Manuel Alberto Maia, Dokumentasi Narasi dari Timur
Banyak film berbiaya besar mengambil latar atau membawa kisah dari wilayah NTT. Sayang, tidak semua berhasil mewakili narasi otentik yang ada di dalamnya.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Wajah industri perfilman di Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang suram mulai cerah. Meskipun menapaki jalan berliku, komunitas film besutan Manuel Alberto Maia (32) menjadi wadah eksistensi para sineas dan penikmat film lokal. Abe, demikian ia akrab disapa, pun menjalani lakon sebagai sutradara dokumenter yang menyentil isu-isu di sekitarnya.
Kehadiran NTT di industri perfilman nasional bukan hal baru. Banyak film berbiaya besar telah dibuat dengan mengambil latar atau membawa kisah dari wilayah dengan pemandangan eksotis ini. Sayang, tidak semua berhasil mewakili narasi otentik yang ada di dalamnya.
Sudah tiba waktunya NTT bisa menyampaikan narasi dari perspektif dan dalam bahasa mereka sendiri. Apalagi sekarang adalah era di mana sumber daya, akses, dan teknologi telah tersedia. Geliat kesadaran ini mulai terlihat dari kehadiran Komunitas Film Kupang (KFK) yang berdiri sejak 2012.
Cikal bakal KFK berawal saat Abe aktif terlibat dalam berbagai kegiatan kampus di Universitas Nusa Cendana, Kupang. Suatu kali ia dan beberapa teman mencoba menggelar diskusi buku lintas kampus. Namun, lantaran membaca buku memakan waktu, dia menggantinya dengan kegiatan diskusi film pada 2010.
”Diskusi itu tujuannya agar mahasiswa tidak berjarak dengan realitas sosial. Dari diskusi film itu, waktu melaksanakan KKN (kuliah kerja nyata) tahun 2011, beta (saya) buat program layar tancap di dusun-dusun. Akhirnya ada kebiasaan nonton dan diskusi film dengan banyak orang,” kata Abe di Kota Kupang, Sabtu (18/12/2021).
Kegiatan pemutaran dan diskusi film berlanjut ke kampus-kampus setahun kemudian. Kepercayaan diri pemuda berambut ikal ini untuk memantapkan KFK mengambung setelah bekerja sama dan mengikuti lokakarya film dokumenter untuk pemula dengan In-Docs selama 2012-2013. Abe mulai rajin menjaring teman-temannya agar terlibat.
KFK, yang tengah berkantor di Oebobo, Kupang, memprakarsai tiga program besar, yakni produksi, ekshibisi, dan edukasi. Program produksi mencakup pembuatan film yang berdampak bagi masyarakat, baik dalam format pendek maupun panjang, dengan genre fiksi dan nonfiksi. Sudah sekitar 10 film bertema isu sosial dibuat, seperti Nokas (2016), Siko (2018), Maruah (2019), dan Amnuban (2021).
Sementara itu, program ekshibisi mencakup, antara lain, Jumat di Garasi atau menonton film bersama, Layar Merdeka alias kegiatan lokakarya dan pemutaran film di desa, dan Screening for Healing atau pemutaran film untuk warga korban bencana. Kegiatan seperti ini mendorong warga terbiasa menonton film, mengapresiasi karya, dan mengenal cara simpel pembuatan film.
Kegiatan KFK yang terbaru adalah Parade Film NTT yang berlangsung pada 18-19 Desember 2021. Kegiatan ekshibisi film karya para sineas dari berbagai daerah di NTT ini didorong supaya mencapai tingkat festival film tahunan. Dengan demikian, warna perfilman NTT bisa lebih jelas terlihat.
Pada program edukasi, KFK mendampingi pelajar sekolah menengah kejuruan setempat dalam memproduksi film. Komunitas ini sesekali turut mengadakan diskusi bersama sineas lokal ataupun dari luar kota demi menambah wawasan.
KFK kini memiliki sekitar 20 anggota, berusia 17-30 tahun, dengan pola kepemimpinan kolektif. Di samping tiga program andalan mereka, komunitas ini kerap mengerjakan proyek bersama LSM. Meskipun KFK menghadapi tantangan dari segi pendanaan dan apresiasi, keberadaan komunitas ini berdampak positif pada industri perfilman lokal.
”Kami bertemu banyak teman dari Flores dan daerah lainnya. Keberhasilan beberapa film produksi kami cukup membangkitkan moral bahwa kita tak tinggal di provinsi terbelakang sebab NTT gudang eksotisme, budaya, dan lanskap. Kita bisa berkarya, memberi warna, dan melihat diri dari kacamata sendiri,” tutur Abe.
