Pater Wilfridus Babun SVD Mencerdaskan Anak Bangsa dari Pinggiran NTT
Wilfridus Babun SVD mencerdaskan masyarakat di pelosok NTT dengan mendirikan taman baca.
Mendirikan taman baca menjadi salah satu cara yang digunakan Wilfridus Babun SVD untuk mencerdakan generasi muda di pelosok Nusa Tenggara Timur. Dimulai dengan mengumpulkan buku sedikit demi sedikit, kini Taman Baca Le Nuk selalu ramai.
Kornelis Kewa Ama
Hampir setiap hari, Taman Baca Kompak Le Nuk seluas enam meter persegi yang berada di Kampung Dadar, Desa Golo Pua, Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai, NTT selalu dipenuhi pengunjung. Taman baca itu didirikan Wilfridus atau kerap disapa Pater Wilfrid dengan tujuan supaya semakin banyak warga setempat yang membaca untuk memperluas pengetahuan.
“Berkhotbah saja sebagai rohaniwan di depan mimbar untuk mengubah pola pikir dan disiplin hidup masyarakat terpencil, tidak cukup. Banyak di antara mereka yang belum pandai membaca dan menulis, apalagi mencerna sebuah pesan khotbah,”kata Wilfrid di Kupang, Senin (6/9/2021).
Sebagai biarawan Katolik, Wilfrid menilai ada sesuatu yang tak beres dengan dunia pendidikan formal saat ini. Segala sesuatu yang baik, berguna dan penting hanya dimiliki orang-orang di kota. Kota menjadi kumpulan orang-orang cerdas, berpendidikan, tetapi cenderung melupakan orang-orang pinggiran.
Untuk itulah, dia mulai mencari jalan keluar bagaimana mencerdaskan orang-orang di pinggiran Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur. Ia bertemu sejumlah tokoh masyarakat dari kampung dan desa terpencil. Lalu, mereka memutuskan membangun sebuah taman bacaan bagi masyarakat terpencil. Kampung Dadar dipilih karena letaknya cukup strategis, mudah dijangkau dari sejumlah kampung di pelosok Manggarai dan Manggarai Barat.
Taman baca Kompak Le Nuk hadir di kampung terpencil Dadar sejak tahun 2011. Kata “Le Nuk” sama artinya dengan “Cogito ergo sum” yang artinya saya berpikir maka saya ada. Sebuah kutipan dari filsuf Perancis, Descartes (1596-1650). Manusia perlu berpikir, berkreasi, dan berinovasi untuk menghasilkan sesuatu, sebagai bukti dia makluk berintelektual, beda dari makluk lain.
Saat itu, Wilfrid sangat sulit mendapatkan buku-buku bacaan yang cocok untuk masyarakat kampung. Tidak ada toko buku di Manggarai Raya yang mendukung taman baca itu. “Tidak ada rotan akar pun jadi,” kata Wilfrid sambil tertawa ringan.
Ia memutuskan menaruh buku-buku yang diperolehnya selama di bangku kuliah, yakni buku filsafat, teologi, dan bacaan-bacaan rohani lain. Ternyata buku-buku itu diminati masyarakat. Mereka mulai membaca dan berdiskusi antara mereka tentang apa yang mereka baca. “Semua sumber daya alam di sekitar mereka, bisa dimanfaatkan asal didayagunakan dengan akal yang cerdas,”katanya.
Sejak itu, masyarakat makin berani melontarkan gagasan, termasuk dalam pertemuan-pertemuan membahas pembangunan desa dan dana desa. Mereka mulai mempertanyakan kebijakan pemerintah termasuk pemerintah desa dan pemerintah kabupaten. Sebelumnya masyarakat hanya diam dan setuju dengan semua kebijakan desa.
Seriring berjalannya waktu, melalui jaringan yang semakin luas, Wilfrid mendapatkan buku-buku bacaan lain tentang pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, pendidikan, dan kebudayan. Buku-buku itu diberikan oleh teman-temanya secara cuma-cuma. Semuanya disimpan di dalam taman baca itu.
Baca juga : Pendidikan Literasi Sebagai Pemberdayaan Hidup Masyarakat NTT
Buku-buku tentang cara beternak ayam potong, ayam petelur, ternak babi, cara menanam hortikultura, singkong, ubi jalar, jagung, budidaya kopi arabika, pisang barangan, cengkeh, dan coklat paling diminati para petani. Sedangkan, bahan bacaan tentang cerita rakyat, cara menulis yang baik, pendidikan moral Pancasila, dan buku-buku bacaan lain yang sesuai mata pelajaran di sekolah digemari anak-anak sekolah. Sementara dosen dan mahasiswa kebanyakan berminat pada buku-buku tentang sosiologi, filsafat, ekonomi, dan kebudayaan.
