Kisah Komang Roy, Guru di Daerah Tapal Batas Negara
Komang Roy sadar benar ketika ia ditugaskan sebagai guru di pelosok Tanah Air. Ia akan menghadapi berbagai persoalan, termasuk soal fasilitas. Namun, keterbatasan justru membuat ia terus bergerak.
Ditugaskan sebagai guru di daerah perbatasan tidak membuat Komang Roy Prismayudi berkecil hati. Ia berjibaku dengan sejumlah masalah mulai kemampuan baca tulis siswa yang minim sampai akses jalan ke sekolah yang buruk. Semua ia terima demi mencerdaskan generasi muda di daerah perbatasan.
Komang saat ini menjabat Kepala SMPN Lamotena, Desa Karangle, Kecamatan Alor Timur, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Jabatan itu ia pegang sejak akhir 2019.
Komang menjadi guru melalui program guru sarjana mengajar di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (SM3T) dari Denpasar pada 2013. Saat mengikuti program itu, ia ditugaskan selama satu tahun di SMPN Naumang, Desa Kolana Selatan, Kecamatan Alor Timur. Jarak sekolah itu sekitar empat kilometer dari SMPN Lamotena tempat ia sekarang mengajar.
Setelah program SM3T selesai, ia kembali ke Denpasar. Pada 2017, ia diangkat sebagai guru Aparatur Sipil Negera. Ia memilih kembali ke Alor karena ingin mengabdi di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Ia bertugas di SMPN Lamotena yang kondisinya jauh berbeda dibandingkan dengan SMPN Naumang yang dekat ibu kota Kecamatan Alor Timur, Maritaing.
Desa Karangle berbatasan laut sekitar 40 mil dari Pulau Atauro, Timor Leste. Wilayah in benar-benar daerah 3T. Tidak ada listrik apalagi jaringan internet di sana. Komang menggunakan lampu pelita saat malam hari ketika menyiapkan mata pelajaran untuk esok hari. Jika minyak tanah habis, ia menggunakan lilin.
Komang Roy Prismayudi menyeberang sungai yang sedang surut pasca-Badai Seroja, April 2021.Jika ingin mengakses internet ia mesti ke Kalabahi yang berjarak sekitar 117 kilometer dari Karangle dengan sepeda motor. Saat itulah, ia bisa mengunduh aneka bacaan dan informasi tentang dunia pendidikan melalui telepon selulernya.
Untuk menjangkau Kalabahi melalui dari Karangle bukan perkara mudah. Komang mesti melewati jalan tanah sepanjang tujuh kilometer sampai Maritaing. Selepas Maritaing hingga Kalabahi, barulah ia bisa ”menikmati” jalan beraspal yang rusak di beberapa titik.
Di rute Karangle-Maritaing, Komang mesti melewati satu sungai dengan lebar sekitar 300 meter pada musim hujan, dan 30 meter pada musim kemarau. Saat musim hujan, rute itu berlumpur dan penuh kubangan. Saat musim kemarau, jalan penuh debu. Jika sungai meluap, ia tidak bisa keluar dari Karangle dan terpaksa menuju Kalabahi melalui jalur laut. ”Lewat laut pun kadang cuaca tidak bersahabat sehingga urusan dinas dan belanja kebutuhan hidup terpaksa ditunda,” katanya.
Saat Badai Seroja melanda, awal April lalu, Komang sedang liburan Natal dan Tahun Baru di Kalabahi bersama keluarga. Seusai liburan dan badai reda, ia kembali ke Karangle. Jalan menuju desa itu dirintangi batang-batang pohon yang tumbang akibat badai. Ia terpaksa membelokkan sepeda motor masuk semak-semak untuk menghindarinya.
Selain kendala alam, Komang mesti menghadapi kenyataan kemampuan membaca dan menulis sebagian siswa SMPN Lamotena yang rendah. Hal itu disebabkan minimnya guru di tingkat SD dan tidak adanya PAUD. Orangtua siswa pun banyak yang tidak bisa membaca dan menulis.
”Kami mengajari mereka sampai bisa membaca, menulis, dan menghitung. Butuh kesabaran memang,” ujar Komang saat dihubungi, Rabu (24/11/2021).
