Film menjadi alat bagi Edwin untuk menunjukkan dan mempertanyakan masalah-masalah yang belum selesai, baik yang terjadi di masa lampau maupun sekarang. Edwin berkarya dengan melihat apa yang terjadi di sekitar kita.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Film menjadi cerminan realitas ketika dibuat dengan perspektif yang personal, begitu kata sutradara Edwin (43). Kali ini, laki-laki kelahiran Surabaya itu membuat film yang menyoroti konstruksi sosial tentang maskulinitas dan seksualitas serta kekerasan yang masih berseliweran di masyarakat.
Sudah dua dekade berlalu sejak kali pertama Edwin terjun ke dunia film. Ia mengawali kariernya dengan membuat film-film pendek kemudian menjelajahi pembuatan film panjang. Banyak tema yang dia bahas, mulai dari soal keluarga, cerita rakyat, percintaan, kekerasan domestik, kelompok minoritas, kapitalisme, hingga makanan.
Representasi isu sosial mendominasi dalam film-film Edwin. Namun, dia selalu menyelipkan pesan—dan juga kritik—bernuansa politis. Dalam Aruna & Lidahnya (2018), contohnya, ia mengawinkan penjelajahan pencarian makanan khas daerah dengan isu korupsi lembaga pemerintahan.
Sama seperti pembuat film lainnya, Edwin berkarya dengan melihat apa yang terjadi di sekitar kita. Film menjadi alat bagi Edwin untuk menunjukkan dan mempertanyakan masalah-masalah yang belum selesai, baik yang terjadi di masa lampau maupun sekarang.
”Film menjadi cermin dengan sendirinya ketika dibuat dengan perspektif yang personal. Dan ketika kita mempertanyakan begitu banyak hal di sekitar kita, apa pun yang dipertanyakan, maka pemikiran itu menjadi sikap politis,” kata Edwin, dalam wawancara virtual dari Jakarta Selatan, Sabtu (25/9/2021).
Gelagat itu kembali terlihat saat Edwin merilis Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas tahun ini. Berlatar akhir tahun 1980-an, film ini menceritakan Ajo Kawir, si pemuda impoten yang gemar berkelahi untuk menunjukkan kejantanannya. Impotensi itu terjadi akibat trauma masa lalu. Kebingungan muncul saat Ajo Kawir jatuh cinta kepada Iteung, si perempuan petarung.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas diadaptasi dari novel berjudul sama karya Eka Kurniawan tahun 2014. Sekilas sinopsis menunjukkan ini adalah cerita drama aksi laga berbalut romansa. Namun, apa yang Edwin ingin tunjukkan lebih dari itu, yakni maskulinitas beracun, seksualitas yang tabu, dan normalisasi kekerasan di sekitar kita.
Harga diri seorang laki-laki hanya dilihat dari kejantanannya. Definisi seksualitas enggan dibedah lebih jauh. Orang jadi melakukan kekerasan karena membutuhkan pelampiasan atas ”kegagalan” memenuhi tuntutan berbagai konstruksi sosial. Topik ini ternyata masih relevan sampai sekarang.
”Kita belum lepas dari budaya kekerasan, padahal sudah terekspos dengan berbagai macam hal, masyarakat dan pemerintahan kita lebih demokratis dibandingkan tahun 1980-an, tapi kok masih sama saja? Kekerasan ini perlu ditelusuri terus karena kayaknya ada yang belum tuntas,” Edwin.
Jika dilihat dari kacamata yang lebih luas, Edwin melanjutkan, film tersebut mengambil latar selama puncak era Orde Baru. Rezim berkuasa tidak segan menggunakan kekerasan selama memerintah. Alhasil, kekerasan menjadi suatu hal yang wajar dan berakar dalam masyarakat hingga saat ini.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas bisa dibilang proyek jangka panjang. Edwin awalnya terpesona dengan novel ini beberapa waktu setelah dirilis. Judulnya menarik. Ada energi kemarahan, tetapi juga terkesan puitis seperti tulisan di belakang truk-truk besar lintas provinsi. Apalagi, karakter utama dalam cerita mudah diingat.
Cerita novel itu juga mengingatkan Edwin pada perkembangan masif budaya populer Indonesia selama 1980-1990-an. Film tengah bangkit, komik sedang menjamur, dan musik sementara berjaya. Ide pembuatan film ini lalu dibahas pada 2016. Namun, prosesnya sempat tertunda selama beberapa tahun. Edwin akhirnya menggarap Posesif (2017) dan Aruna & Lidahnya sebagai pengisi kekosongan.
