Jessica Halim menerapkan gaya hidup minim plastik dengan menanam sendiri berbagai kebutuhan pangan keluarganya. Ia pun memilih cara ”berbisik” untuk mengampanyekan gaya hidup itu daripada berteriak dengan iklan.
Oleh
Dwi As Setianingsih
·5 menit baca
Tak mau terus-menerus menjadi penyumbang sampah plastik, Jessica Halim (41) mendirikan ”supermarket”-nya sendiri di rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Di situ, Jessica mempraktikkan kepeduliannya pada alam dengan menanam dan menumbuhkan sendiri bahan pangan yang dia konsumsi bersama keluarga, sekaligus menekan produksi sampah plastik.
Dibuat sejak awal masa pandemi Covid-19, kebun Jessica kini sudah menyerupai hutan. Di lantai atas rumahnya, Jessica banyak menanam sayur-sayuran, mulai dari kangkung, kacang panjang, bayam, tanaman obat seperti sirih, daun jinten, dan bunga telang, hingga bumbu dapur seperti jahe, kunyit, lengkuas, dan seledri. Sementara lahan yang berada di bagian bawah rumah dikhususkan untuk tanaman-tanaman ”besar”, seperti pisang hingga berbagai jenis umbi-umbian.
”Jadi, dari yang awalnya menggunakan produk-produk yang enggak nyampah, saya lalu mulai memikirkan, supaya enggak nyampah, ya, harus bisa masak sendiri, harus bisa bikin sendiri. Kalau enggak, kita bebelian terus, terutama snack yang semuanya dibungkus plastik. Kalau ada anak-anak, kan, pasti snacking,” tutur ibu dua anak ini, Jumat (3/9/2021).
Sebelum ini, kepedulian Jessica pada lingkungan lebih fokus pada upaya menggunakan produk-produk ramah lingkungan. Tahun 2018, Jessica dan seorang teman SMA-nya mendirikan demibumi.id yang memasarkan produk-produk ramah lingkungan sebagai wadah belajar untuk terus menumbuhkan kepedulian pada alam.
”Kalau kita tidak membuat wadah untuk belajar, kita nggak akan moving forward. Belajarnya cuma itu-itu doang, cuma bawa tote bagdoang. Padahal, bawa tote bag tidak cukup. Dengan kita bikin wadah ini, banyak yang jadi tahu. Itu yang jadi penyemangat kita, sih,” ujarnya. Membuat kebun menjadi upaya lanjutan bagi Jessica untuk belajar dan menekan produksi sampah.
Kalau kita tidak membuat wadah untuk belajar, kita nggak akan moving forward. Belajarnya cuma itu-itu doang, cuma bawa tote bag doang. Padahal, bawa tote bag tidak cukup.
Jessica memulai dengan menanam kangkung. Berhasil dengan kangkung, ia lantas ketagihan menanam jenis sayuran lain, seperti kacang panjang dan bayam. Jessica pun merambah tanaman obat, seperti sirih dan jinten, lalu juga bumbu dapur.
”Kan, jadi ketagihan. Sekali kita tahu, jadi penasaran dengan lainnya. Apalagi, kita bisa konsumsi dan ada terus. Jadi enggak usah beli. Tinggal petik, pakai seperlunya,” imbuh Jessica.
Dari ”supermarket”-nya itu, Jessica lalu mengkreasikan berbagai menu masakan untuk konsumsi sehari-hari. Keterlacakan sumber makanan yang mereka gunakan membuat mereka tenang dan nyaman mengonsumsi.
”Dengan kita nanem organik, kita ngelalap misalnya, jadi aman. Enggak usah ketakutan segala macem karena untuk antihama saya cuma pakai kulit bawang dan ecoenzyme. Cuma fermentasi dari kulit buah dan sayur di rumah dicampur gula merah, lalu didiemin tiga bulan,” tutur Jessica.
Di rumah yang dia tinggali bersama keluarga mertua dan keluarga kakak iparnya, Jessica menerapkan sistem pengelolaan sampah. Setiap tempat sampah diberi kode untuk memilah setiap jenis sampah sebelum dikirim ke bank sampah.
”Jadi saya cuma nyediain mediumnya saja, kalau ada yang salah masukin, ya, saya benerin. Itu yang selalu saya ajarin ke orang-orang, di setiap rumah memang harus ada ’polisi’-nya yang mau peduli. Kalau enggak, enggak akan jalan,” kata Jessica.
