Nuraeni, Nurani untuk Anak Korban Kekerasan
Bagi Nuraeni, anak-anak yang menjadi korban kekerasan tak harus terpuruk dan kehilangan rasa percaya diri. Mereka justru harus menjadi agen perubahan di rumah dan lingkungan tempat tinggalnya.
Tinggal di wilayah pesisir di tengah permukiman padat penduduk, Nuraeni kerap menyaksikan anak-anak menjadi korban kekerasan. Melihat anak-anak memaki dengan kata-kata kasar, menjadi korban kekerasan orangtua dan lingkungan, korban kekerasan seksual, serta perundungan membuat nurani Nuraeni terusik.
Keprihatinan dan nurani sebagai seorang ibu menggerakkan dia untuk menolong mereka. Anak-anak ini jangan sampai terpuruk dan kelak ikut menjadi pelaku kekerasan pula.
Maka, pada 2013, dia memulai aktivitas menghimpun anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya di Kelurahan Patingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar. Sasarannya anak usia SD hingga SMU.
Di ruang tamunya yang tak seberapa luas, diajaknya anak-anak ini berkumpul. Dia membentuk kelompok belajar yang kelak dinamainya Sekolah Anak Percaya Diri (SAPD), sebentuk pendidikan nonformal.
Anak-anak ini dia ajari budi pekerti, sopan santun, etika, saling mengasihi, dan sikap menghargai. Selain itu, mereka juga diberi kesibukan untuk mempelajari berbagai keterampilan sesuai minat ataupun bakat. Anak-anak diberi motivasi untuk belajar dan mengembalikan kepercayaan diri dan berani bersuara atas perlakuan kekerasan yang dialami atau dilihat.
”Yang saya dapati, kekerasan yang mereka alami membuat perilaku mereka juga lekat dengan kekerasan. Memaki dengan bahasa yang kasar biasa dilakukan bahkan anak setingkat SD. Mereka bisa dengan mudah mem-bully teman-temannya dan berlaku kasar. Sebagian besar tidak punya rasa percaya diri sama sekali,” katanya saat ditemui di rumahnya, Jumat (11/3/2022).
Nuraeni bercerita, ada anak yang orangtuanya mengomsumsi narkoba atau mabuk-mabukan. Tidak jarang anak-anak ini dipaksa bekerja dan uangnya digunakan orangtuanya membeli narkoba atau minuman keras. Mereka kerap mendapat perlakuan kasar jika tak membawa pulang uang. Di tengah situasi itu, mereka masih pula disuguhi pemandangan pertengkaran dan perkelahian orangtuanya.
Kondisi inilah yang membuat Nuraeni turun tangan. Awalnya seorang diri dia mengajar anak-anak itu sesuai kemampuan dan waktu yang bisa dia bagi di sela mengurus ketiga anaknya dan aktivitas UMKM yang digelutinya sejak lebih 15 tahun terakhir.
Dia menyisihkan uang pribadinya membeli alat peraga sederhana untuk keperluan belajar. Acap kali dia membeli permen atau kerupuk sekadar menarik minat anak-anak untuk datang. Tak jarang pula dia membeli dagangan anak-anak yang diminta membantu orangtuanya berjualan kue, untuk dimakan bersama, agar anak-anak bisa tetap ikut belajar dan membawa pulang uang hasil jualan.
”Banyak anak kurang mampu yang terpaksa harus membantu orangtua mencari nafkah. Saya tidak mungkin melarang. Jadi, biasanya saya bantu dengan membeli yang bisa dibeli. Waktu belajar saya sesuaikan dengan aktivitas mereka belajar di sekolah umum sehari-hari dan waktu untuk membantu orangtua,” katanya.
Tantangan dan dukungan
Pada mulanya, Nuraeni mendapat pandangan sinis dari orangtua anak-anak itu. Terlebih orangtua yang membenani anaknya dengan kewajiban turut mencari nafkah. ”Pada anak-anak itu sendiri, kadang mereka komplain. Diminta lemah lembut, tak berkata kasar, tetapi mereka melihat orangtua atau tetangganya ribut dan mengeluarkan kata-kata kasar. Bahkan, mereka juga melihat orangtua mereka melakukan kekerasan. Namun, saya tidak menyerah. Saya terus memberi pengertian dan mengajarkan mereka hal-hal baik,” papar Nuraeni.
