Zainal Arifin, Generasi Ke-7 Ahli Waris Songket Palembang
Kecintaan pada songket membuat Zainal Arifin (55) terus memperkenalkan kain ini ke penjuru dunia. Baginya, ada nilai-nilai luhur yang harus diwariskan kepada semua orang, termasuk generasi muda.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Zainal Arifin (55) tercatat sebagai generasi ke-7 ahli waris songket Palembang. Selama 40 tahun terakhir, ia telah memuliakan dan mewartakan kain warisan leluhur itu ke berbagai penjuru dunia. Tak hanya mengenalkan yang sudah ada, tetapi ia berkreasi dengan menciptakan motif baru.
Zainal hanya punya satu tujuan: menyebarkan nilai-nilai luhur yang terkandung dari setiap lembar kain yang berjuluk ”Ratu Kain” Palembang itu. Kecintaannya pada songket terlihat dari caranya memperlakukan kain tenun. Bak seorang ratu, kain itu tidak diumbar sembarangan, melainkan disimpan di dalam sebuah lemari kaca. Lemari itu berdiri rapi di dalam rumah limas Zainal, yang sekaligus galerinya, di Jalan Ki Gede Ing Suro, Lorong Kuala Batu, 32 Ilir, Ilir Barat II, Palembang, Sumatera Selatan.
”Saya tidak mau kain (songket) ini kena paparan matahari langsung. Jadi, saya simpan baik-baik. Bila ada yang minat, baru saya keluarkan dari lemari kaca,” kata Zainal ketika ditemui, Jumat (18/2/2022).
Di ruang tamu tempat kami berbincang terpampang sejumlah tokoh ternama yang pernah melihat hasil kreasinya. Sebut saja Presiden Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Joko Widodo, dan Laura Lane Welch Bush, istri dari Presiden ke-43 Amerika Serikat George W Bush.
Bagi Zainal, songket Palembang bukan sekadar selembar kain, melainkan sebuah filosofi hidup yang berharga. Pada setiap liku dan detail motif songket terdapat makna yang sangat dalam.
”Songket adalah buah dari kesabaran, ketekunan, dan keindahan,” ujar Zainal. Wajar pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, songket hanya bisa dikenakan oleh Sultan dan keluarganya. Namun, kini, songket sudah bisa digunakan untuk semua kalangan.
Pembuatan selembar kain songket, mulai dari pencelupan, pewarnaan, hingga penenunan, membutuhkan waktu tiga bulan sampai satu tahun. ”Bagi saya, kain ini sangat sakral. Jadi, harus diperlakukan dengan sangat baik dan tidak sembarangan,” kata Zainal.
Songket Palembang sudah diwariskan sejak ratusan tahun lalu. Songket merupakan hasil budaya yang sudah ada sejak turun-temurun dan menjadi ciri khas kota Palembang. Bahkan, sebelum merancang sebuah kain songket, Zainal mulai dengan ritual tertentu, yakni berdoa dan berpuasa. Tujuannya agar kain yang ia ciptakan dapat memberikan kesan baik bagi setiap pemiliknya.
Penghargaan
Selembar songket buatan Zainal dihargai puluhan juta rupiah. Hasil karyanya pun sudah digunakan sejumlah orang ternama di Indonesia dan luar negeri, seperti Ibu Tien Soeharto dan anak-anaknya hingga Ibu Iriana Joko Widodo. Untuk generasi kekinian, songket buatannya juga digunakan untuk pernikahan Atta Halilintar-Aurel Hermansyah.
Namun, bagi ayah dari lima anak ini, penghargaan dari sebuah karya budaya memang tidak ternilai. Songket Palembang memiliki arti penting karena di setiap detail motifnya terkandung nilai hidup yang luhur.
Saat belum mengenal tulisan, orang Palembang lebih senang menuangkan buah pikirannya melalui pahatan, ukiran, atau pola-pola hiasan. Salah satunya melalui motif songket. Itulah sebabnya, songket Palembang kaya akan motif.
Setidaknya ada 70 motif songket yang terdapat di Palembang. Motif tersebut menggambarkan tentang dinamika kehidupan. Seperti motif jando beraes yang digunakan oleh seorang janda Palembang. Motif nago besaung merupakan simbol kebahagiaan, kesejahteraan, kehidupan, nilai luhur keagamaan. Songket ini biasanya digunakan untuk pengantin.