Energi alam
Komitmen menekan sampah plastik dilakukan Jessica dengan lebih banyak membuat bahan pangannya secara mandiri. Termasuk cemilan dan lauk pauk. Seperti rice crackers, roti dan tempe dari aneka jenis kacang-kacangan. Di pasaran, snack, roti, dan tempe adalah produk-produk yang tak bisa lepas dari plastik.
Untuk pemasok bahan makanan seperti hidangan laut, Jessica memilih menggunakan wadah yang bisa dikembalikan sehingga tidak menumpuk sampah plastik. Sebagai pengganti daging, Jessica memilih menanam jamur.
”Mungkin ada omongan tempe, kan, murah, ngapain bikin. Ya, sama kayak sayur. Sayur, kan, murah, ngapain nanem. Selain soal urusan plastik, yang saya rasakan adalah energinya. Jadi ketika kita nanem, kita dapat energi balik dari tanaman kita,” ujarnya.
Alam semesta yang bekerja memberikan kesempatan bagi Jessica dan keluarganya untuk menggali ilmu pengetahuan sebanyak mungkin. Terutama bagi anak-anaknya yang sedang dalam fase bertumbuh, penerus bagi kelangsungan bumi.
Selain soal urusan plastik, yang saya rasakan adalah energinya. Jadi ketika kita nanem, kita dapat energi balik dari tanaman kita.
”Misalnya di sekolah anak-anak diajari soal toga (tanaman obat keluarga), ya udah, anak-anak tinggal lihat ke kebun. Jadi bukan teori aja, tapi memang sesuatu yang anak-anak bisa lihat dan rasakan dan itu akan dibawa sampai mereka tua,” ujar Jessica.
Di saat senggang, dia acap kali mengajak anak-anaknya ke kebun untuk melihat serangga dan berbagai jenis kupu-kupu. Selain menjadi aktivitas yang menyenangkan, melihat serangga juga menjadi sumber pengetahuan baru tanpa harus jauh-jauh pergi ke kawasan Puncak. Malam-malam menjadi akrab dengan suara serangga, di pagi hari, mereka bangun oleh kehadiran burung-burung yang mencari peruntungan dari pakan ayam yang berceceran di dekat kandang ayam.
”Jadi makin hari makin merasakan, ketika kita dekat dengan alam kita enggak perlu apa-apa. Investasi kita terhadap alam itu kita rasakan balik ke kita. Kita dapat makanan gratis, edukasi gratis, juga energi tambahan. Banyak banget positive side yang saya rasakan setiap harinya,” kata Jessica, yang juga desainer grafis ini.
Dari berbagai aktivitas itu, Jessica kemudian memilih cara yang lebih strategis dalam mengampanyekan dan mengedukasi kepedulian pada alam, termasuk memasarkan produk-produk ramah alam yang ditawarkan di demibumi.id. Jessica, misalnya, memanfaatkan media sosial Instagram untuk menginformasikan aktivitas di kebun dan di dapur sehari-hari.
”Ternyata banyak teman yang tertarik. Jadi kita enggak usah ngiklan. Kita do what we can, ternyata banyak orang suka dan itu bagus. Berbisik ternyata lebih powerful dibanding kita beriklan,” ujar Jessica.
Di demibumi.id, Jessica pun lebih memilih cara edukasi. Jarang sekali mereka mengiklankan produk-produknya. ”Menurut kita, kalau kita edukasi orang akan cari sendiri. Jadi dibandingin ’dikasih’ produknya tapi enggak diedukasi, orang enggak ngerti. Harus edukasi,” ujarnya.
Jessica juga tak selalu bicara soal zero waste karena persoalan setiap orang sangat kompleks. Tinggal bersama keluarga lain, misalnya, juga menjadi perjuangan tersendiri dalam pengelolaan sampah.
”Solusi yang saya temukan, justru saya berkomunikasi sehingga orang mau memilah sampah. Sebab, kalau misalnya kita enggak kasih tahu tentang bank sampah dan sampah itu sesuatu yang berharga ketika dibersihkan, mereka enggak akan tahu. Memang takes times, saya sharingaja terus, lama-lama mudah-mudahan orang bisa berubah,” harapnya. Jessica, teruslah berbisik....
Jessica Halim
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 17 November 1980
Pendidikan :
SMA St Theresia, Jakarta (1996-1999
RMIT Foundation Studies, Melbourne (1999-2000)
Swinburne University, Melbourne (Visual Communication Design) (2000-2003)