Sejak awal hadir, Lombok Rafting mendapat respons positif dari warga setempat. Selain karena berdampak pada ekonomi warga, rafting juga merupakan usaha yang bersih.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA/ARIS PRASETYO/KRIS MADA
·5 menit baca
Daya tarik Pulau Lombok tidak hanya ada di pesisir dan pegunungan, tetapi juga di aliran sungainya. Hal ini disadari benar oleh Dwi Amang Supiyanto (47). Ia bergerak memanfaatkan arus deras sungai untuk wisata arung jeram.
Amang bergerak di bawah bendera Lombok Rafting yang ia dirikan di Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Dari ibu kota Mataram, jaraknya sekitar 16 kilometer timur laut. Wisata minat khusus ini telah berjalan sekitar delapan tahun.
Amang saat ditemui di markasLombok Rafting, Rabu (21/7/2021) lalu, menuturkan, Lombok Rafting ia mulai pada 2013. Ide awal muncul setelah melihat potensi sungai yang belum dikelola sebaik pesisir atau gunung.
Sebelum memilih Batu Mekar, Amang yang merupakan lulusan Sekolah Tinggi Bahasa Asing (Stiba) Malang, Jawa Timur, melakukan survei ke sungai-sungai di Lombok Utara, Lombok Timur, Lombok Barat, dan Lombok Tengah. Akhirnya, ia memilih Sungai Jangkuk yang melintasi Batu Mekar. Pertimbangannya, Batu Mekar memiliki potensi lain yang menurut dia bisa disinergikan dengan arung jeram (rafting).
”Selain dekat dari Mataram, Batu Mekar juga desa penghasil buah-buahan dengan (buah) unggulan manggis, durian, dan rambutan sehingga dijuluki ’Desa Madura’,” kata Amang. Madura yang dimaksud Amang adalah akronim dari manggis, durian, dan rambutan.
Amang mengawali Lombok Rafting dengan menyiapkan sungai. Berbeda dengan pembukaan jalur darat yang relatif mudah, pembukaan jalur sungai mesti dilakukan dengan memecah batu. Ia harus mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah untuk membuka jalur.
Selain itu, Amang juga berkoordinasi dengan desa dan dusun-dusun yang ada. Ia meminta setiap dusun merekomendasikan perwakilannya untuk bergabung di Lombok Rafting. Rata-rata yang bergabung pemuda lulusan SMA yang belum bekerja. ”Begitu masuk, mereka dilatih oleh tenaga ahli dari Malang,” katanya.
Amang juga harus membangun gazebo, kamar mandi, dan fasilitas lain. Setidaknya itu membutuhkan waktu setengah tahun. ”Secara resmi, Lombok Rafting diluncurkan pada 28 Februari 2014,” tambahnya.
Mengelola risiko
Perkenalan Amang dengan arung jeram telah dimulai sejak ia duduk di bangku kuliah di Stiba Malang. Hal itu karena ia aktif dalam kegiatan mahasiswa pencinta alam Mapala Edelweis Stiba Malang.
”Segala kegiatan saya ikuti, termasuk pendakian, kemah, panjat tebing, termasuk rafting. Itu sebenarnya yang menjadi dasar saya terbiasa dengan kegiatan alam,” kata Amang. Maka, Amang yang juga Ketua Umum Federasi Arung Jeram NTB paham betul bahwa rafting adalah sebuah aktivitas yang mengelola risiko menjadi kesenangan.
Artinya, pengunjung bisa merasakan kenikmatan saat adrenalin mereka dipacu, tetapi tetap terjamin keselamatannya sejak berangkat hingga selesai. Apalagi, pada jalur Lombok Rafting yang mencapai 5 kilometer, ada enam jeram yang menantang.
Oleh karena itu, ia benar-benar mempersiapkan semuanya, khususnya orang-orang yang terlibat. Misalnya, ada pelatihan selama empat bulan menyangkut tiga komponen. Pertama, pembentukan fisik untuk kekuatan mengendalikan perahu. Kedua, teknik penyelamatan jika ada yang terjatuh di air atau tenggelam serta cara masuk hingga melepaskan diri dari jeram.