Menjadi sutradara
Tak pernah tebersit dalam pikiran Abe saat bocah bahwa ketika dewasa akan terjun ke dunia film. Abe lahir di Balibo, Timor Timur (sekarang Timor Leste), pada 1989. Ayahnya meninggal dunia saat ia masih berusia tiga tahun. Ia hidup pas-pasan bersama ibu dan dua saudaranya dari pensiun ayahnya dan hasil kebun di rumah. Keluarga besar kadang ikut membantu.
Di rumah, Abe kecil tidak mempunyai televisi. Namun, ia kerap menonton sinetron setiap minggu di rumah salah satu warga. Agar bisa menonton, anak-anak harus membawa ”tiket” berupa kayu api. Film pertama yang ditontonnya adalah The Blue Lagoon (1980) dari kaset Betamax. Maklum waktu itu kesadaran menonton film sesuai usia belum ada.
Kehidupan Abe sekeluarga berubah saat krisis di Timor Leste memuncak pada 1999. Mereka akhirnya mengungsi ke rumah kakeknya di Atambua. Beberapa tahun kemudian, mereka pindah lagi ke Batakte, Kupang Barat.
Pemuda ini kemudian berkuliah di Kota Kupang pada 2008. Setelah lama aktif dalam kegiatan diskusi film di kampus, Abe mengecap rasanya menjadi sutradara dokumenter saat mengikuti lokakarya dari In-Docs pada 2013. Film pendek pertamanya berjudul Kaos Kupang bercerita tentang kegelisahan anak muda mencari kerja.
Titik baru bagi karier Abe, beserta KFK, adalah ketika dia menyutradarai Nokas. Film dokumenter panjang ini mengisahkan Nokas, seorang petani Timor, ingin menikahi kekasihnya, tetapi terkendala tradisi pernikahan yang kompleks berupa belis. Ide pembuatan Nokas tercetus saat Abe menggarap proyek tentang pembangunan bendungan di Kolhua.
Nokas, yang digarap selama tiga tahun, mengumpan kembali diskusi soal belis di NTT. Film ini juga mendapat apresiasi di festival film di dalam dan luar negeri, sebut saja Yogyakarta, Jakarta, Singapura, Jepang, dan Kazakhstan. Apresiasi serupa terjadi pada karya Abe lainnya, Siko.
”Film dokumenter itu karya yang paling jujur. Beta tidak hanya datang dengan kamera dan melihat mereka, tetapi ada interaksi dan memahami satu sama lain. Ternyata, membuat film dokumenter itu kerja dengan hati,” ujar pengagum karya Garin Nugroho, Edwin, dan Riri Riza ini.
Tak mudah menjadi seorang sineas, apalagi sutradara dokumenter, di daerah dengan ekosistem perfilman yang belum kokoh. Namun, penggemar film The Godfather ini tidak masalah untuk menempuh jalan ”sepi” ini. Selain menggaet anak muda dengan semangat serupa di KFK, Abe giat berjejaring dan berkolaborasi dengan sineas luar daerah agar bisa berkarya sampai ke level nasional.
”Awal bikin film itu beta pengin kita semua bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Kami sekarang ada kesempatan untuk menunjukkan ke Indonesia dan dunia bahwa di daerah yang tertinggal ini kami bisa berkarya lewat film. Biarkan film mencari jalannya sendiri,” tutur Abe.
Manuel Alberto Maia
Lahir: Balibo, 17 April 1989
Pendidikan terakhir: S-1 Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Nusa Cendana, Kupang (2008-2012)
Pekerjaan: Sutradara dan Pendiri Komunitas Film Kupang (KFK)
Film:
Siko (film pendek, 2018)
Nokas (2016)
Kabar dari Medan (film pendek, 2015)
Kaos Kupang (film pendek, 2013)
Prestasi:
Juri akhir Festival Film Indonesia untuk kategori Film Pendek, 2020
Nomine kategori Film Pendek Terbaik untuk Siko dalam Festival Film Indonesia, 2018
Jury Awards untuk Nokas dalam Salamindanaw International Film Festival, Filipina, 2017
Best Feature-Documentary untuk Nokas dalam Balinale International Film Festival, Bali, 2017
Best Feature-Documentary untuk Nokas dalam Freedom Film Festival, Malaysia, 2017
Nomine kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik untuk Nokas dalam Festival Film Indonesia, 2016
Special Mention untuk Nokas di Festival Film Dokumenter, Yogyakarta, 2016