Gareth Southgate, Pelatih Berjiwa Besar
Ketika jadi pemain, Southgate sudah seperti manajer atau pelatih.Ia berbicara dengan banyak manajer dan pelatih, mencoba mencari tahu rahasia dan mendapatkan saran-saran permainan.
Konon, jiwa kepemimpinan seseorang terlihat tidak ketika ia mencapai puncak kejayaan, tetapi justru dalam situasi-situasi sulit. Hal itulah yang ditunjukkan Gareth Southgate. Meski sempat diremehkan, ia berhasil membawa Inggris mencapai final Piala Eropa untuk pertama kalinya.
Bermain di Stadion Wembley, Senin (12/7/2021), Inggris harus mengakui kekalahan dari Italia lewat adu penalti. Para pemain menangis, begitu juga jutaan penggemar Inggris.
Namun, Southgate tetap tenang. Ia menghela napas panjang dan dengan cepat menyambut pelukan tim di ruang belakang. Kemudian ia kembali ke lapangan memberi tepuk tangan kepada para penggemar. Tepuk tangan itu sebagai bentuk ucapan terima kasihnya kepada penggemar yang sudah datang penuh semangat untuk membela tim kesayangan mereka.
Jiwa besarnya juga terlihat ketika banyak orang merundung pemain-pemain Inggris, dengan melontarkan makian bahkan yang bernada rasial, Southgate segera memasang badan membela pemain. Ia menegaskan bahwa dirinyalah yang bersalah saat memilih eksekutor penalti. Menurut dia, para pemain tidak perlu disalahkan. ”Pemain layak mendapatkan pujian karena mereka sudah melakukan yang terbaik,” katanya, seusai pertandingan.
Sikap dan pendekatan kepemimpinan Southgate sudah dipuji sejak lama. Tidak diragukan lagi, ini merupakan faktor yang berkontribusi besar terhadap soliditas timnas Inggris kali ini.
Mantan pemain internasional Inggris, Gary Neville, dengan tajam membandingkan keterampilan kepemimpinan Southgate dengan para politisi Inggris. ”Standar pemimpin di negara ini selama beberapa tahun terakhir sangat buruk, tetapi melihat orang itu di sana, itulah yang seharusnya menjadi pemimpin,” kata Neville dikutip dari CNN. Kalimat itu ia lontarkan saat Southgate merayakan kemenangan Inggris di babak semifinal di Wembley.
Neville menilai Southgate sebagai sosok yang rendah hati, tulus, dan penuh respek. ”Ia benar-benar luar biasa dan telah melakukan pekerjaan hebat,” katanya.
Jiwa kepemimpinan Southgate sudah muncul sejak awal ia menangani timnas Inggris. Saat itu, banyak orang meremehkan timnas karena ditangani oleh Southgate. Pelatih yang pernah menjadi pemain rugbi ini dianggap bukan orang yang tepat untuk mengasuh timnas Inggris.
Baca juga: Dukungan Mengalir kepada Rashford, Sancho, dan Saka
Dengan sikap tenang, ia bisa menghadapi pandangan-pandangan nyinyir itu. Pembawaannya yang dewasa, pemikir, juga punya selera humor saat berkumpul, membuatnya disegani oleh para pemain dan pelatih. Terlebih lagi, sejak ia menerima tugas sebagai pelatih timnas pada 30 November 2016, Southgate bisa membawa The Three Lionsmenjadi tim yang disegani.
Di bawah asuhan Southgate, Inggris bisa menapak di semifinal di Piala Dunia 2018 dan Liga Nasional Eropa 2019. Tahun ini, ia membawa Inggris ke partai puncak Piala Eropa 2020. Meski gagal merebut trofi Henri Delaunay, pencapaian itu tetap bersejarah karena inilah pertama kalinya Inggris bisa mencapai final Piala Eropa. Satu hal yang perlu dicatat, di ajang ini pula, Southgate berhasil menuntaskan dendam lama Inggris pada Jerman.
Asitan pelatih timnas Inggris, Chris Powell, dikutip dari laman BBC mengatakan, Southgate sudah terlihat sosok yang adaptif sejak 1989, ketika ia masih bermain untuk klub Crystal Palace. Powell bercerita, suatu ketika saat London sedang panas-panasnya, Southgate yang berasal dari perbatasan Sussex, jadi satu-satunya pemain yang mengenakan sepatu.
Oleh teman-temannya, itu menjadi bahan bercandaan. Powell bahkan sempat menari menggunakan sepatu itu. Ketika Southgate memergoki sepatunya dijadikan bahan lelucon, ruangan berubah menjadi sunyi. ”Dia tahu bahwa dia harus menyesuaikan diri atau menjadi sasaran lelucon,” kata Powell.
Jejak karier
Ketika masih kecil, Southgate merupakan penggemar Manchester United. Pria kelahiran kelahiran 3 September 1970 ini mengenyam pendidikan di sekolah Pound Hill Junior dan Hazelwick di Crawley, Sussex. Di kedua sekolah itu, Southgate menerima pelatihan dasar-dasar sepak bola.
Di Hazelwick, ia dilatih oleh guru olahraga Dave Palmer. Southgate tidak hanya jago di satu bidang olahraga. Selain sepak bola, ia juga menguasai jago rugbi dan atletik. Ia bahkan sempat mengikuti pertandingan sepak bola dan rugbi di Perancis.
Menguasai beberapa cabang olahraga sekaligus tidak membuat Southgate gamang. Ia yakin masa depannya terletak di sepak bola. Sejak muda, Southgate sudah terlihat percaya diri. Ketika bocah laki-laki seusianya tidak punya gambaran pasti tentang masa depan, pada usia 16 tahun Southgate yakin ia akan berada di Crystal Palace, akademi sepak bola yang bermarkas di London. Mimpi itu terwujud. Bersama sekitar 60 anak lainnya, Southgate mengikuti uji coba sepak bola di sana. Ia langsung terlihat menonjol di antara teman-temannya.