Dana produksi film akhirnya diperoleh dari Indonesia, Singapura, Jerman, dan beberapa sumber pendanaan lainnya. Baru pada 2020, proses shooting Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas berlangsung sekitar 28 hari di Rembang, Jawa Tengah. Untuk kali pertama, Edwin berkolaborasi dengan penulis novel, Eka, untuk menulis naskah film ini.
Pandemi sempat menghambat proses produksi. Karena menggunakan kamera analog dan film seluloid 16 mm, film harus dibawa ke laboratorium di Jepang. Edwin sengaja menggunakan film seluloid untuk mempresentasikan kekerasan dalam film dengan lebih nyata. Film ini akhirnya selesai pada April, tahun ini.
Macan tutul emas
Di tengah pandemi, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash dalam bahasa Inggris) membawa asa baru bagi para sineas film. Film ini menggondol trofi macan tutul emas alias Golden Leopard dalam Locarno Film Festival Ke-74 di Locarno, Swiss, pada 14 Agustus 2021. Produser Palari Films, Muhammad ”Eddy” Zaidy, yang menerima penghargaan ini.
Dalam sejarahnya, Locarno Film Festival merupakan salah satu festival film tertua di dunia. Berlangsung sejak 1946, penghargaan dalam festival ini tidak kalah bergengsi dengan festival film dunia lainnya. Sementara itu, Golden Leopard adalah hadiah utama festival untuk film terbaik.
Kemenangan tersebutmencatat sejarah baru di Locarno Film Festival. Ini merupakan kali pertama Indonesia meraih Golden Leopard setelah beberapa kali berkompetisi. Negara Asia Tenggara lainnya yang pernah meraih kemenangan di sana baru Filipina dan Singapura. Edwin pun tak menyangka bakal menang sehingga pulang duluan.
Golden Leopard tentu juga menjadi catatan manis bagi prestasi Edwin di dunia film yang telah meraih banyak kemenangan di dalam dan luar negeri. Beberapa sutradara ternama telah membawa pulang trofi ini di masa lalu, antara lain Stanley Kubrick, Kon Ichikawa, dan Mike Leigh.
”Di tengah situasi serba tidak pasti (akibat pandemi), ketika mendapat apresiasi sebesar ini jadi ada motivasi luar biasa untuk terus membuat film. Ini juga kemenangan untuk film Indonesia dan Asia Tenggara, di mana kita selalu mencari jalan untuk membuat film,” tutur Edwin.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas rencananya akan tayang di Indonesia pada akhir tahun ini. Untuk saat ini, film ini masih akan berkompetisi di beberapa festival selain Locarno Film Festival dan Toronto Film International Film Festival, antara lain di Hamburg, Jerman; Busan, Korea Selatan; Valladolid, Spanyol; dan London, Inggris.
Menurut Edwin, festival merupakan wadah yang baik untuk mendistribusikan film dan memperkenalkan film Indonesia ke penonton internasional. Melihat beberapa kemenangan film Indonesia dalam beberapa ajang internasional pada tahun ini, ia menuturkan, semakin memperjelas bahwa kualitas film Indonesia tidak kalah di mata internasional.
Edwin
Lahir: Surabaya, Jawa Timur, 24 April 1978
Pendidikan: Fakultas Film dan Televisi di Institut Kesenian Jakarta
Film panjang:
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021)
Aruna & Lidahnya (2018)
Posesif (2017)
Kebun Binatang (2012)
Babi Buta yang Ingin Terbang (2008)
Penghargaan, antara lain:
Golden Leopard, Locarno Film Festival untuk Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021)
Sutradara Terbaik (Piala Citra), Festival Film Indonesia untuk Posesif (2017)
Edward Yang New Talent Award, 6th Asian Film Awards untuk Kebun Binatang (2012)
FIRESCI Award, International Film Festival Rotterdam untuk Babi Buta Yang Ingin Terbang (2009)
NETPAC Award, Taipei Golden Horse International Film Festival untuk Babi Buta Yang Ingin Terbang (2009)
Silver Award, Festival of the Three Continents, Nantes, France untuk Babi Buta Yang Ingin Terbang (2009)
Young Audience Award, Festival of the Three Continents, Nantes, France untuk Babi Buta Yang Ingin Terbang (2009)