Muhajir Utomo, Anak Transmigran Penggagas Museum
Transmigrasi tidak sekadar peristiwa perpindahan penduduk, tapi juga memiliki peran penting untuk merekatkan NKRI. Itu yang membuat Muhajir Utomo menggagas pendirian Museum Nasional Ketransmigrasian.
Entah apa jadinya jika dulu Muhajir Utomo (71) tidak menggagas pembangunan Museum Nasional Ketransmigrasian di Lampung. Sejarah transmigrasi di Indonesia mungkin akan memudar perlahan. Bahkan, terkubur seiring berjalannya waktu.
Suatu siang pada akhir November 2021, puluhan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Lampung berkunjung ke Museum Nasional Ketransmigrasian. Di sana, mereka tidak sekadar melihat koleksi museum, tetapi juga mendengarkan sejarah tentang transmigrasi dari Muhajir yang merupakan salah satu tokoh pendiri museum tersebut.
Mengenakan batik lengan panjang, Muhajir menceritakan sejarah perpindahan penduduk Pulau Jawa ke Lampung untuk pertama kalinya pada era kolonialisasi tahun 1905. Meski sudah memasuki usia pensiun, Muhajir memiliki daya ingat yang baik.
Dengan runtut, ia menjelaskan tiga fase perpindahan penduduk Jawa ke Lampung pada 1905-1941. Tiga lokasi yang menjadi daerah tujuan transmigrasi saat itu adalah Bagelen (saat ini di Kabupaten Pesawaran), Wonosobo (Kabupaten Tanggamus), dan Sukadana (Kota Metro).
Transmigrasi tidak sekadar peristiwa perpindahan penduduk, tetapi juga memiliki peran penting untuk merekatkan NKRI.
Aura semangat terpancar dari wajah keriput Muhajir saat menyampaikan makna penting di balik program transmigrasi bagi bangsa Indonesia. ”Transmigrasi tidak sekadar peristiwa perpindahan penduduk, tapi juga memiliki peran penting untuk merekatkan NKRI,” kata Muhajir, Kamis (25/11/2021).
Ia menjelaskan, interaksi sosial antara transmigran dan penduduk lokal selama lebih dari satu abad berlangsung harmonis. Asimilasi budaya terjadi karena adanya perkawinan antarsuku. Pada akhirnya, transmigrasilah yang memunculkan keberagaman di Tanah Air.
Selain merekatkan keberagaman, transmigrasi juga berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Muhajir menjadi salah satu contoh sukses anak transmigran di Lampung. Meski lahir dari keluarga petani, ia mampu sekolah ke luar negeri hingga menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Tanah di Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Muhajir juga pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Lampung selama 1998-2007.
Tidak mudah bagi Muhajir untuk mencapai semua itu. Anak transmigran dari pasangan Utomo dan Ruwiyah itu lahir di Kabupaten Pringsewu pada 16 Juli 1950. Orangtuanya merupakan transmigran dari Jawa Tengah yang pindah ke Lampung pada 1938.
Demi bisa sekolah di tingkat SMP dan SMA, Muhajir rela menumpang di rumah saudaranya. Semasa SMA, Muhajir juga pernah bekerja sebagai buruh di toko kue. Selama kuliah, dia mencari pekerjaan tambahan sebagai fotografer. ”Kalau ingin berhasil, kamu harus sekolah,” ujar Muhajir mengenang pesan ayahnya.
Menurut dia, kunci keberhasilan anak-anak transmigran adalah semangat belajar dan tekad yang kuat untuk mengubah nasib. Nilai-nilai hidup untuk bekerja keras, jujur, dan prihatin yang diwariskan orangtua juga memengaruhi keberhasilan anak-anak transmigran dalam meraih mimpi.
Tonggak sejarah
Makna penting di balik peristiwa transmigrasi inilah yang mendorong Muhajir melakukan riset mandiri tentang transmigrasi di Lampung pada 1990-an. Saat melakukan penelitian lapangan di sekitar wilayah Pelabuhan Panjang, Muhajir dan beberapa peneliti lain saat itu menemukan bola besi di rumah salah satu kolektor benda kuno.
Benda tersebut ternyata memiliki nilai sejarah yang berkaitan dengan transmigrasi. Pada masa itu, para transmigran menggunakan bola besi untuk merobohkan pohon-pohon besar dan membuka lahan.