Selain itu, ada motif teratai berantai yang digunakan oleh dua keluarga yang sudah menjadi satu. Motif bungo pacik menceritakan hubungan dagang antara warga Melayu dan pedagang Arab serta motif bungo cino yang menceritakan hubungan antara bangsa Melayu dan bangsa China.
”Dari motif songket, kita juga bisa mengetahui adanya akulturasi budaya dari berbagai bangsa di Palembang,” jelas Zainal.
Perkenalan Zainal pada songket dimulai ketika ia berusia 11 tahun. Sang nenek, Masayu Iming, dengan tekun mengajari Zainal kecil menenun songket. ”Setiap pulang dari mengaji saya diajari menenun,” katanya.
Bahkan, Zainal merupakan generasi ketujuh dari keluarganya yang sudah membuat songket. Memang, banyak kendala yang dihadapi ketika mulai menenun, terutama dari lingkungannya. Kala itu adalah hal tabu bagi seorang laki-laki untuk menenun.
Tak ayal Zainal kerap mendapatkan ejekan dari teman, bahkan tak jarang tangannya dipukul guru karena selalu berwarna ketika diperiksa. Warna di tangannya itu adalah bekas dari menenun songket. ”Namun, hal itu tidak membuat saya mundur. Saya tetap memilih untuk menenun,” ujarnya.
Kesungguhannya memperkenalkan songket berlanjut hingga dewasa. Setelah menyelesaikan studinya di Jurusan Psikologi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta, Zainal memilih untuk mempelajari fashion di Perancis. Niatnya itu pun kian kuat ketika bertemu dengan perancang busana, mendiang Ramli Sarwi Gozali Kartowidjojo, pada tahun 1987.
”Dari sana, saya mulai bergelut di bidang fashion, terutama songket,” katanya. Sejak itu, Zainal tidak ingin songket hanya dikenal di dalam negeri, dia juga bertekad untuk memperkenalkan songket ke seluruh penjuru dunia. Sampai tahun 2019, setidaknya sudah ada 30 negara yang ia sambangi untuk memperkenalkan songket, baik sebagai pembicara maupun melalui peragaan busana.
Museum
Negara pertama yang ia kunjungi adalah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Penjelajahan berlanjut ke negara lain, seperti China, Korea Selatan, Perancis, Jerman, Belanda, Hongaria, Meksiko, dan Mesir. Pada tahun 2019, sebelum pandemi merebak, Zainal sempat memamerkan songket Palembang ke Estonia dan Finlandia.
Sebuah kekecewaan pun muncul ketika Malaysia mendaftarkan songket sebagai warisan budaya tak benda dunia di UNESCO.
”Perjuangan saya selama 30 tahun ini seakan percuma,” kata Zainal dengan nada meninggi. Namun, dia tidak patah arang, Zainal berkomitmen akan terus menyebarkan keindahan songket Palembang ke seluruh dunia.
Agar songket Palembang terus dikenang, Zainal berinisiatif membuat museum songket di dalam galerinya. Di sana terdapat beragam kain songket, salah satunya kain Limar Mentok yang bahkan usianya mencapai 290 tahun. Walau benang emasnya sudah mulai pudar, kemegahannya masih tetap terlihat.
”Semua songket yang ada di museum ini diturunkan oleh keluarga dan akan terus saya lestarikan agar bisa disaksikan oleh generasi selanjutnya,” kata Zainal.
Melalui songket, Zainal juga mencoba merangkul mereka yang tak berdaya. Saat ini, dia telah mempekerjakan sekitar 50 orang untuk membuat songket hasil karyanya. Mereka adalah anggota keluarga, seperti keponakan dan sepupu, serta warga yang putus sekolah atau mereka yang membutuhkan pekerjaan.
Tidak sulit untuk mengajarkan seseorang untuk bisa menenun songket. Paling lama membutuhkan waktu sampai satu bulan. Namun, memang dibutuhkan orang yang sabar dan tidak emosional. Dengan mempekerjakan semakin banyak orang, dia berharap keluhuran songket tidak akan punah dan tetap mengalir ke generasi selanjutnya.
Kiagus Zainal Arifin
Lahir: Palembang, 13 Juli 1966
Istri: Rahmawati (58)
Pendidikan: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta Jurusan Psikologi