Busuk batang menyebabkan jumlah pohon pepaya callina yang dibudidayakan Kiki Wijarnako anjlok dari 10.000 batang menjadi hanya ratusan batang. Ia tetap mampu menjaga pasokan dari petani sekaligus kepercayaan konsumennya.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Kiki Wijarnako (42) menjembatani petani kecil untuk memasok pepaya callina ke pasar modern. Ia tak patah semangat meski usahanya sempat jatuh lantaran serangan penyakit. Budidaya inovasi nasional itu dipertahankan dengan dilandasi tekad untuk mengembalikan kejayaan sentranya.
Kiki menyuguhkan callina yang dipetik langsung dari kebunnya. Legit yang tak menusuk kontan menyergap lidah. Pepaya itu sungguh terasa segar pada siang yang terik di Desa Mekarsari, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (8/7/2021).
Potongan pepaya oranye bergradasi yang cantik itu lembut dan berair. Empuknya buah terasa selaras dengan keramahan Kiki yang menjelaskan perkebunannya seluas 3.000 meter persegi. Di belakang rumahnya, hamparan sekitar 500 pohon pepaya tampak rimbun.
”Kalau pepaya yang dipasok petani mitra, biasanya tak kurang dari 10 ton per hari,” kata Kiki seraya menunjuk tumpukan pepaya di gudangnya. Truk-truk hilir mudik di pelataran parkir. Ia lantas menyebut nama-nama pasar swalayan mini, toserba, dan toko kondang yang menjual buahnya.
”Ada toko baru bisa ambil 3 ton per minggu. Dikirim dua kali. Sekarang saja, kiriman yang masuk gudang sudah 4 ton. Nanti, datang lagi,” katanya. Ia dengan semringah mengungkapkan permintaan callina yang sedang tinggi. Sesekali, persediaan berlebih tetapi bukan persoalan bagi Kiki.
”Bisa disalurkan ke pasar tradisional atau pabrik koktail. Semuanya terserap. Hari ini, empat penyuplai mengirimkan pepaya ke Jakarta,” ujarnya. Setiap hari, penerimaan dan pengiriman pepaya berlangsung lewat kemitraan Kiki dengan sekitar 100 petani.
Jejaring Kiki yang luas meliputi Kabupaten Cianjur dan Sukabumi di Jabar hingga Kabupaten Tanggamus, Lampung Timur, dan Lampung Selatan di Lampung. Ia menjembatani mitra-mitranya dengan menyediakan pasar. Callina dikirim untuk 40 pihak mulai pedagang di pasar basah hingga pusat perbelanjaan megah.
Kiki tak sekadar menampung komoditas, tetapi juga membina petani mulai pembibitan hingga panen agar standar mutunya terpenuhi. ”Dibantu pupuk juga meski tak banyak. Kalau belum tahu membudidayakan pepaya, petani diarahkan. Saya edukasi sampai pascapanen supaya menaikkan nilai jualnya,” ujar Kiki.
Penampilan, rasa, dan ukuran sangat berpengaruh terhadap harga. Kiki membimbing petani untuk mempertahankan kualitas dan kontinuitas. ”Kalau pepaya bagus tetapi produksinya tak kontinu, percuma. Mitra yang saya inginkan petani tetapi tetap profesional,” katanya.
Konsistensi Kiki menjaga mutu komoditasnya terlihat di sejumlah toko. Pepaya itu, misalnya, dikirim ke Kebun Buah yang rapi, bersih, dan berpendingin udara di Bekasi, Jabar. Permintaan callina paling tinggi dibandingkan pepaya lain.
”Setiap hari pasti ada konsumen yang menanyakan callina. Stoknya malah sering kurang,” ujar Supervisor Area Kebun Buah Wilayah Harapan Indah Joko Purwanto. Sementara, di toko buah yang termasuk jaringan ternama, di Kebun Jeruk, Jakarta, callina ditempatkan langsung di depan pintu masuk.
Jadi pelarian
Callina hanya sekelumit dari khazanah buah-buahan Nusantara yang menjadi kampiun di rak-rak toko mentereng. Mampu bersaing dengan komoditas impor, karya anak bangsa tersebut juga disebut IPB 9. Buah itu memang karya IPB University.
