Syanaz Nadya Bergaya dan Berdaya dengan Rorokenes
Bagi Syanaz Nadya Winanto Putri (45), perjalanan dengan Roro Kenes bukan sekadar pembuktian bahwa produk mode lokal bisa bersaing dan diakui kualitasnya. Namun, di balik itu tersimpan visi bahwa perempuan harus berdaya.
Bagi Syanaz Nadya Winanto Putri (45), perjalanannya dengan Rorokenes bukan sekadar pembuktian bahwa produk mode lokal bisa bersaing dan diakui kualitasnya di tingkat internasional. Namun, di balik itu tersimpan visi bahwa perempuan harus berdaya dan memberdayakan sesamanya.
Juli 2019, perempuan yang akrab dipanggil Sanya, ini dalam perjalanan untuk menjadi salah satu peserta pameran Festival Indonesia Moskwa di Moskwa, Rusia. Namun, perjalanannya terhambat karena dia harus berurusan dengan pihak pabean di bandara Moskwa selama enam jam lebih.
Pihak pabean bandara curiga dengan 10 tas kulit artisan Rorokenes yang dibawa Sanya untuk dipamerkan di festival tersebut. Mereka tidak mempercayai nilai barang-barang dengan kualitas tersebut hanya 1.200 dollar AS seperti yang diakui Sanya.
”Mereka menuduh saya melakukan kesalahan administratif karena tidak men-declare barang mewah dan dituduh akan melakukan penghindaran pajak,” tuturnya saat ditemui di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (11/6/2021).
Setelah mendapat bantuan dari Kedutaan Besar RI di Moskwa dan menandatangani setumpuk dokumen, Sanya akhirnya dibebaskan, tetapi seluruh barang yang dibawanya ditahan hingga saat ini. ”Saya disuruh membayar sekitar 7.300 dollar AS untuk menebus barang-barang saya itu. Tentu saja saya tidak mau. Saya akhirnya ikut pameran tanpa satu pun barang yang dipamerkan,” ujarnya.
Meski pahit, pengalaman itu menjadi bentuk pengakuan tersendiri bahwa produk-produk mode buatan Rorokenes sudah memiliki kualitas yang bagus. Bahkan, dinilai jauh lebih tinggi daripada harga aslinya.
Perjalanan Sanya dengan jenama Rorokenes yang punya arti ”seorang putri yang aktif, cerdas, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi”, itu dimulai pada 2014. Dengan setengah bercanda, ia mengatakan saat itu ia naksir berat dengan tas-tas buatan Bottega Veneta asal Italia yang memiliki ciri khas detail anyaman kulit.
”Tetapi, saya tidak mampu beli karena harga satuannya sudah puluhan juta dan suami juga tidak mau membelikan, ha-ha-ha,” kata Sanya sambil melirik suaminya, Agung Nugroho (45), yang malam itu menemaninya.
Dia juga melihat produk tiruan Bottega Veneta itu banyak beredar di pasaran dengan harga yang tidak bisa dibilang murah dan semuanya impor. ”Rata-rata produk KW-nya itu buatan China atau Korea. Harganya yang berkualitas bagus sudah Rp 1,5 juta ke atas. Semua 100 persen impor,” ujarnya.
Ditantang ayah
Saat ia menceritakan kegalauannya itu kepada ayahnya yang seorang pengusaha, Djoko Moerwienanto, ayahnya justru balik menantangnya. ”Bapak nantang saya. Katanya, ’Kalau cuma beli itu gampang, yang susah itu bikin. Sekarang kamu bisa beli saja atau bisa bikin sendiri dan dengan bangga bisa berdiri tegak memakainya di lautan merek-merek terkenal itu’,” kata Sanya menirukan kalimat ayahnya.
Tantangan itu melecut alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang dan pemegang gelar Master Development Management dari Asian Institute of Management di Manila, Filipina, ini. Ia memulai perjalanannya dengan modal Rp 35 juta dari suaminya. ”Itu uang pinjaman, ya, jadi tidak saya belikan Bottega Veneta dan saya kembalikan penuh,” tutur perempuan ramah ini.
