Raldi Artono Koestoer: Pencipta Inkubator Gratis bagi Bayi Prematur
Tahun 1994, Prof Raldi Artono Koestoer sudah membuat inkubator. Tahun 2010 ketika ada dana dari Bank Dunia, ia memperbarui alat itu lalu menyerahkannya ke RS di Depok dan dua lagi ditaruh di kantornya dan rektorat UI.
Oleh
Soelastri Soekirno
·5 menit baca
Profesor Dr Raldi Artono Koestoer (67) hampir setiap hari menangis. Bukan bersedih, melainkan tangis bahagia karena ada bayi prematur tertolong oleh inkubator karyanya. Perasaan itu mendorong Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia tersebut memperluas layanan peminjaman inkubator secara gratis bagi bayi prematur keluarga miskin.
Raldi sejak tahun 2012 membuat inkubator spesial. Alat tersebut untuk memanaskan tubuh bayi lahir prematur yang biasanya mengalami hiportemia dan kondisi kurang sehat lainnya sehingga terancam meninggal. Pemakaian alat itu lewat program peminjaman inkubator gratis sejak 2012 sampai Desember 2020 telah menyelamatkan 4.500 bayi prematur di Tanah Air.
Inkubator buatan Raldi ini portable, dengan panjang sekitar 50 sentimeter, lebar 30 sentimeter, dan berat 20-26 kg. Dengan ukuran itu, inkubator bisa diangkat oleh satu orang untuk dipindah ke mana pun. Bahkan pada model terbaru, inkubator bisa dilepas pasang (knockdown) dengan daya listrik hanya 80 watt-100 watt.
Ukuran itu jauh lebih kecil daripada alat sama yang dipakai oleh rumah sakit dan klinik bersalin. Tak hanya ukurannya lebih besar, inkubator permanen di rumah sakit perlu daya listrik sekitar 300 watt. Alat yang biasanya buatan Amerika Serikat dan Jepang itu sulit dipindah ke tempat lain, misalnya dari rumah sakit ke rumah orangtua bayi, sebab beratnya bisa mencapai 100 kg.
Padahal, banyak ibu dari keluarga miskin melahirkan bayi prematur. Orangtua bayi tak mampu membayar biaya perawatan anaknya di RS. Masalahnya, mereka tak punya alat untuk menghangatkan tubuh bayi sehingga butuh pinjaman inkubator. Semula, Raldi tak tahu kondisi orangtua bayi prematur yang memaksa membawa bayi pulang.
Tahun 1994, ia sudah membuat inkubator. Tahun 2010 ketika ada proyek yang didanai Bank Dunia, ia memperbarui alat itu lalu menyerahkannya ke RS di Depok serta dua lagi ditaruh di kantornya dan rektorat UI.
Pengalaman membantu cucu kawannya yang lahir prematur, serta bayi lain dari keluarga ekonomi menengah ke bawah pada tahun 2012, mengubah total dirinya. Ketika membawa, lalu memasang inkubator di rumah kawannya, istri kawannya tampak gembira. Apalagi tiga minggu kemudian, cucu kawannya sudah sehat, tak butuh alat penghangat lagi. ”Saya ikut senang dan lega,” tuturnya beberapa waktu lalu di Jakarta.
Kegembiraan bisa membantu cucu kawannya membuat Raldi membuka layanan peminjaman inkubator bagi warga menengah ke bawah secara gratis. Begitu kabar tersebar, banyak orang ingin meminjam alat itu. Suatu hari ada warga Condet, Jakarta Timur meminjam. Raldi seperti biasa mengantarkan alat tersebut ke rumahnya.
Ternyata rumah keluarga itu jauh dari jalan raya. Ia dan sopirnya harus susah payah membawa alat seberat sekitar 60 kg lewat gang sempit. Sampai rumah orangtua si bayi, ada persoalan baru. Daya listrik di rumah itu hanya 450 watt sehingga ia meminta ayah bayi dan penghuni lainnya bergantian memakai alat listrik sehingga tak terjadi korsleting.
Lahir baru
”Peristiwa itu membuat saya sadar, tak cukup hanya meminjami inkubator, tapi harus membuat inkubator yang lebih praktis dan daya listriknya rendah. Kalau alat itu punya daya sampai 300 watt lalu, alat lain di rumah keluarga itu kebagian daya berapa?” kata ayah dua anak itu.
Pikirannya berkecamuk, memikirkan nasib bayi prematur dari keluarga marjinal yang miskin, tak punya akses ke fasilitas kesehatan, pendidikan rendah dan tak punya jejaring. Lantas siapa yang menolong mereka? Ia ingat kematian bayi prematur Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia. Tahun 2010, Indonesia menduduki ranking kelima dunia.