Baca Juga: Dua Gedung SD di Alor dibangun Pembaca Harian ”Kompas”
Selain Komang, di SMPN Lamotena saat ini hanya ada tiga guru berstatus tenaga kontrak daerah. Satu guru mengajar sampai tiga mata pelajaran, meski itu bukan bidang studi guru bersangkutan. Komang mengajar Bahasa Inggris dan mengurus sekolah. Namun, jika satu dari tiga guru itu berhalangan hadir, ia harus ganti mengajar materi yang diajarkan guru tersebut.
Jumlah siswa di SMPN Lamotena hanya 34 orang. Sekolah ini seharusnya bisa menampung lulusan dari tiga SD di sekitarnya dalam jumlah lebih banyak. Akan tetapi, banyak lulusan SD tidak melanjutkan sekolah. Sementara itu, siswa yang melanjutkan sekolah umumnya memilih SMP di Maritaing yang kondisinya lebih baik.
Di sekolah itu juga tidak ada perpustakaan. Padahal, perpustakaan sangat penting untuk menyediakan buku bacaan untuk melatih keterampilan siswa membaca dan memahami isi bacaan. ”Jika cerita dalam buku itu menyenangkan, tentu mereka ingat,” katanya.
Tahun 2019, Komang mengajukan proposal bantuan kepada pemerintah untuk membangun perpustakaan. Namun, tanah yang akan digunakan untuk bangunan perpustakaan ternyata belum bersertifikat sehingga dianggap tidak memenuhi syarat.
Komang tidak kehabisan akal. Ia berinisiatif mengumpulkan dana melalui grup WA teman-temannya di Denpasar, Bali, dan daerah lain. Dari situ, sejumlah dana terkumpul. Ia lantas menggelar empat kali pertemuan dengan warga untuk membicarakan rencana membangun perpustakaan. Warga bersedia mengumpulkan material kayu secara swadaya. Sementara itu, paku, seng, semen, dibeli dari hasil penggalangan dana yang dilakukan Komang.
Namun, pada hari pelaksanaan, orangtua dan warga tidak memenuhi kewajiban mereka. ”Saya kecewa berat. Sumbangan para dermawan ini harus terealisasikan,” ujarnya.
Beruntung ada bantuan dari alumni SMPN Lamotena, guru, dan siswa. Proyek pembangunan perpustakaan itu pun bisa dimulai. Mereka mencari material kayu, pasir, dan batu. Komang membeli seng, paku, dan semen di Kalabahi.
Baca Juga: Jalan Penghubung 14 Desa di Kabupaten Alor Rusak Berat
Siswa-siswa dikerahkan setiap sore. Mereka diajari Komang bagaimana memegang sekop, cetok, campur pasir dan semen, mengaduk, dan menyusun batako dengan campuran. Perlahan tapi pasti, bangunan perpustakaan berukuran 6 meter x 5 meter persegi berhasil didirikan. Kini, perpustakaan sekolah sudah rampung 85 persen. Buku untuk mengisi perpustakaan diperoleh dari teman-teman Komang di luar NTT.
Perpustakaan sekolah ini tidak hanya untuk siswa SMP, tetapi juga siswa SD Karangle dan warga yang ingin membaca, terutama buku-buku cerita rakyat dari Alor, buku pertanian, peternakan, dan cara berbisnis yang sederhana.
Sayangnya, di Karangle belum ada listrik sehingga perpustakaan hanya bisa dimanfaatkan pada siang hari. Komang berharap, listrik dan jaringan internet bisa masuk ke Karangle agar siswa-siswa bisa mengikuti perkembangan zaman.
Meski dengan segala keterbatasan, Komang tetap bersemangat mendidik siswa-siswanya. Ia terus bergerak mesti tunjangan sebagai guru di perbatasan tidak diperoleh rutin. Tahun 2020, ia tidak dapat tunjangan. Semester I-2021, ia mendapat tunjangan, tetapi untuk semester dua belum dapat.
”Menjadi guru di pedalaman Alor ini pilihan saya karena itu saya tetap setia menjalani tugas ini,” ujarnya.
Komang Roy Prismayudi
Lahir: Singaraja, Bali, 16 Oktober 1990
Istri: Diah Nurul Yaqin
Anak: Nauri Darmayanti Putri (2)
Pendidikan Terakhir: S-1 Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Ganesha Bali