Ia pun mulai meriset produsen bahan-bahan kulit yang berkualitas dan mulai mencari tenaga penganyam dan penjahit yang bisa membuat kerajinan kulit bermutu bagus. Sebagian modalnya juga ia pakai untuk membeli satu produk tiruan Bottega Veneta yang berkualitas baik, sebuah handle bag seharga Rp 2 juta, untuk dia bongkar dan dipelajari cara pembuatannya.
Kalau cuma beli itu gampang, yang susah itu bikin. Sekarang kamu bisa beli saja, atau bisa bikin sendiri dan dengan bangga bisa berdiri tegak memakainya di lautan merek-merek terkenal itu.
”Awal-awal itu perjalanan mencari pekerja yang paling melelahkan. Karena saya harus mendapatkan pekerja, baik penjahit maupun penganyam, yang sevisi dengan saya dan tahan dengan cerewetku,” tutur ibu dua anak ini.
Ia secara khusus bertekad membuat tas anyaman kulit karena, menurut dia, anyaman adalah salah satu produk khas tradisional di Nusantara dan sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Anyaman juga mengingatkannya pada Bhinneka Tunggal Ika, di mana ratusan suku bangsa di Nusantara ini saling menganyam menjadi satu bangsa Indonesia. ”Anyaman ini sangat Indonesia, tetapi mengapa setiap bicara produk anyaman kulit, ingatnya ke Bottega Veneta?” ujarnya.
Akhirnya dia mendapat tiga pekerja (yang ia sebut artisan) penjahit dan tiga artisan penganyam ditambah satu pembantu. Sebagian produk mereka kerjakan sendiri dan sebagian disubkontrakkan ke produsen kerajinan kulit yang lain. Produk-produk perdananya ia luncurkan pada acara Semarang Great Sale tahun 2014. Sebanyak 30 tas buatannya terjual habis kala itu.
Sukses di Semarang, langsung ia lanjutkan dengan mengikuti pameran kerajinan Craftina di Jakarta pada tahun yang sama. ”Untuk membuktikan bahwa produk saya bisa bersaing head to head dengan produsen level nasional dan apakah bisa diterima pasar Jakarta atau tidak. Karena kalau saya bisa berhasil di Jakarta, saya akan berhasil di mana saja. Dan ternyata produk saya kembali terjual habis,” kata Sanya.
Tahun depannya, ia kembali ke Jakarta untuk mengikuti Inacraft dan dari 60 produk yang ia bawa, hanya 10 yang dibawa kembali ke Semarang. Berbagai sukses ini memacu Sanya untuk membuat tim sendiri yang lebih layak dan menghentikan sistem pemesanan ke pengusaha lain. Menurut Sanya, sistem itu membuat dia tak bisa mengontrol proses produksi dari hulu ke hilir.
Baca juga: Agni Malagina, Menularkan ”Virus” Kesengsem Lasem
Ia mengenang periode 2014-2016 adalah periode saat dia mencari bentuk. Sanya mendesain sendiri produk-produk buatannya sambil terus mengasah pengetahuannya soal desain hingga saat ini. Menurut dia, meski dia sangat menyukai desain-desain Bottega Veneta, produk-produknya bukan jiplakan dari merek Italia itu. ”Sampai sekarang saya masih mengikuti berbagai kelas desain daring di Coursera,” ungkapnya.
Produk Rorokenes yang menggunakan 100 persen kulit asli dan 85 persen materialnya berasal dari dalam negeri pun makin dikenal, tidak hanya di dalam tapi luar negeri. Dalam periode 2017-2019, Sanya sudah mengikuti sejumlah pameran di luar negeri, mulai dari China, Slovenia, Austria, Inggris, Jepang, dan Rusia. Rorokenes juga melayani pembelian bebas ongkos kirim ke Singapura, Malaysia, Thailand, dan Hong Kong.