Mendadak semangat untuk membantu anak keluarga miskin berapi-api. “Saya saat itu seperti lahir baru. Kalau orang bertanya berapa usiamu? saya jawab Sembilan tahun hehe.. ya karena kejadian itu seperti menyentak. Saya punya ilmu, mengapa tak menggunakan ilmu saya untuk membantu mereka,” ujar Raldi.
Pada tahun itu, ia merancang inkubator ukuran lebih kecil dan tenaga listrik rendah. Raldi bekerja bersama tim yang sebelumnya menjadi anak didiknya. Pembaruan terus dilakukan sampai saat ini sudah tercipta 10 jenis inkubator. Semua bisa dipindahkan ke lain tempat dengan mudah. Ia juga membebaskan pihak lain meniru karyanya secara gratis.
Ahli ilmu perpindahan kalor itu tak berhenti pada mencipta alat. Ia ingin membantu lebih banyak bayi prematur dari keluarga miskin yang butuh alat tersebut dengan memperkuat Yayasan Bayi Prematur Indonesia. Yayasan itu ia dirikan untuk memberi pinjaman inkubator secara gratis bagi bayi prematur dari keluarga miskin. Untuk melakukan niat itu ia mengajak warga menjadi agen relawan.
”Saya tidak jual beli inkubator. Kami membuat, tetapi orang yang mau menjadi agen relawan mesti mengganti satu inkubator dengan harga Rp 4 juta. Syarat lain, ia harus mau mengantar dan mengambil ke rumah orangtua yang meminjam inkubator, dan merawat alat itu,” kata lelaki yang mahir bermain gitar, flute, dan menjadi anggota band The Profesor dari UI.
Tak ia sangka, banyak orang berminat menjadi agen relawan. Ada warga dari Yogyakarta membawa mobil ke kantornya untuk ”menebus” inkubator. Ada juga lembaga, seperti RS Karitas di Sumba Barat Daya dan Yayasan Kesejahteraan Muslimat Nahdlatul Ulama yang berkantor pusat di rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, dan lainnya.
Keputusan tak menjual alat tersebut malah memunculkan suara sumbang. Banyak calon pembeli tetapi tak mau ikut sistem. ”Saya bertekad tak mengomersialkan alat itu, tapi mereka tetap mau membeli. Saya khawatir mereka akan mengoperasionalkan untuk bisnis sehingga akses untuk warga miskin makin sulit,” katanya. Muncul pertanyaan, misalnya, jangan-jangan alat itu tidak aman. Raldi tak menanggapi sebab ia yakin sudah memilih bahan yang aman dan ringan sehingga membuat bobot inkubator lebih ringan daripada yang ada di pasar.
Ada juga institusi mau menjadi agen relawan tetapi mau menempelkan nama institusinya ke inkubator. ”Tidak ada stiker apa pun yang boleh ditempel selain tulisan Universitas Indonesia karena itu lembaga saya,” katanya.
Saat ini agen relawan yang tergabung dalam Yayasan Bayi Prematur Indonesia ada di 134 kota dan kabupaten se-Indonesia. Pengurus dan agen siap sedia 24 jam menerima permintaan peminjaman inkubator.
Ia kini berupaya menambah jumlah agen relawan di wilayah Indonesia bagian timur dan daerah terpencil sebab biasanya di daerah itu banyak warga kesulitan mengakses fasilitas Kesehatan. Raldi juga ingin membantu warga di negara tropis yang memiliki masalah dan kondisi hampir serupa dengan Indonesia.
BIODATA
Raldi Artono Koestoer
Tempat dan lahir: Jakarta, September 1954
Pekerjaan: Guru besar Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Pendidikan:
SMAN III Teladan Jakarta (1972)
Insinyur Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Indonesia (1978)
Ecole Nationale Superieure de Mecanique et Aeronautique – ENSMA, special course, at Poitiers-Perancis (1980-1981)
Doktor Bidang Perpindahan Kalor dari Universite de Paris XII Val de Marne, Perancis (1985)
Guru Besar Bidang Perpindahan Kalor Fakultas Teknik UI (2006)
Istri: Harlina
Anak: Wahyu Perdhana dan Lulu Safira
Penghargaan antara lain:
Pemenang pertama peneliti terbaik bidang Sains dan Teknologi Universitas Indonesia (1989)
Runner up Dosen Teladan Universitas Indonesia (1995).
Pemenang ketiga Lomba Rancang Bangun Teknologi BPPT 2001 dengan subyek Rancang Bangun Inkubator Tetas Ayam (2001)