Berpijak pada kebanggaan itu pula, semangat Kiki untuk memuliakan callina terus menyala. Ia membudidayakan pepaya tersebut mulai tahun 2003. ”Sebenarnya, pertanian malah jadi pelarian saya. Dulu, saya agen makanan ringan. Pernah juga jadi penjual mesin bahan bangunan,” katanya.
Semua usaha itu akhirnya gagal hingga Kiki sempat frustrasi. Ia pun berdiam di rumah dan mengamati keluarganya yang bertani. ”Orangtua dan paman saya petani. Saya sedikit depresi lalu bantu-bantu mereka saja. Ayah saya juga pengepul meski hanya di kampung,” katanya.
Ia sempat menanam singkong, jagung, dan pepaya lain sebelum terpikat callina. Pangsa pasar dan harga callina ternyata menggiurkan. ”Waktu itu, harga callina Rp 1.500 per kilogram. Harga pepaya lain Rp 500 per kilogram. Saya mulai bermitra dengan petani lokal,” katanya.
Kiki bahkan membantu mereka dengan pinjaman modal, bibit, pupuk, dan penyemprotan obat-obatan. Ia juga menyampaikan panduan. ”Kadang-kadang, uang untuk beli pupuk disalahgunakan. Dipakai petani memenuhi kebutuhan dapur,” katanya sambil tertawa.
Ia menikmati masa keemasan budidaya callina. Rancabungur lalu dikenal sebagai sentra pepaya itu. Jumlah pohon Kiki yang semua 275 batang meningkat pesan menjadi 10.000 batang pada tahun 2007. Sekali panen, setiap pohon bisa menghasilkan hingga 150 pepaya dengan berat masing-masing 1-2 kilogram.
Kejayaan memudar
Busuk batang sekonyong-konyong melanda perkebunan Kiki. Pohon membusuk hanya dalam sebulan. Jika ditebang lalu keluar tunas baru, penyakitnya tak hilang. ”Kejayaan Rancabungur memudar pada tahun 2008. Lahan harus diistirahatkan lebih dari lima tahun. Saya membatin, pasar sudah tersedia,” ujarnya.
Ia menjaga kepercayaan konsumennya dengan menampung callina dari provinsi lain, termasuk Jawa Tengah dan Jawa Timur. ”Waktu itu, saya belum punya merek sendiri. Akhirnya, saya bisa menembus toko-toko mulai tahun 2011,” katanya.
Pasokan terus berjalan meski ia senantiasa diliputi kegamangan. Busuk batang sewaktu-waktu bisa menyerang perkebunan mitra Kiki. ”Petani di Palabuhanratu (Kabupten Sukabumi) sekarang hanya bisa menghasilkan kurang dari 50 persen dari produksi normal,” katanya.
Petani ibarat kucing-kucingan dengan busuk batang. Lahan untuk berkebun masih luas tetapi mereka harus berpindah-pindah agar pepohonannya terhindar dari penyakit itu. ”Pasti ada jalan. Saya sangat berharap obat untuk mengatasi busuk batang bisa ditemukan,” katanya.
Ia bergeming menanam callina meski sisa pohonnya saat ini sewaktu-waktu bisa mati karena busuk batang. Gairah Kiki untuk merevitalisasi Rancabungur tak pernah padam. ”Kalau solusi sudah ditemukan, saya bisa tancap gas lagi untuk mengintensifkan budidaya callina di Rancabungur,” ujarnya.
Risiko budidaya callina sangat tinggi tetapi Kiki justru melihat celah untuk meraih peluang. Harga callina tetap menarik dengan produksi yang tak berlebihan. ”Seninya justru di situ. Permintaan callina pun tinggi. Tanpa konsistensi tentu tak bisa bertahan untuk mengincar peluang,” ujarnya.
Ia tetap giat bekerja meski sejumlah penyakit menurunkan kesehatannya. Sejak dua tahun lalu, tifus, batu empedu, DBD, dan tuberkulosis menghinggapi Kiki. ”Sekarang, saya juga menjalankan peternakan sapi. Alhamdulillah, 45 sapi sudah terjual untuk kurban meski baru mulai tahun 2020,” katanya.
Biodata:
Nama: Kiki Wijarnako
Tempat, tanggal lahir: Desa Mekarsari, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 25 Februari 1979