Rithaony Hutajulu Penyambung Rantai Regenerasi Musik Tradisi
Sejak tahun 2007 Ritha merancang program revitalisasi musik tradisi Batak, Ritha mencari tujuh pemain musik tradisi yang sudah sepuh untuk dijadikan guru. Mereka lalu mencari murid untuk proses regenerasi.
Oleh
Mohammad Hilmi Faiq
·5 menit baca
Pemain musik tradisi Batak kian hari kian berkurang lantaran regenerasi berjalan lambat. Banyak pemain musik tradisi yang justru melarang anaknya meneruskannya karena tidak menjanjikan secara ekonomi. Dalam situasi seperti itu, Rithaony Hutajulu (57) menggairahkan kembali proses regenerasi pemain musik tradisi itu dengan melakukan pendampingan dan pemberdayaan. Para pemain musik tradisi dia carikan panggung-panggung sampai ke Europalia di Spanyol.
Carilah anak muda di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, yang paham betul cara memainkan gondang dan sekaligus memahami makna tiap tabuhannya. Itu jelas bukan perkara mudah. Bisa lebih susah daripada mencari anak-anak muda yang paham musik rock, pop, atau jazz. Pada upacara adat, seperti Sipaha Lima atau Mardebata sebagai bagian dari ritual agama lama orang Batak, Ugamo Malim, misalnya, nyaris tak ada anak muda yang memainkan alat musik Batak mengiringi ritual tersebut.
Gejala ini sudah bertahun-tahun dirasakan Ritha, sapaan akrab Rithaony Hutajulu. Sebagai akademisi yang lahir dan besar di tanah Batak, dia diselubungi kekhawatiran suatu saat tak ada lagi orang Batak yang memainkan alat musik tradisi. Ritha sadar betul bahwa untuk bisa memainkan musik tradisional Batak seperti taganing, sarune, atau hasapi, bukan hanya kemampuan teknis yang diperlukan. ”Juga perlu pengetahuan tentang budaya, upacaranya. Dia harus tahu apa yang harus dimainkan untuk upacara apa. Ini sudah sulit menemukan generasi muda. Sementara untuk belajar musik tradisi, gondang khususnya, di Batak itu, butuh waktu lama,” kata Ritha.
Dalam tradisi Batak, ia menambahkan, anak muda yang belajar menjadi pemain musik tradisional atau sebutlah pemusik pemula, harus tinggal bersama dengan pemusik Batak senior selama bertahun-tahun. Itu pun belum tentu diberi kepercayaan memegang alat musik. Mereka harus membantu bekerja di sawah atau mengangkat alat musik saat hendak dimainkan. Proses ini diperlukan untuk menanamkan tradisi berikut sistem pengetahuannya. Selain itu, ”Guru dan murid harus punya kepatuhan dan bonding yang kuat juga cara belajar yang berbeda. Dengan melihat saja itu proses belajar,” kata Ritha.
Masalah lainnya, para pemain alat musik tadisional ini, misalnya pargonsi (pemain gondang), sering kali tak ingin anaknya menjadi pargonsi juga. Alasannya sederhana, menjadi pargonsi itu tidak menentu penghasilannya karena hanya mengandalkan pita-pita alias saweran penonton.
Faktor-faktor itu menyebabkan banyak maestro pemain musik tradisi makin berkurang karena tidak ada regenerasi. Rantai regenerasi pemain musik tradisi terputus. ”Juga ada pelarangan-pelarangan dari lembaga agama,” ungkap Ritha yang menjelaskan beberapa lembaga agama modern menilai musik tradisi bagian dari pemujaan setan atau kemusyrikan.
Sejak kecil, Ritha sudah mengenal gondang dan kerap melihat ayahnya manortor (menari tor-tor) diiringi tabuhan gondang. ”Pada saat itu sudah banyak larangan,” kenang Ritha.
Kesadaran tradisi
Kecintaan terhadap musik sudah lama ada pada dirinya. Pada tahun 1980-an dia penyanyi pop lewat kelompok RIS Trio. Amat tenar di Medan kala itu karena sering muncul di TVRI. Mereka menyanyikan lagu-lagu ABBA dan sekelasnya. Dia kuliah mengambil jurusan etnomusikologi tahun 1982 di Universitas Sumatera Utara. Sempat dikirim ke Bali dan Jawa untuk memahami tradisi, terutama gamelan, dalam program Summer Course. Di situlah Ritha memahami kekayaan musik tradisi dan lambat laun mencintainya.
Ritha adalah penampil sekaligus etnomusikolog. Ditambah lagi, dia lahir dan besar dari suku Batak. Dengan demikian, dia memanggul dorongan sekaligus beban berat untuk menjaga keberlangsungan musik tradisi Batak.
Sejak era 1980-an, Ritha sudah khawatir musik tradisi Batak akan mati lantaran banyak pemainnya meninggal sebelum mewariskan keterampilan dan pengetahuannya kepada generasi muda. Dia lalu mengajukan proposal penelitian dan pendokumentasian musik tradisi pada tahun 2001 sampai 2003 kepada The Ford Foundation. Dia menggali semua unsur dalam musik itu. Misalnya untuk Batak Toba mencakup gondang hasapi, gondang Batak Toba dan uning-uningan opera batak, sampai nyanyian-nyayiannya.
Di Batak ada enam subetnik, yakni Toba, Simalungung, Karo, Pakpak, Angkola, dan Mandailing. Berdasarkan riset tersebut, Ritha memilih empat pertama.
