Steven Muncy, Bapak Para Pengungsi di Asia Tenggara
Laporan koran dan televisi tentang ”manusia perahu” dari Vietnam dan orang-orang Kamboja yang lari dari negaranya untuk menghindari genosida oleh rezim Khmer Merah pada 1979 mengusik hati Steven Muncy.
Oleh
Budi Suwarna
·5 menit baca
Selama 40 tahun, Steven Muncy (64) bekerja untuk kemanusiaan. Bersama sejumlah lembaga yang menjadi mitra, aktivis kemanusiaan asal Amerika Serikat itu membantu ratusan ribu pengungsi akibat perang, bencana alam, dan komunitas terabaikan dari 48 negara dan teritori.
Laporan koran dan televisi tentang ”manusia perahu” dari Vietnam dan orang-orang Kamboja yang lari dari negaranya untuk menghindari genosida oleh rezim Khmer Merah pada 1979 mengusik hati Steven Muncy. Muncy muda yang baru saja mendapat gelar sarjana dari Virginia, AS, tiba-tiba berpikir terus tentang nasib mereka dan merasa harus berbuat sesuatu untuk membantu mereka.
Peluang untuk menolong orang-orang yang malang itu muncul pada 1980. Saat itu, ada program misionaris yang membuka peluang bagi sukarelawan untuk melayani para pengungsi di Thailand dan Filipina. Muncy mendaftar dan memilih Filipina dengan alasan negeri itu banyak menampung pengungsi dari negara lain dan pada saat yang sama juga menghasilkan pengungsi akibat konflik di dalam negeri.
”Saat itu saya belum pernah pergi ke luar Amerika dan tidak tahu sama sekali soal Asia,” ujar Muncy dalam wawancara dengan CNN Filipina pada awal September 2021.
Pilihan itu membawa Muncy ke kamp pengungsi di Morong, Bataan, Filipina, yang menjadi pusat penampungan bagi pengungsi Perang Vietnam dan pengungsi asal Kamboja yang lolos dari genosida. Setiap hari ia berkeliling kamp pengungsian dan bertemu dengan para pengungsi yang kondisinya menyedihkan.
Muncy mendengar langsung sejumlah perempuan pengungsi yang mengaku diperkosa oleh bajak laut saat lari dari negaranya. Alih-alih mendapat pertolongan, mereka justru dicampakkan oleh suami-suami mereka dengan alasan mereka tidak suci lagi. Muncy juga menemukan orang-orang Kamboja yang traumatis setelah lolos dari genosida. Tetapi, sebagian dari mereka kehilangan satu atau beberapa anggota keluarganya.
”Saya tidak pernah menemukan keluarga Kamboja (di pengungsian) yang utuh. Setiap keluarga pasti kehilangan beberapa anggotanya akibat genosida. Ketika Anda berhasil lolos dari tempat seperti itu, apa yang terekam dalam ingatan di kepala Anda akan segara tampak. Orang akan tampak ketakutan dan menunjukkan tanda-tanda trauma,” ujar Muncy, seperti dikutip Philstar.com, Senin (13/9/2021).
Dia kemudian sadar, persoalan kesehatan mental ternyata tidak menjadi prioritas para donor. Mereka lebih fokus menyediakan makanan, kelambu, buku, dan kebutuhan material untuk pengungsi. Buat dia, kenyataan ini cukup mengerikan. Pada titik inilah Muncy memutuskan untuk mendirikan Community Mental Healt Services (CHMS) pada 1981. Lembaga swadaya masyarakat yang gencar menyuarakan pentingnya urusan kesehatan mental pengungsi bisa berdiri atas bantuan Pemerintah Norwegia dan Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR).
Hemat
Meski begitu, Muncy mesti berjuang di awal pembentukan CHMS. Ia menghemat pengeluarannya untuk makan agar bisa melatih para sukarelawan dan pengungsi. ”Makanan saya sebagian berupa keripik dan coke. Saya terkenal karena hemat…. Saya menulis proposal seperti orang gila pada malam hari untuk menggalang dana,” katanya kepada Philstar.com.
Ia mendatangi pusat-pusat penampungan untuk berbicara dan mendengar curahan hati para pengungsi yang sedang menderita, stres, marah, dan kehilangan. Tujuan semata-mata agar ia dan sukarelawan CHMS bisa membantu mereka.
