kain batiknya, ia ingin bercerita tentang dahsyatnya letusan gunung api itu pada 1883 silam. Letusan gunung itu menjadi sejarah bagi Lampung yang bisa dikenang lewat karya batik.
Selain itu, Sulastri juga membuat motif durian untuk menceritakan keunggulan buah lokal Lampung. Motif lainnya antara lain gajah hingga bunga ashar yang menjadi identitas Provinsi Lampung.
Pemasaran
Tak hanya inovasi produk, ia juga menyiapkan strategi pemasaran untuk meningkatkan penjualan. Selama pandemi, berbagai kegiatan pameran atau bazar produk UMKM yang bisa diikuti para perajin batik otomatis berhenti.
Karena itulah, Sulastri harus ”door to door” menawarkan batik kepada pelanggan. Ia menawarkan batiknya kepada para pegawai di lingkungan Pemerintahan Provinsi Lampung dan pemerintah kabupaten/kota. Dari situ, Sulastri berhasil mendapat beberapa pesanan batik untuk keperluan seragam.
Cara lainnya adalah dengan mengoptimalkan pemasaran daring melalui berbagai media sosial, seperti Facebook dan Instagram. Lewat promosi daring, batik tulis dengan merek dagang As-Syafa itu dipesan beberapa pembeli dari luar kota, antara lain dari Sumatera Barat dan Sumatera Selatan.
Perlahan, usaha batik itu pun menggapai normal. Tahun lalu, rata-rata 30 lembar kain batik terjual setiap bulan. Saat ada pesanan seragam, jumlah kain batik yang terjual bisa lebih banyak, berkisar 70-100 helai per bulan.
Strategi pewarnaan batik menggunakan bahan alami itulah yang akhirnya menghidupkan usaha batik yang sempat meredup. Angka penjualan batik berangsur naik. Sulastri pun optimistis usaha batik tulisnya akan tetap bertahan melewati terpaan badai.
Generasi muda
Sulastri merupakan generasi muda yang mengembangkan usaha batik tulis di Lampung. Ia sebenarnya bukan lahir dari keluarga pembatik. Orangtuanya merupakan buruh yang merantau dari Jawa ke Lampung.
Ia mendapatkan keterampilan membatik dari Laila Al-Khusna (63), pengusaha yang memelopori usaha batik tulis dengan merek Batik Siger di Lampung. Sulastri bekerja selama sekitar 7 tahun dengan Laila yang mengajarinya membatik. Ia juga didorong untuk bisa mandiri membangun usaha agar semakin banyak perajin batik di Lampung.
”Awalnya, saya menyisihkan uang dari gaji untuk membeli bahan-bahan untuk membatik, seperti kain dan pewarna,” ujarnya mengenang.
Kini, usaha batik tulis di Lampung semakin berkembang dengan munculnya pengusaha muda seperti Sulastri. Lewat usaha itu, ia tidak hanya bisa membantu ibu-ibu rumah tangga di sekitar rumahnya untuk mendapat penghasilan. Namun, Sulastri juga menularkan semangat dan keterampilan membatik kepada banyak orang.
Sulastri Oktavia
Lahir: Teluk Betung, 6 Oktober 1984
Suami: Bobby Michael Vantoni
Anak:- Alexander Dhaffa Arroyan Alfatoni- Hanifa Syafa Az-Zahra Alfatoni- Hafidz Alghiffari Hisyam Alfatoni
Pendidikan:
- SDN 3 Beringin Raya
- SMPN 14 Bandar Lampung
- SMK persada
Prestasi/penghargaan:
- Juara 2 lomba membatik tingkat Provinsi Lampung 2018
- Juara desain terunik tingkat Kota Bandar Lampung 2018
- Juara 2 lomba membatik tingkat Kota Bandar Lampung 2019