Sejak tahun 2007 Ritha merancang program revitalisasi musik tradisi Batak dengan bantuan dana dari The Ford Foundation, Ritha mencari dan menemukan tujuh pemain musik tradisi yang sudah sepuh untuk dijadikan guru. Masing-masing guru dia minta mencari tiga murid untuk diajari alat yang berbeda seperti gondang, serune, taganing, dan garantung. Baik guru maupun murid dia kasih honor dan biaya transportasi serta disediakan alat musik. Tinggal latihan. Mereka berlatih sepekan sekali secara tatap muka guru dan tiga muridnya, lalu sebulan sekali para guru kumpul bersama para murid bersamaan. Itu berjalan selama dua tahun. ”Mereka latihan memainkan ensamble, itu intinya. Jadi harus bertemu. Saya monitoring dan merekam setiap bulan tentang perkembangan teknik,” kata Ritha.
Rantai regenerasi Ritha sambung lagi. Hampir semua murid itu akhirnya menjadi pemain alat musik tradisi. Bahkan tak sedikit yang mampu bermain di ranah ritual, sebuah fase paling sulit dalam permainan alat musik tradisi karena mereka juga harus menghayati makna tiap bunyi. Artinya, program latihan intensif guru-murid tadi paling tidak telah menyelamatkan satu generasi pargonsi.
Bahkan, dua dari murid-murid tersebut itu, pada tahun 2017 dibawa Ritha bersama kelompok Mataniari yang dipimpinnya ke Festival Seni Eropalia, ajang bergengsi yang disponsori oleh Kemendikbud dan Kementerian Pariwisata dan dan digelar di luar negeri. Mereka tampil di Belanda, Belgia, dan Spanyol. Eropalia menjadi salah satu ajang pembuktian bahwa regenerasi pemain musik tradisi Batak masih berlangsung. Ini amat penting karena kehilangan satu alat musik, yang bisa mati karena tidak ada pemainnya, merupakan kerugian besar bagu dunia. Ini menjadi perhatian UNESCO dalam bingkai intangible knowledge.
Ritha juga mengembangkan revitalisasi musik tradisi, khususnya Batak, dengan mempromosikannya lewat pertunjukan musik Mataniari untuk dalam festival musik seperti Kongres Kebudayaan 2018 dan Pekan Kebudayaan Nasional 2020. Dia juga menggagas Festival World Music di Danau Toba ”Toba Caldera World Music Festival” sejak 2019, yang antara lain menampilkan musik-musik Batak di Sumatera Utara. Di luar itu, dia menulis buku-buku tentang musik tradisi Batak untuk kebutuhan pendidikan seni musik.
Berkat langkah-langkah Ritha itu, regenerasi pemain musik tradisi ini terselamatkan. Setidaknya berjalan lebih bagus daripada sebelumnya. Tentu saja masih butuh perjuangan panjang untuk mempertahankan keberlanjutannya. Pada titik itulah, Ritah butuh banyak sokongan.
Biodata
Nama: Rithaony Hutajulu
Tempat/Tgl Lahir: Laras, Simalungun/16 November 1963
Anak: Niesya Ridhania Harahap (25)
Suami: Irwansyah Harahap (58)
Pendidikan:
S-1: Etnomusikologi USU (1988)
S-2: Etnomusicology Departmen, Univ. Washington, Seattle, USA (1994)
Penghargaan
Anugerah Pustaka Nusantara dari Perpustakaan Nasional Indonesia (2018) sebagai individu yang telah melakukan revitalisasi musik Sumatera Utara khususnya Batak.
Pekerjaan:
Sejak 1990 menjadi dosen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, USU
1995 Mendirikan kelompok musik bergenre worldmusic ”Suarasama” bersama Irwansyah Harahap dan berperan sebagai managing director dan vokalis utama
2008 Mendirikan komunitas Rumah Musik Suarasama sebagai wadah untuk pelatihan musik/tari Sumatera Utara, workshop dan diskusi seni dan budaya.
2015 Mendirikan kelompok musik dan tari tradisi (roots) Batak Toba “Mataniari”
Proyek Penelitian/Pengabdian Penting:
2001-2004: Melakukan penelitian dan pendokumentasian enam etnis sub-Batak: Toba, Mandailing, Angkola, Karo, Simalungun, Pakpak dengan dana dari The Toyota Foundation.
2003-2005: Melakukan proyek penelitian dan penulisan buku ”Gondang Batak Toba” untuk kebutuhan bahan ajar seni berbasis Nusantara dilengkapi dengan audio-visual dengan dana dari The Ford Foundation, Jakarta.
2007-2008 dan 2010. Melakukan program ”Revitalisasi Musik Tradisi Sumatera Utara” dengan fokus pada empat tradisi musik ”Toba, Karo, Simalungun dan Pakpak”. Dengan bantuan dana dari The Ford Foundation, Jakarta.
Karya Publikasi Penting:
”Voices of Peace and Reconciliation in Contemporary Islamic Music: The Kyai Kanjeng and Suarasama Music Ensambles.” Dalam (Un) Common Sounds: Songs of Peace And Reconciliatin Among Muslims and Christians. (Roberta R. King and Sooi Ling Tan, editor). Cascade Books: Eugene, OR, USA (2014)
”Tourism Impact on Toba Batak Ceremony.” ”Bijdragen Tot de Taal-Land-en Volkenkunde,” Leiden: 1995.
Einfluss des Tourismus auf Batak. KITA: Das Magazinen (German) 2/13/2014.
Gondang Batak Toba: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional Universitas Pendidikan Indonesia, . Bandung 2005.
”Gondang Music of The Toba Batak of North Sumatra: Continuity And Change of Its Performance Practice”. MUSIKA JORNAL 4. Penerbit: Center for Ethnomusicology, University of the Philippines.
”Power, Gender dan Musik Pada Masyarakat Batak Toba: Opera Batak Sebagai Wadah Ekspresi Perempuan.” Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta: 2003/2004.