Suhendar, Mata untuk Kesetaraan Difabel
Suhendar tidak ingin dikasihani meski penglihatannya terbatas. Dia buktikan warga disabilitas juga bisa melakukan hal yang sama asal semua diberikan kesempatan setara.
Suhendar (45) menjadi ”mata” bagi difabel atau penyandang disabilitas untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan tanpa stigma. Dia ikut memperjuangkan kesetaraan dan membantu warga difabel di tengah keterbatasan penglihatannya.
Sabtu (4/9/2021), Suhendar sibuk mengutak-atik telepon selulernya di Aula Bale Rame, Soreang, Kabupaten Bandung. Keterbatasan pandangan membuatnya harus mendekatkan ponsel beberapa sentimeter dari bola mata kanannya.
Suhendar menyandang low vision sejak lahir. Tangan kanannya masih bisa melihat samar, sedangkan mata kirinya buta total. Namun, kondisi ini tidak menghambat keinginannya untuk hidup setara dan membantu sesama.
Di sekelilingnya, belasan difabel tengah bersama sejumlah pendamping. Hari itu, adalah saat istimewa. Setelah menunggu lama, mereka terdaftar sebagai calon penerima vaksinasi Covid-19 di tempat itu.
”Saya masih menghubungi teman-teman yang mau vaksinasi. Katanya tadi ada beberapa rombongan tunadaksa yang sedang dalam perjalanan,” ujarnya sambil mendekatkan ponsel ke telinganya. Dari ponsel pintar tersebut, terdengar sayup-sayup untaian kata dari mesin pembaca teks. ”Sebentar lagi mereka tiba,” ujarnya semringah.
Wajar apabila Suhendar begitu cemas menghubungi kawan-kawannya. Di tengah pandemi ini, dia menemukan difabel belum mendapatkan perhatian maksimal. Mereka masih saja kesulitan untuk mengakses vaksinasi karena keterbatasan yang dimiliki. Padahal, difabel atau penyandang disabilitas masuk kalangan prioritas dalam penanganan Covid-19.
”Penyandang tunanetra tidak bisa mengakses mandiri karena harus mengisi formulir. Penyandang tuli juga kesulitan karena pengumuman yang ada di lokasi vaksinasi umumnya menggunakan suara,” ujar Suhendar.
Baca juga : Beban Ganda Penyandang Disabilitas demi Dapatkan Vaksinasi
Setelah lama ditunggu, tawaran vaksinasi datang juga. Ikatan Keluarga Alumni Universitas Padjadjaran (IKA Unpad) diminta Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberikan vaksinasi Covid-19 bagi warga difabel atau penyandang disabilitas.
Sebagai Ketua Disability Center IKA Unpad Suhendar berusaha membangun komunikasi dan mengajak warga difabel untuk mau vaksinasi. Kegigihannya membuahkan hasil. Vaksinasi di Bale Rame itu menyediakan 550 dosis bagi warga difabel di kawasan Bandung Raya.
”Keterbatasan akses dan informasi tidak hanya membuat mereka tidak tahu, tetapi juga mudah terpapar hoaks tentang vaksin. Ini yang harus disadari bersama, jika mereka tidak tahu, sulit untuk mengajak teman-teman penyandang disabilitas ini untuk divaksin,” ujarnya.
Baca juga : Rudiat Menggerakkan Tahu Buku ke Pelosok Kampung di Bandung
Melihat perbedaan
Menyandang disabilitas sejak lahir, Suhendar kenyang ragam perlakuan kurang menyenangkan. Ragam ejekan datang pada dia. Namun, semuanya perlahan jadi penyemangatnya.
”Sejak kecil, di-bully sudah biasa. Kalau yang ngeledek itu sebaya dan yang lebih tua, saya biasanya cuekin. Tetapi kalau yang lebih kecil biasanya saya marahin,” ujarnya sambil tertawa.
Perlakuan itu mulai berkurang saat ia duduk di bangku SMP. Olok-olokan mulai reda. Namun, dia masih mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang di sekitarnya. Suhendar yang mulai paham dengan keterbatasan yang dimilikinya, bertekad membuktikan dia bisa setara.
”Saya menyadari teman-teman tampak mengasihani karena saya tunanetra. Ya mau bagaimana lagi, ini sudah diberikan Tuhan, enggak bisa protes. Karena itu, saya ingin membuktikan, dengan kondisi seperti ini saya juga bisa seperti mereka,” ujarnya.
Hanya mengandalkan pendengaran dan usaha lebih untuk membaca teks, Suhendar pun bisa menjadi salah satu siswa yang cemerlang. Dia selalu membaca buku meskipun harus dengan jarak sangat dekat. Suhendar kecil kerap mendapatkan nilai di atas rata-rata, bahkan menjadi juara kelas.
Akan tetapi, perlakuan berbeda kembali dialami saat dia mau masuk SMA. Salah seorang guru bahkan menyarankan Suhendar melanjutkan pendidikan di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) Wyata Guna, Kota Bandung. Dia dianggap bakal kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah umum.
”Akhirnya saya ikuti saja arahan dari guru itu dan masuk ke Wyata Guna tahun 1993. Setahun saya belajar menggunakan huruf Braille bersama teman-teman lainnya. Di saat itulah saya tersadar, ternyata banyak penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan yang sama. Kami dianggap tidak setara dengan yang lain,” ujarnya.
Bisa setara
Meskipun telah masuk ke Wyata Guna, keinginan Suhendar mendapatkan pendidikan setara dengan umum tetap kuat. Setelah setahun pertama dihabiskan untuk belajar huruf Braille, dia pun mendaftar ke SMA Kartika Chandra tahun 1994.