Kegigihan Nuraeni tak hanya berbuah pengertian orangtua dari anak-anak yang dia ajar. Anak-anak ini pun perlahan berubah. Kata-kata kasar mulai berkurang. Aktivitas sepulang sekolah lebih banyak dihabiskan di rumah Nuraeni dengan mengerjakan tugas-tugas dari sekolah atau sekadar membaca. Rumahnya nyaris tak pernah sepi sepanjang pagi hingga malam oleh anak-anak.
Saat kian banyak anak yang ikut belajar di SAPD dan mulai merasa kewalahan, dia mencari tenaga pembantu. Nuraeni berpikir, dengan jumlah anak yang kian banyak, dia perlu guru, kurikulum, hingga fasilitas belajar yang memadai.
Memang pada awalnya hanya 10 sampai 20-an anak yang ikut SAPD. Kini jumlahnya lebih dari 150 anak. Ada yang sudah lulus, banyak pula anak baru yang datang. Pada akhirnya banyak orangtua yang memilih menitipkan anaknya belajar di rumah Nuraeni.
Seperti gayung bersambut, upaya Nuraeni mencari pihak yang bisa mendukung akhirnya membuahkan hasil. Sejak 2017 hingga tahun ini, Pertamina Regional Sulawesi mendukung penuh dengan menyediakan guru, kurikulum, hingga berbagai fasilitas belajar dan psikolog. Ruang tamu Nuraeni juga dibenahi agar lebih layak menjadi tempat beraktivitas bagi anak-anak.
Pendampingan oleh psikolog bukan hanya membantu untuk konseling, melainkan juga memantau perkembangan anak-anak. Setiap bulan dilakukan evaluasi untuk mencari tahu apa yang perlu diperbaiki
”Jadi, ada guru yang memang memiliki keahlian khusus mendampingi anak-anak setingkat SD ataupun SMP dan SMU, apalagi yang pernah menjadi korban kekerasan. Walau ini pendidikan luar sekolah, kurikulum juga dibuat lebih baik dan terarah untuk kepentingan anak-anak dan didampingi psikolog,” kata Nuraeni.
Nuraeni melihat perilaku anak-anak yang ikut SAPD perlahan berubah. Mereka tak hanya saling mengasihi, saling bantu, tetapi juga punya rasa percaya diri yang lebih baik.
Anak-anak usia SMU aktif mengikuti forum anak di setiap musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Beberapa sering kali diikutkan pelatihan dan diskusi tentang kekerasan anak. Banyak pula yang percaya diri tampil dalam kegiatan seni dan budaya atas undangan berbagai pihak.
”Banyak anak yang belajar di sini akhirnya berani mengajari orangtuanya baca tulis dan mengaji. Syukurnya orangtua mereka menerima hal ini dengan hati terbuka. Mereka juga akhirnya lebih menjaga sikap di hadapan anak-anaknya yang perilakunya banyak berubah,” tutur Nuraeni.
Belakangan orangtua anak-anak ini turut pula diberdayakan oleh Nuraeni. Mereka dikumpulkan dalam majelis taklim dan rutin mengikuti pengajian. Pada momen seperti ini, Nuraeni memberi masukan dan pemahaman kepada orangtua anak-anak didiknya. Mereka juga dilibatkan dalam usaha Nuraeni.
Memang sejak lebih 15 tahun terakhir Nuraeni memberdayakan perempuan, terutama janda, di lingkungannya untuk ikut dalam Koperasi Kelompok Wanita Nelayan Fatimah Azzahra. Sebelum dijadikan koperasi, usaha ini dirintis sendiri oleh Nuraeni sejak 2005 setelah suaminya meninggal pada 2004.
Keprihatinan pada perempuan pesisir membuatnya melibatkan mereka dan akhirnya membentuk koperasi. Koperasi ini bergerak dalam pembuatan abon ikan dan beragam olahan hasil laut. Mereka juga membuat usaha katering. Perempuan di lingkungannya tak hanya dilibatkan dalam usaha koperasi, tapi juga kegiatan sosial seperti memberi makan lansia dan orang terlantar serta pemberdayaan penyandang disabilitas. Setiap 3 persen dari penghasilan Nuraeni disisihkan untuk kegiatan sosial ini.
Biodata
Nama: Nuraeni
Lahir: 6 Agustus 1969
Suami: Rusdi Ambo
Anak: Dinur (28), Russil (26), Haidi (23)
Pendidikan terakhir: Sarjana Ilmu Pemerintahan, Fisip, Universitas Hasanuddin
Pekerjaan: Ketua Koperasi Fatimah Azzahra.