“Perlahan tapi pasti. Petani mulai bersemangat beternak ayam potong, babi, budidaya hortikultura, jagung, dan umbi-umbian. Kalau ada kesulitan, saya ajak penyuluh pertanian dan peternakan ke sana. Mereka memberi pendampingan. Secara ekonomi mereka terbantu, disamping cara berpikir, menelaah, dan mengatasi suatu masalah,” kata Wilfrid.
Tersebar luas
Cerita sukses warga Dadar melalui dari taman bacaan ini pun tersebar luas di Manggarai Raya. Makin banyak peminat mendatangi taman bacaan yang terletak di kampung terpencil itu. Tidak hanya warga di sekitar kampung tetapi mahasiswa, aparatur sipil negara (ASN), anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM), dosen dan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Ruteng, Labuan Bajo, dan Borong pun ke kampung terpencil itu. Mereka bisa membaca buku-buku di taman baca atau pun meminjamnya.
Taman baca tersebut menajdi satu-satunya rujukan untuk mencari literatur terkait banyak bidang. Informasi soal ketersediaan buku begitu cepat menyebar. “Saya diundang ke mana-mana, kalau ada kegiatan terkait literasi,”tutur Wilfrid.
Semua upaya itu membuat Wilfrid diundang ke Istana Negara oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Mei 2017. Dia menjadi bagian dari 40 orang yang dinilai sukses membangun literasi di daerah. Saat itu pula mereka menyampaikan keluhan mengenai keterbatasan buku-buku di taman baca masing-masing termasuk Kompak Le Nuk. Mengadakan buku-buku dari berbagai sisi kepentingan generasi muda dan masyarakat, butuh biaya sampai ratusan juta rupiah.
“Saat itu disepakati setiap tanggal 17 bulan itu, ada pengiriman buku-buku melalui Kantor Pos secara gratis atau free cargo literacy. Sejak 2017-2020 kami mendapatkan buku-buku dengan judul dan jenis yang cukup lengkap bagi kebutuhan masyarakat. Tetapi awal 2021 ada evaluasi internal Kantor Pos, dan memutuskan untuk sementara pengiriman dihentikan karena biaya pengiriman jauh lebih besar dibanding manfaat,”katanya.
Kompak Le Nuk pun masuk dalam jaringan web nasional, “Perpustakaan Bergerak Indonesia”. Web ini untuk saling membantu antara pengelola taman bacaan dan perpustakaan di Indonesia. “Ini suatu gerakan seluruh literasi di Indonesia untuk saling mendukung dan bekerjasama. Kita sepakat agar literasi ini harus masuk kawasan terpencil,” kata Wilfrid.
Kini, Kompak Le Nuk memiliki lebih dari 15.000 judul buku, untuk kepentingan berbagai kalangan. Generasi muda, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai perguruan tinggi, PNS, pejabat, dan masyarakat umum memanfaatkan taman bacaan Kompak Le Nuk untuk membaca dan meminjam. Taman bacaan itu tidak memungut biaya sama sekali.
Tetapi sayang, taman bacaan ini belum memiliki gedung atau rumah. Kompak Le Nuk masih meminjam sebuah ruang tamu berukuran 2 x 3 meter persegi dan teras rumah depan berukuran 3 x 3 meter persegi, milik warga Kampung Dadar. Wilfrid sedang menggalang dana untuk membangun sebuah rumah yang lebih layak dan nyaman bagi pengunjung.
Sarjana Hukum Unika Kupang ini mengatakan, mengupayakan taman bacaan Kompak Le Nuk secara daring, jika bangunan baru sudah ada, dan tenaga teknologi dan informasi sudah tersedia. Saat ini Kompak Le Nuk hanya memanfaatkan aplikasi Whatsapp untuk membagi informasi soal buku-buku yang dimiliki Kompak Le Nuk agar bisa dipinjam atau diperoleh masyarakat yang membutuhkan.
Kini, taman bacaan serupa juga hadir, di Tambolaka, Sumba Barat Daya, 2019. Sebagian buku yang ada di Kompak Le Nuk dibawa ke Tambolaka. Masyarakat kecil seperti kaum tani, dan peternak sangat membutuhkan buku-buku di bidang itu, termasuk elemen masyarakat lain.
“Setelah Tambolaka, saya rencana membangun taman baca serupa di Malaka dan Atambua, wilayah pinggiran, perbatasan RI-Timor Leste serta beberapa wilayah lain di NTT. Mereka juga harus bisa melihat, mendalami, dan memiliki,”katanya.
Wilfridus Babun SVD
Lahir : Manggarai, 12 Oktober 1966
Pendidikan : Sarjana Filsafat Agama, Sekolah Tinggi St Paulus Ledalero, Maumere.
Pekerjaan : Rohaniwan Katolik di Manggarai