”Selain itu, mereka juga dilatih tentang etika, penampilan, juga berinteraksi dengan tamu,” kata Amang.
Amang menambahkan, selain untuk pemandu, ia juga merekrut warga setempat untuk tim masak, fotografer, porter, dan sopir. Jika dipersentasekan, 90 persen karyawan Lombok Rafting berasal dari Desa Batu Mekar.
Menurut dia, pelibatan pemuda Batu Mekar di Lombok Rafting adalah caranya bermitra sekaligus membangun desa dan memberikan kontribusi rutin ke desa.
Respons positif
Sejak awal hadir, Lombok Rafting mendapat respons positif dari warga setempat. Selain karena berdampak pada ekonomi warga, rafting juga adalah usaha yang bersih. ”Artinya, kami tidak pernah meninggalkan limbah. Apalagi, usaha kami membutuhkan air bagus sehingga otomatis memberi perhatian pada pelestarian lingkungan,” kata Amang.
Setelah diluncurkan, Lombok Rafting tidak langsung populer. Oleh karena itu, Amang berupaya menjalin sinergi dengan berbagai pihak, mulai dari agen perjalanan hingga hotel, baik di NTB maupun luar NTB.
Upaya itu membuahkan hasil. Dalam perjalanannya, Lombok Rafting menjadi salah satu pilihan bagi wisatawan yang datang ke Lombok, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Sebelum pandemi, jumlah tamu per bulan mencapai 500-600 orang dan 750 orang saat musim ramai.
”Kami juga bekerja sama dengan agen kapal pesiar dari luar daerah. Sehingga, ketika ada kapal pesiar tiba di Lombok (via pelabuhan Gili Mas, Lombok Barat), selalu ada yang langsung ke sini untuk rafting,” kata Amang.
Akan tetapi, bukan berarti Lombok Rafting tidak menghadapi masalah. Menurut Amang, tipe sungai yang mereka gunakan adalah tadah hujan. Itu menjadi ciri sungai di Lombok.
Konsekuensinya, ketika musim kemarau tiba, Lombok Rafting bisa tidak beroperasi. ”Pada 2015, saat kemarau panjang, kami tidak jalan selama empat bulan,” ujar Amang.
Dalam kondisi itu, lanjut Amang, seorang pelaku pariwisata harus kreatif agar usaha bisa terus berjalan. Maka, Amang melakukan diversifikasi usaha, yakni menawarkan kegiatan lain, seperti berkemah, jalan kaki (trekking) ke air terjun, dan bersepeda.
Kegiatan kemah dilakukan dengan memanfaatkan area persawahan di markas Lombok Rafting. Paket itu sudah termasuk tenda, matras, makanan ringan, makan malam dan sarapan, api unggun, dan jagung bakar. Sementara bersepeda memiliki rute 6 atau 8 kilometer. Kegiatan-kegiatan itu akan semakin menarik ketika musim buah-buahan tiba. Wisatawan bisa mencobanya.
Bulan lalu, selain rafting, kegiatan pariwisata lain tetap berjalan di Lombok Rafting. Namun, Amang mengakui bahwa kondisinya sangat berat karena sepinya wisatawan. Meski demikian, ia bertekad untuk bertahan.
Baginya, menjalankan usaha rafting memang tidak gampang. Apalagi dengan berbagai persoalan yang dihadapi. Tetapi, ketika sudah memulai, ia harus siap. Apalagi, lewat Lombok Rafting, ia turut menghidupkan kegiatan pariwisata di Lombok, membangun desa, juga membuka lapangan kerja bagi banyak orang.
”Intinya, komitmen pada diri sendiri. Kerjakan secara total dan siap dengan segala risikonya,” kata Amang.
Dwi Amang Supiyanto
Lahir: Banyuwangi, 30 Desember 1973
Istri: Baiq Herni Yuhanna (49)
Anak: Defri Aldya Hediyanto (23)
Pendidikan terakhir: S-1 Sastra Inggris Stiba Malang