Temuan tentang bola besi itu pun segera dilaporkan kepada Siswono Yudo Husodo yang kala itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi. Benda bersejarah itu langsung dipindahkan ke Kementerian Transmigrasi di Jakarta.
Di Lampung, jejak transmigrasi juga masih bisa dilihat dari infrastruktur pertanian yang dibangun pada masa kolonisasi Belanda. Saluran irigasi di Kota Metro, Bendungan Agroguruh di Kabupaten Pesawaran, dan Jembatan Talang di Kabupaten Pringsewu merupakan infrastruktur yang dibangun dengan melibatkan para transmigran sebagai pekerja.
Berbagai temuan fakta dan benda bersejarah tentang transmigrasi itu semakin menguatkan niat Muhajir untuk menggagas pendirian museum. Ide pendirian museum transmigrasi pertama kali ia cetuskan pada 1998. Saat itu, Muhajir diundang sebagai pembicara pada seminar transmigrasi di Universitas Jenderal Sudirman, Jawa Tengah.
Ia juga mengusulkan agar museum didirikan di Desa Bagelen, yang menjadi lokasi pertama transmigrasi di Indonesia. Pendirian museum di desa itu sekaligus menjadi tonggak sejarah transmigrasi di Tanah Air.
Gayung pun bersambut. Pemerintah pusat menyetujui usulan pendirian museum. Pemerintah membeli lahan seluas 6,3 hektar untuk pembangunan gedung museum di Desa Bagelen. Museum untuk mengenang sejarah transmigrasi di Tanah Air itu akhirnya berdiri dan diresmikan pada 2004 dengan nama Museum Nasional Ketransmigrasian.
Muhajir juga turut mengorganisasi anak-anak keturunan transmigran dengan mendirikan Perhimpunan Anak Transmigrasi Republik Indonesia (PATRI). Muhajir menjabat sebagai Ketua Umum PATRI salama sepuluh tahun pada 2004-2014. Perhimpunan itu menjadi wadah bagi anak-anak transmigran di sejumlah provinsi untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan sejarah tranmigrasi secara berkala.
Prihatin
Kini, setelah 17 tahun didirikan, museum itu memiliki 800 koleksi benda bersejarah. Dari jumlah itu, ada 703 koleksi yang sudah diinventarisasi.
Berbagai benda bersejarah itu, antara lain, beragam alat pertanian, seperti cangkul, arit, ani-ani, alat pembajak sawah, dan lesung. Selain itu, ada pula koleksi perabotan rumah tangga, alat transportasi, serta berbagai alat musik tradisional.
Sebagai penggagas pendirian museum, Muhajir prihatin melihat kondisi museum yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Minimnya kebijakan anggaran membuat benda-benda bersejarah di sana kurang terawat. Pengelola juga tidak bisa menambah koleksi benda bersejarah karena ketiadaan anggaran.
Gedung utama museum juga tampak kusam. Rumput-rumput liar yang tumbuh subur di halaman museum kontras dengan kondisi gedung yang semakin rapuh.
Kondisi itu jika dibiarkan, kata Muhajir, akan semakin menurunkan minat generasi muda untuk belajar sejarah. Ia sangat berharap pemerintah bisa merevitalisasi Museum Nasional Ketransmigrasian.
Pemerintah daerah juga semestinya bisa mempromosikan tempat itu sebagai destinasi wisata sejarah di Lampung. Pengunjung tidak hanya diajak melihat koleksi museum, tapi juga menengok kehidupan warga keturunan transmigran dan masyarakat lokal yang hidup berdampingan secara harmonis di Lampung. Dengan cara itu, ingatan untuk selalu merawat keberagaman di Tanah Air akan terus terjaga di kaum generasi muda.
Muhajir Utomo
Lahir: Pringsewu, 16 Juli 1950
Istri: Fauzia
Anak: tiga orang
Pendidikan:
- SR Siliwangi Pringsewu
- SMPN Pringsewu
- SMAN 1 Bandar Lampung
- S-1 Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Program afiliasi S-1 Institut Pertanian Bogor)
- S-2 University of Kentucky
- S-3 University of Kentucky
Pekerjaan: Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung