Joni Messakh, Orang di Balik Hutan Mangrove Penyelamat Desa
Keselamatan 1.250 warga Desa Tanah Merah, Kupang, sangat bergantung pada kehadiran hutan mangrove hasil budidaya keluarga Messakh. Ini sudah terbukti dalam beberapa peristiwa gelombang laut dan angin kencang.

Joni Messakh, di kawasan mangrove di Tanah Merah, Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (22/9/2021).
Nama Joni Messakh populer di kalangan nelayan dan pemerhati mangrove di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ia dikenal sebagai orang yang menghijaukan kawasan pantai sambil menularkan virus budidaya mangrove. Boleh dikata, hutan mangrove sepanjang 2 kilometer dari pantai Desa Tanah Merah sampai Noelbaki, Kabupaten Kupang, merupakan milik Joni.
Ditemui di Pantai Desa Tanah Merah, Kamis (23/9/2021), Joni (45) tengah memperbaiki pagar pelindung mangrove. ”Saya mewarisi darah ayah Juliman Messakh, pencinta mangrove sampai meninggal dunia, 2018,” ujar Joni yang mulai mengenal budidaya mangrove sejak usia lima tahun pada 1981.
Saat itu, ia membantu ayahnya memikul anakan mangrove, menggali lubang, mengumpulkan ranting kering, mengganti anakan yang rusak, memperbaiki perahu, dan mengusir binatang peliharaan warga yang masuk ke lokasi mangrove.
Selain pengaruh ayahnya, kepedulian Joni pada mangrove diperkuat oleh peristiwa gelombang pasang setinggi 4 meter pada 1998. Berkat hutan mangrove yang sudah ada saat itu, gelombang pasang bisa tertahan. Namun, kawasan pantai yang tidak ditanami mangrove tidak terlindungi. Gelombang menerobos sampai 100 meter ke arah darat, merusak rumah warga, dan menghanyutkan belasan ternak babi dan ayam. Kejadian itu makin menyadarkan Joni dan warga tentang pentingnya mangrove.
Untuk menambah pengetahuan tentang mangrove, pada 2008 Joni ikut studi banding tentang mangrove di Denpasar, Bali, selama satu bulan atas ajakan sebuah lembaga swadaya masyarakat. Di sana, ia belajar aneka jenis mangrove dan cara menanamnya di tanah berlumpur, pasir, atau tanah kering. Ia juga belajar soal hama mangrove dan cara memperlakukan setiap jenis mangrove.
Baca juga : Jembatan Mangrove Tempat Rekreasi Baru Warga Kota Kupang

Joni Messakh (45) sedang menata pagar di kawasan hutan mangrove yang ia tanam, Rabu (22/9/2021).
Pulang dari Bali, ia membawa beberapa jenis mangrove yang belum ada di Tanah Merah. Ternyata mangrove itu tumbuh dengan baik di sana. Orang-orang desa pun makin percaya bahwa keluarga Messakh telah menyatu dengan mangrove. Apa pun jenis mangrove yang ditanam Joni dan anggota keluarga Juliman Messakh akan hidup dan berkembang.
Sebaliknya, mangrove yang ditanam orang lain banyak yang mati. Hal itu terjadi karena mereka menanam mangrove di gundukan pasir tanpa tahu berapa kedalaman tanah yang mesti digali.
Mangrove di Tanah Merah dibudidayakan sepanjang garis pantai dan muara sungai. Fungsinya sebagai tempat pemijahan dan tempat makan bagi berbagai jenis ikan, kerang, dan kepiting. Mangrove juga penting bagi kualitas air pada ekosistem di sekitarnya. Akar mangrove dapat menjadi pelarut nutrien, penahan gelombang, sedimen, dan material suspensi yang terangkut dari daratan ke pantai. Di luar itu, mangrove penting untuk mencegah erosi pantai.
Mesti diganti
Sayangnya, mangrove rentan rusak. Ketika ada keputusan Pemdes Tanah Merah membangun jembatan rekreasi di sisi muara, di celah rumpun mangrove, Joni menolak. Akan tetapi, akhirnya ia menerima setelah ada kesepakatan bersama, yakni tidak boleh merusak satu batang mangrove pun.
”Saya khawatir, ada rencana perpanjangan jembatan mangrove sepanjang 400 meter menuju bibir pantai, tempat tambatan perahu nelayan, juga pendaratan ikan. Ini bakal merusak mangrove,” kata Joni yang membina kelompok petani mangrove Daleh Esa atau satu hati.
Baca juga : Mangrove Penyelamat Kehidupan yang Terabaikan di Pantai Kupang

Anak-anak dari Desa Tanah Merah, Kupang, Rabu (22/9/202), bermain di hutan mangrove sambil menanam mangrove.
Ia mengatakan, saat ini setiap hari orang datang minta izin mengambil kayu bakar dan menebang mangrove untuk tiang rumah. Ia hanya mengizinkan orang mengambil mangrove yang sudah kering. Satu batang mangrove ditebang, harus diganti dengan menanam 5-10 anakan mangrove. Itu pun harus ada jaminan tumbuh sampai dewasa.
Ia mendorong kebijakan ini menjadi perdes. Namun, sampai hari ini belum diakomodasi. Dana desa pun belum pernah dialokasikan untuk budidaya mangrove di Desa Tanah Merah. Padahal, ada bagian dari dana itu untuk menjaga dan menyelamatkan lingkungan.
Ayah tiga putri ini menuturkan, ia sedang menyiapkan biji mangrove untuk disemai. Sekitar 1.500 biji mangrove sudah matang, ditandai dengan adanya cincin kuning di bagian propagulnya. Buah yang sudah matang ini disemai di dekat pohon induk. Berkisar 4-7 hari biji mangrove itu akan muncul kecambah setelah air laut masuk ke dalam biji tersebut. Pembibitan harus dilakukan di tempat di mana air pasang dan surut terjadi.
”Mestinya bisa dibuat bedeng kemudian menyemaikan benih di dalam bedeng itu. Tenaga terbatas dan tidak ada biaya, saya cari cara termudah. Begitu biji bakau mulai tumbuh, sekitar satu bulan dipindahkan ke lokasi yang hendak ditanami. Biasanya anakan mangrove ditanam dengan kedalaman 20-30 sentimeter tergantung kondisi tanah. Akar bibit mangrove itu harus berada di dalam tanah berlumpur,” kata Johni.
Baca juga : Memberdayakan Mangrove Jadi Pusat Wisata

Seorang bocah memetik buah mangrove dan bermain di hutan mangrove hasil budidaya Joni Messakh dan ayahnya, Jualiman Messakh, Rabu (22/9/2021).
Anakan mangrove tidak boleh ditanam di tanah berpasir. Sebab, saat air pasang atau banjir, mangrove itu akan terkikis dan terbawa arus laut. Mangrove harus ditanam di atas tanah berlumpur kemudian ditunjang dengan kayu atau bilahan bambu yang ditancapkan di samping mangrove. Batang mangrove diikatkan pada kayu atau bambu tersebut sehingga tidak mudah hanyut.
Ada sekitar 15 jenis mangrove di Pantai Tanah Merah, di antaranya Rhizopora spp, Avicennia spp, Aegeceras spp, Xylocarpus, Ceriops spp, dan Bruguiera spp. Rhisopora terdiri dari tiga jenis, yakni Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, dan Rhizopora stylosa. Jenis Rhizopora lebih dominan di pantai Tanah Merah.
”Jenis Bruguiera dan Aegeceras yang ada di sini, saya bawa dari Denpasar pada 2008. Sekarang jenis mangrove ini sudah mulai berkembang biak di sini. Mestinya pemerintah daerah bisa mengembangkan jenis ini ke lokasi lain di NTT juga,” kata Joni.
Jenis mangrove Bruguiera dan Rhizopora sering menjadi sasaran penebangan karena batangnya besar, berdiameter sampai 40 cm, tingginya sampai 20 meter. Mangrove jenis ini biasa diambil warga untuk bahan bangunan. Karena itu, jenis Bruguiera yang dibudidaya di Tanah Merah benar-benar diawasi agar tidak punah.
Baca juga : 10.000 Hektar Hutan Bakau di NTT Rusak
Upaya mempertahankan mangrove tidak untuk kepentingan Joni Messakh dan keluarga. Keselamatan 1.250 warga Desa Tanah Merah sangat bergantung pada kehadiran pohon mangrove hasil budidaya keluarga Messakh. Ini sudah terbukti dalam beberapa peristiwa gelombang laut dan angin kencang.
Saat Badai Seroja melanda wilayah Kupang pada 3-5 April 2021, Desa Tanah Merah hanya mengalami kerusakan tiga rumah. Satu rumah roboh karena usianya sudah di atas 30 tahun, dua rumah lain atapnya lepas lantaran kayu menopangnya sudah lapuk. Tidak ada korban jiwa. Sementara itu, di desa tetangga, seperti Oebelo, lebih dari 100 rumah rusak dan dua korban meninggal dunia.

Jubaidah (53) membawa makan siang dan air untuk suaminya, seorang nelayan yang sedang memperbaiki perahu di bibir pantai, Rabu (22/9/2021). Jubaidah melintasi jembatan mangrove dan hutan mangrove itu. Budidaya mangrove oleh Joni Messakh tetap memberi ruang bagi nelayan dan keluarga untuk melintas ke laut.
Mangrove juga menjadi tempat berteduh warga, nelayan, dan anak-anak saat panas terik. Anak-anak Tanah Merah setiap hari selalu menyempatkan waktu untuk bermain di dalam kawasan hutan mangrove dengan pengawasan Jono. Setiap anak yang datang bermain diajak Joni untuk menanam satu anakan mangrove sampai tumbuh dewasa.
Anak-anak usia sekolah dasar ini sangat puas dan bangga kalau mangrove itu berhasil tumbuh. Mereka juga sadar bahwa mangrove menentukan masa depan desa mereka sehingga harus dilestarikan sejak sekarang. ”Kalau bukan mereka, siapa lagi, dan kalau bukan sekarang, kapan lagi,” kata Joni.
Messakh bermata pencarian sebagai nelayan dengan penghasilan yang tidak menentu. Ia mewarisi ratusan batang pohon kelapa dari sang ayah sehingga digunakan sebagai penopang ekonomi keluarga.
Ia tidak akan meninggalkan budidaya mangrove, yang sudah digeluti sejak kecil. Keuntungan mangrove sudah dirasakan meski bukan hanya Johni Messakh dan keluarganya.
Joni yang hanya seorang nelayan dengan penghasilan yang tidak menentu bertekad akan terus meneruskan budidaya mangrove. Bagaimanapun, keuntungan mangrove dirasakan oleh banyak orang.
Baca juga : Abaikan Lingkungan, NTT Makin Akrab dengan Bencana dan Kemiskinan
Joni Messakh
Lahir: Kupang, 28 Maret 1976
Istri: Marian Koloratu
Anak-anak:
- Julia Messakh (17)
- Jaquelin Messakh (14)
- Jesania Messakh (13)
Pendidikan: SMAN2 Kupang
.