”Pemikiran anak-anak SMA biasanya lebih terbuka, jadi dia tidak terlalu mempermasalahkan kondisi saya. Tetapi tetap ada saja perlakuan yang subyektif dan menganggap saya tidak bisa mengerjakan sesuatu. Saya coba hilangkan stigma itu dengan tetap berkegiatan,” ujarnya.
Keinginan untuk mendobrak stereotip muncul saat Suhendar lulus SMA. Dia melihat kebanyakan rekan-rekannya di Wyata Guna yang ingin melanjutkan kuliah di keguruan agar bisa menjadi pengajar. Namun, dia lebih memilih untuk kuliah di Fakultas Hukum Unpad tahun 1997.
”Saya juga tertarik masuk hukum karena ingin mengetahui kenapa produk hukum saat ini sedikit sekali yang memihak kepada penyandang disabilitas. Saya juga mengagumi sosok Pak Todung Mulya Lubis, yang kerap menyuarakan perjuangan hak asasi manusia di era Orde Baru,” ujarnya.
Selama perkuliahan, Suhendar menemukan jawaban itu. Produk hukum jarang yang menyentuh penyandang disabilitas karena mereka merupakan bagian minoritas di dalam masyarakat. Karena itu, perlu suara yang lantang untuk memperjuangkan nasib mereka.
”Saya tahu, kalau demokrasi, suara mayoritas yang akan terdengar, tetapi bukan berarti kami sebagai minoritas tidak bersuara. Meskipun kecil, kami akan tetap bersuara. Didengarkan atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting usaha dulu, itu yang saya pikirkan saat itu,” ujarnya.
Suhendar pun aktif terlibat dalam organisasi ekstrakampus. Dengan tetap membawa pesan kesetaraan, dia aktif menyuarakan kepentingan difabel. Sesekali dia membawa rekan-rekan mahasiswanya untuk melihat kondisi difabel untuk menumbuhkan kepeduliannya.
Suara lantangnya tidak serta-merta redup saat selesai kuliah pada 2002, bahkan saat diterima sebagai aparatur sipil negara pada 2007. Beberapa kali dia mengadvokasi rekan-rekan penyandang disabilitas dan menggelar aksi agar suara mereka bisa diperhatikan oleh pemerintah.
Sejumlah usaha ini membuahkan hasil. Suhendar dan rekan-rekannya berhasil mendorong terbitnya Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Penyandang Cacat. Pemerintah juga mulai peduli terhadap akses fasilitas umum yang ramah difabel.
Pada 2018, Suhendar kembali membuktikan dirinya setara dengan orang-orang nondifabel. Dia menjadi panitia seleksi Komisioner Komisi Pemilihan Umum Kota Bandung, Kabupaten Bogor, dan Kota Bogor.
”Sewaktu pelantikan, petugas sampai tidak percaya kalau saya ini salah satu calon yang lolos seleksi. Setelah tahu, mereka meminta maaf dan saya memaklumi itu. Mungkin tidak ada yang menyangka ada seorang tunanetra yang lolos seleksi,” ujarnya.
Semua tahapan seleksi dilaksanakan tanpa ada kendala berarti. Selama menjadi panitia, Suhendar juga mampu menyeleksi calon komisioner dengan baik hingga akhir. Dia menggunakan berbagai aplikasi di telepon pintar saat bertugas sehingga mengundang perhatian rekan lainnya.
”Saya memang ingin masuk sebagai pansel untuk mencoba hilangkan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas saat pemilihan umum,” kata Suhendar.
Membuat media
Selain advokasi bersama rekan-rekan sesama difabel, Suhendar mencari cara lain untuk mendekatkan masyarakat kepada warga penyandang disabilitas. Dia membangun portal berita daring bernama newsdifabel.com. Portal yang dibentuk pada 2019 ini berisi informasi tentang berbagai isu dan topik yang dekat dengan warga difabel. Bukan hanya kritik terhadap kebijakan yang diskriminatif, portal juga berisi tulisan tentang pemberdayaan warga difabel hingga gaya hidup mereka.
Seluruh tim redaksi diisi penyandang disabilitas; netra, tuli, daksa, dan lainnya. Suhendar menyatakan, portal ini mencoba membuktikan penyandang disabilitas bisa berkarya dengan segala keterbatasannya. Pewarta yang berasal dari penyandang disabilitas bisa menjadi penyambung cerita dengan baik tanpa harus khawatir menyinggung narasumber.
”Karena sesama difabel, kami tidak sungkan-sungkan bertanya tanpa harus berpikir narasumber tersinggung atau tidak, asalkan tetap sopan dan tidak menyalahi aturan. Kan sama-sama difabel, ngapain ragu,” ujarnya sambil tertawa.
Dengan berbagai cara, Suhendar mengedepankan isu-isu kesetaraan dan perjuangan hak-hak penyandang disabilitas. Dia bisa saja tetap berada di zona nyamannya sebagai ASN. Namun, perjuangan untuk sosial ini tetap dia lakukan agar penyandang disabilitas bisa hidup tenang dan nyaman tanpa harus terkena diskriminasi.
”Cukup Tuhan saja yang membuat kami seperti ini. Kami hanya ingin dianggap sama dengan masyarakat lain. Setara mendapatkan hak tanpa adanya diskriminasi. Selama tidak melanggar tugas sebagai abdi negara, saya akan berusaha terus memperjuangkan suara teman-teman difabel,” ujarnya.
Baca juga : Rachel Ramadhini Mengangkat Suara Teman Tuli
Suhendar
Lahir: Bandung 21 Juni 1976
Pendidikan: Sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (lulus 2002)
Jabatan: Ketua Biro Disability Center Ikatan Alumni Unpad (2020-sekarang)