Pada 1989, CHMS berubah nama menjadi Community and Family Services International (CFSI) yang berkomitmen pada kehidupan, kesejahteraan, dan martabat orang-orang yang tercerabut dari akarnya akibat persekusi, konflik bersenjata, bencana, kemiskinan ekstrem, dan kesulitan lain. Keberhasilan Muncy di Filipina membuat dia dan lembaganya diberi tugas mengatasi persoalan mental di kamp pengungsian orang Vietnam di Hong Kong.
CFSI yang berbasis di Filipina setidaknya memberi layanan di 10 negara Asia dalam periode waktu yang berbeda. Tetapi paling lama di Filipina, Myanmar, dan Vietnam. Setelah bertahun-tahun, jangkauan CFSI semakin meluas. Tercatat CFSI telah membantu pengungsi dari 48 negara dan teritori.
Di Filipina, CFSI membantu puluhan ribu keluarga yang terdampak bencana alam dan bencana kemanusiaan akibat Pertempuran Marawi pada 2017. Bersama Unicef, CFSI membantu memulihkan sekitar 900 anak yang pernah dijadikan tentara dan keluarga mereka. Tujuannya agar anak-anak itu bisa kembali ke sekolah dan menjalani kehidupan damai dan produktif.
Di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, CFSI menyediakan fasilitas air bersih dan sanitasi layak bagi ratusan ribu orang. Selain itu, CFSI memberikan pendidikan literasi dan kesehatan reproduksi kepada banyak perempuan dewasa, anak perempuan, dan komunitas.
CFSI menginisiasi program yang memungkinkan lebih dari 300 orang dari Filipina, Vietnam, Myanmar, dan Indonesia untuk memperoleh gelar universitas di bidang kerja sosial. CFSI juga terlibat dalam proyek pembangunan yang dikelola Bank Dunia untuk pemulihan sosial ekonomi di Mindanao, Filipina. Proyek ini dijalankan dalam konteks negosiasi perjanjian damai komprehensif antara Pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF).
Sebagai manajer proyek, CFSI menjalankan sejumlah subproyek besar penyediaan sistem air bersih, pusat kesehatan, hingga pendidikan alternatif yang memberi manfaat kepada setidaknya 727.000 penerima di 19 provinsi. Lembaga ini juga berperan dalam meningkatkan kapasitas mitra lokal, termasuk pemerintah regional.
Dari tahun ke tahun, peran yang dijalankan CFSI terus meluas, mulai dari mengurusi pemulihan trauma pengungsi, pendidikan, rekonstruksi dan pembangunan, hingga bekerja untuk mewujudkan perdamaian. Seiring dengan itu, lembaga yang awalnya hanya memiliki beberapa pekerja pada 1981 itu kini memiliki hampir 400 orang staf di tiga negara.
Muncy telah menghabiskan hampir dua pertiga usianya untuk kerja-kerja kemanusiaan. Laki-laki yang dibesarkan dalam keluarga sederhana yang memegang teguh prinsip-prinsip Kristen tentang cinta kasih itu telah tinggal 40 tahun di luar negaranya di lingkungan yang sulit dan sering kali berbahaya. Tidak heran jika ia dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay yang disebut-sebut sebagai Nobel versi Asia pada akhir Agustus lalu.
Dalam rilisnya, Yayasan Ramon Magsaysay mengapresiasi dedikasi seumur hidup Muncy pada kerja kemanusiaan dan upaya tak kenal lelah untuk memelihara martabat, perdamaian, dan harmoni bagi orang-orang yang hidup dalam situasi sulit di Asia. Selain itu, yayasan juga memuji keyakinan tak tergoyahkan Muncy pada kebaikan manusia.
Muncy mengatakan tak menyangka, tetapi sangat gembira mendapatkan penghargaan Magsaysay. ”Ini bukan buat saya, tapi buat kita semua yang bekerja untuk kemanusiaan. Penghargaan ini akan melecut kami bekerja lebih baik demi para pengungsi dan orang-orang yang kehilangan tempat tinggal,” ujarnya. (rmaward.asia)
Steven Muncy
Lahir: Amerika Serikat, 1957
Pendidikan:
S-1 Kerja Sosial dari James Madison University, Virginia, AS
S-2 Kerja Sosial dari the Catholic University of America, Washington DC
S-2 dan S-3 Kesehatan Publik dari University of Philippines
Aktivitas: Direktur Eksekutif Community and Family Services International (CFSI)