Sarwani Sabi, Sang Penengah Konflik Harimau
Sarwani Sabi telah puluhan tahun menjadi pawang harimau di Aceh.

Sarwani Sabi (84), pawang harimau dari Aceh
Profesi Sarwani Sabi (84) sebagai pawang harimau telah dijalani sejak usia belia. Dia adalah penengah atau juru damai konflik manusia dengan harimau sumatera di Provinsi Aceh.
Minggu (24/10/2021) siang, Sarwani bersama tim baru saja memasang perangkap harimau di Desa Simpang, Kecamatan Bakongan Timur, Kabupaten Aceh Selatan. Sejak sepekan lalu seekor harimau dewasa masuk keluar perkebunan warga. Sarwani datang untuk menangkap atau mengusir harimau itu kembali ke hutan.
Dengan kekuatan tersisa dari tubuhnya yang kian renta, Sarwani akan selalu hadir saat ”Raja Rimba” masuk ke kawasan budidaya atau permukiman warga. ”Saya meminta harimau pergi ke hutan. Dia tahu bahasa manusia. Dengan izin Allah, dia menuruti apa yang saya minta,” ujar Sarwani kepada Kompas.
Saya minta harimau pergi ke hutan. Dia tahu bahasa manusia. Dengan izin Allah, dia menuruti apa yang saya minta.
Sarwani belajar menjadi pawang harimau dari sang ayah sejak berusia delapan tahun. Sarwani lahir di Kabupaten Aceh Barat, 1937. Kecintaannya kepada harimau membuat dia meninggalkan bangku sekolah dan memilih ”sekolah pawang harimau”. Padahal ayahnya, Sabi, awalnya melarang Sarwani mengikuti jejaknya, tetapi karena melihat tekad kuat, akhirnya ilmu pawang diwariskan juga kepadanya.

Dari tahun 1945 hingga 1960, Sarwani mengikuti ayahnya menengahi konflik harimau dengan manusia. Selain sebagai anak, dia merangkap menjadi murid dan asisten pawang Sabi. Dia belajar dengan tekun dan melakukan semua yang diminta oleh sang ayah. Tidak terhitung berapa ekor harimau yang ia giring masuk ke kandang atau dihalau ke hutan.
Pekerjaan itu dilakukan bukan untuk mencari uang, melainkan menolong orang. Mereka hidup dari bertani. ”Ayah berwasiat, menjadi pawang adalah ibadah, membantu orang, jangan pernah minta imbalan,” ucap Sarwani.
Sampai kini wasiat itu masih dipegang teguh. Meski usia tidak muda, kesehatan menurun, dia tidak menolak saat ada permintaan mengusir harimau liar. Kadang dia harus dipapah untuk menuju ke lokasi pemasangan perangkap.
Tahun 1960, ayahnya meninggal. Usia Sarwani baru 23 tahun. Setelah ayahnya mangkat, profesi pawang harimau sepenuhnya diemban oleh Sarwani hingga kini.
Sarwani mengatakan konflik harimau dengan manusia semakin sering karena hutan sudah rusak. Sebenarnya harimau tidak mengganggu manusia, tetapi turun ke permukiman untuk mencari makanan, sebab ketersediaan makanan di hutan kian berkurang.
Namun, kata Sarwani saat berada dalam ancaman harimau dapat memangsa manusia. Karena itu manusia harus menghindar dan mengusir harimau itu ke hutan.
Sebenarnya harimau tidak mengganggu manusia, tetapi turun ke permukiman untuk mencari makanan sebab ketersediaan makanan di hutan kian berkurang.
Pada 2007, tujuh warga di Aceh Selatan meninggal dimangsa harimau. Namun, kematian harimau juga cukup tinggi, terutama karena perburuan untuk perdagangan ilegal.
Doa dan ritual
Cara Sarwani menghalau harimau cukup unik, yakni dengan doa-doa dan ritual. Beberapa batang kala atau kecombrang ditancapkan dan membakar kemenyan. Batang kala sebagai simbol perdamaian, sedangkan kemenyan mediasi komunikasi. Setelah menancapkan batang kala dan membakar kemenyan, Sarwani akan merapalkan doa-doa berupa ayat Al Quran.

Ritual mendamaikan manusia dan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) oleh pawang harimau yang digelar BKSDA Aceh di kebun sawit di Singgersing, Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh, Kamis (23/1/2020).
Lokasi pelaksanaan ritual tidak jauh dari pemasangan perangkap. Biasanya beberapa hari setelah pelaksanaan ritual, harimau akan mendatangi dan masuk ke perangkap. Ada juga harimau yang kembali ke hutan.
Sarwani mengatakan untuk mengamalkan ilmu pawang ada syarat yang harus dipenuhi, yakni tidak boleh meninggalkan shalat, jiwa harus selalu dalam keadaan bersih, dan tidak boleh sombong.
Sebagai sesama makhluk Tuhan, Sarwani meyakini meski dikenal sebagai binatang buas, harimau punya sisi kelembutan. ”Dia (harimau) tahu niat kita baik atau jahat. Kita tidak bisa bahasa dia, tetapi dia mengerti apa yang kita sampaikan,” ujar Sarwani.
Bagi warga barat selatan Aceh, harimau sangat dihormati sehingga dipanggil nenek. Harimau juga diyakini sebagai pengawal ulama sehingga ada istilah rimueng aulia (harimau ulama).
”Dulu kalau ada harimau yang mati dikafankan dan dikuburkan dengan baik. Tetapi sekarang justru dibunuh,” ujar Sarwani.
Namun, belakangan harimau menjadi sasaran utama perburuan untuk dijadikan opsetan atau kulitnya dijual. Alih fungsi hutan menjadi kawasan budidaya juga telah merusak habitat harimau. Kini harimau sumatera termasuk dalam daftar satwa yang terancam punah sehingga dilindungi.
Sarwani sangat sedih melihat kondisi konflik satwa sekarang. Nyaris setiap bulan ada harimau yang masuk ke kawasan budidaya. Terkadang berminggu-minggu dia di lapangan. Meski tenaganya telah surut, semangat pengabdian memberinya kekuatan.
Baca juga: Eka Rosa dan Abdul Hamid Mengantar Atlet Disabilitas Berdaya
Apalagi sejak 2007, Sarwani telah diangkat sebagai staf kontrak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh. Jasa Sarwani menengahi konflik harimau di Aceh sangat membantu pemerintah dalam upaya menekan konflik. Pada 2020, Sarwani memeroleh penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sarwani menyadari tidak banyak pawang harimau yang tersisa di Aceh. Dengan usianya yang telah tua, dia menginginkan anak-anaknya mengamalkan ilmu pawang agar masih ada penerus penengah konflik. Dia megajarkan ke lima anaknya, tetapi dia sendiri belum yakin apakah mereka sudah mumpuni.
”Siapa pun bisa belajar menjadi pawang, selama niat tulus untuk membantu orang dan melindungi harimau,” ujar Sarwani.
Sarwani Sabi
Lahir : Aceh Barat, 1937
Alamat: Kecamatan Kaway XIV, Kabupaten Aceh Barat, Aceh
Profesi : Pawang harimau, staf BKSDA Aceh
Penghargaan: Tokoh konervasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2020.