Baca juga: Inggris Tak PPerlu Menangis Histeris
Ia dipercaya oleh pelatih tim yunior Alan Smith menjadi kapten tim. Namun, Smith sempat kecewa pada Southgate. Pada saat Crystal Palace kalah dalam pertandingan melawan British Army 11, Smith melihat Southgate berjabat tangan dengan lawan dan berterima kasih kepada mereka.
Gareth lihat, jika saya jadi kamu, saya akan menjadi agen perjalanan karena, menurut saya, sepak bola tidak akan cocok untuk kamu.
Smith memanggilnya dan berkata, ”Gareth lihat, jika saya jadi kamu, saya akan menjadi agen perjalanan karena, menurut saya, sepak bola tidak akan cocok untuk kamu,” katanya. Kata-kata itu sangat menyakitkan, tetapi tidak membuat Southgate berhenti bermain.
Ia meneruskan karier sepak bolanya dan bermain untuk tim senior Crystal Palace hingga 1995. Setelah itu, ia bergabung dengan Aston Villa (1995-2001) dan Middlesbrough (2001-2006) sebelum memutuskan pensiun sebagai pemain.
Ia juga pernah bermain di timnas Inggris. Ia tahu bagaimana besarnya harapan dan tekanan publik Inggris pada timnas. Ia juga pernah merasakan betapa pahitnya kegagalan.
Salah satu pengalaman yang tidak bisa ia lupakan adalah ketika ia menjadi satu-satunya algojo timnas Inggris yang gagal menceploskan bola ke gawang Jerman dalam drama adu penalti pada semifinal Piala Eropa 1996. Saat itu, ia tidak hanya dicaci maki, tetapi juga diperlakukan sebagai ”musuh” oleh publik Inggris.
Ia amat kecewa dengan kenyataan itu. Namun, tekanan luar biasa yang ia hadapi ketika itu justru membuat Southgate menjadi pribadi yang kuat. Terbukti ia masih bisa meneruskan kariernya di sepak bola. Bahkan, ia masuk dalam skuad Three Lions pada Piala Dunia 2002 meski tak pernah dimainkan satu menit pun. Sekali lagi ia tak kecewa. Pengalaman pahit justru membuat karakternya lebih kuat dan bakat kepemimpinannya terbentuk.
Baca juga: Misteri tuan rumah dan adu penalti di Piala Eropa
Pelatih Inggris periode 2001-2006 Sven-Goran Eriksson mengutarakan kekecewaannya pada Southgate karena ia tertinggal dari pemain lain, seperti Rio Ferdinand dan Sol Campbell. Southgate kemudian mendatangi Eriksson untuk menanyakan bagaimana caranya membuat ia menjadi pemain yang lebih baik. Dia tidak pernah marah atau kesal karena dianggap bukan pemain terbaik. Dia justru selalu sangat sopan dan punya keinginan membangun percakapan.
Dia sangat ingin belajar dan saya tidak akan terkejut jika saat itu dia berpikir untuk menjadi manajer di masa depan
”Dia sangat ingin belajar dan saya tidak akan terkejut jika saat itu dia berpikir untuk menjadi manajer di masa depan,” kata Eriksson.
Menurut dia, ada banyak pemain yang tidak tertarik siapa lawannya, mereka hanya ingin bermain. Berbeda dengan Southgate tipe pemain yang selalu memikirkan tidak hanya soal latihan, tetapi juga kemungkinan-kemungkinan situasi yang akan dihadapi di pertandingan. Dengan karakter itu terlihat seseorang punya bakat menjadi pelatih atau manajer.
Ketika jadi pemain, Southgate sudah seperti manajer atau pelatih. Ia berbicara dengan banyak manajer dan pelatih, mencoba mencari tahu rahasia dan mendapatkan saran-saran permainan. Dia adalah pembicara yang baik, tetapi pendengar yang lebih baik.
Setelah pensiun sebagai pemain, Southgate bergabung dengan tim kepelatihan timnas Inggris. Ia ditempatkan sebagai koordinator tim yunior Inggris (2011-2012). Ia lalu dipercaya sebagai pelatih timnas Inggris U-21 (2013-2016), pelatih interim timnas Inggris (2016), dan kemudian pelatih kepala timnas Inggris (2016-sekarang).
Sebagai pelatih, Southgate selalu menaruh perhatian pada pemain-pemain muda. Ia juga selalu menekankan kepada pemain untuk punya perilaku-perilaku yang baik yang mendukung tim untuk menang. Saat ada pemain yang tidak mematuhi itu, Southgate punya ketenangan untuk berbicara dengan pemain. Para pemain melihat ketenangan dan konsistensinya dalam bersikap yang mendorong mereka untuk menerapkan kedisiplinan.
Pengalamannya membina tim sejak masih yunior membuat Southgate memahami karakter-karakter para pemain. Ia tidak segan memberikan kesempatan kepada para pemain muda untuk menunjukkan diri. Ia adalah pribadi yang tegas, sekaligus bersahabat. Itu yang membuat timnas Inggris menjadi solid di bawah asuhannya.
Gareth Southgate
Lahir: 3 September 1970
Pengalaman sebagai pelatih:
- Koordinator tim yunior Inggris (2011-2012)
- Pelatih timnas Inggris U-21 (2013-2016)
- Pelatih interim timnas Inggris (2016)
- Pelatih Kepala Timnas Inggris (2016-sekarang)