Laboratorium idealisme
Namun, sukses dikenal orang dan majunya penjualan bukan menjadi satu-satunya tujuan Rorokenes. Menurut Sanya, dia berpikir bagaimana keuntungan dari bisnisnya ini bisa membuat dampak sosial dan menjadi platform untuk bersuara di isu-isu yang ia perjuangkan, yakni kesetaraan gender. Rorokenes, lanjut dia, menjadi laboratorium untuk berbagai idealismenya.
”Saya seorang perempuan. Pengguna produk Rorokenes 80 persennya juga perempuan. Kini saatnya perempuan saling mendukung, saling melindungi, saling mengedukasi terkait kesetaraan gender,” ungkap Sanya yang memiliki kepedulian khusus pada kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pelecehan seksual.
Baca juga: Yani Risnawati, Bukan Remah-remah Rengginang
Sanya pun menjalin kerja sama dengan Pundi Perempuan Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (YSIK) dan Komnas Perempuan. Menurut dia, sebagian keuntungan Rorokenes disumbangkan ke Pundi Perempuan. Selain itu, ia menyelipkan brosur Pundi Perempuan dalam setiap produknya. Brosur ini berisi definisi KDRT, pelecehan seksual, dan di mana para korban bisa mencari pertolongan.
Kini saatnya perempuan saling mendukung, saling melindungi, saling mengedukasi terkait kesetaraan gender.
Peraturan perusahaan berkesadaran gender juga ia terapkan di Rorokenes. Pegawai perempuan, misalnya, bisa mendapatkan cuti datang bulan. Sementara pekerja laki-laki mendapat hak cuti melahirkan hingga lima hari saat istrinya melahirkan. ”Semuanya tanpa memotong hak upah mereka,” tuturnya.
Pemberdayaan perempuan juga dilakukan dengan mengadakan pelatihan bagi para ibu yang memiliki anak-anak penyandang difabel dan berasal dari golongan masyarakat miskin. Bekerja sama dengan Kadin Semarang dan Baznas Semarang, sejak 2019 Rorokenes memberikan pelatihan menganyam kulit dan literasi keuangan kepada para ibu dari anak-anak penderita kelumpuhan otak (cerebral palsy) akut.
”Anak-anak itu tidak bisa ditinggal ibunya sehingga ibunya tidak bisa bekerja dan produktif. Mereka menjadi sangat bergantung pada suami dan self esteem-nya turun drastis. Mereka merasa tidak berguna. Dengan pelatihan ini, kami bertujuan bagaimana caranya mereka punya self esteem lagi dan tetap bisa produktif meskipun dari rumah dan bisa mendapat uang untuk membantu perekonomian keluarga,” papar Sanya.
Dari segi lingkungan, Rorokenes juga menetapkan syarat ketat saat mencari pemasok kulit. Pemasok tersebut harus sudah memiliki SNI, ISO pengolahan limbah, dan lolos SGS test report untuk memastikan bahan kimia yang digunakan tidak berbahaya bagi manusia. ”Harganya memang jadi mahal, tetapi itu konsekuensi yang harus kami tanggung,” ujarnya.
Selain itu, Sanya menetapkan material sisa yang dibuang dari lini produksinya kurang dari 5 persen. ”Sisa kain dan sisa kulit dari workshop kami dikumpulkan jadi satu dan disumbangkan ke para perajin lokal untuk di-upcycle menjadi produk-produk kerajinan mereka,” imbuh Sanya.
Saat ditanya cita-citanya ke depan, Sanya dengan mantap menjawab, ”Mimpiku Rorokenes memiliki konsep bisnis The Body Shop-nya Anita Roddick, bermanfaat seperti Linux, dan dapat membawa value seperti Grameen Bank.”
Syanaz Nadya Winanto Putri
Lahir: Semarang, 15 November 1975
Suami: Agung Nugroho (45)
Anak:
Maula Aghna Raihan (16)
Mevlana Akhtar Reda (9)
Pendidikan:
- SMA Negeri 1 Semarang
- S-1 Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Semarang
- S-2 Master Development Management, Asian Institute of Management, Manila, Filipina