Pahrul Azim, Sosok di Balik Keberhasilan Desa Wisata Bilebante
Bilebante bertransformasi dari ”Desa Debu” menjadi desa wisata yang banyak menarik turis. Salah satu sosok yang gigih membangun desa wisata di Bilebante adalah Pahrul Azim.
Bilebante pernah dijuluki sebagai ”Desa Debu” akibat maraknya kegiatan tambang pasir. Dalam kondisi itu, muncul kesadaran warganya akan potensi lain, yakni pariwisata. Pelan tapi pasti, Bilebante bertranformasi menjadi salah satu desa wisata terbaik di Indonesia. Pencapaian Bilebante itu tidak terlepas dari kegigihan seorang Pahrul Azim (35).
Penambangan pasir telah berlangsung di Bilebante sejak 1990-an. Sekaligus menjadi mata pencarian utama warga desa yang berlokasi di Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, sekitar 17 kilometer tenggara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat.
Bilebante memiliki potensi pasir hitam berkualitas bagus. Akibatnya, puluhan hektar lahan, baik sawah maupun perkebunan, di desa itu berubah jadi tambang pasir. Warga pun banyak yang menjadi petambang atau pengusaha pasir.
”Banyak galian membuat kendaraan pengangkut pasir setiap hari keluar masuk desa. Akibatnya, jalan rusak parah. Banyak lubang dan berdebu. Dari sana, Bilebante kemudian mendapat julukan ’Desa Debu’,” cerita Pahrul saat ditemui Senin (7/6/2021) lalu.
Khawatir semakin banyak sawah dan perkebunan yang dijadikan tambang galian C, Pemerintah Desa Bilebante yang dipimpin Rakyatul Liwaudin pada 2007 mengeluarkan peraturan desa untuk mengatur penambangan pasir. Sejak saat itu, kegiatan penambangan pasir berkurang.
”Penambangan pasir baru benar-benar berhenti di 2016 ketika Desa Wisata Hijau Bilebante diluncurkan secara resmi,” kata Pahrul.
Bilebante saat ini merupakan salah satu desa wisata penyangga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. KEK Mandalika merupakan salah satu destinasi superprioritas yang tengah dikembangkan pemerintah. Perhelatan besar, seperti ajang MotoGp di Sirkuit Mandalika, akan menjadi salah satu daya tarik kawasan di Kuta, Pujut, Lombok Tengah itu.
Sebagai desa penyangga, Bilebante berhasil menggali berbagai potensinya, baik alam, budaya, kuliner, maupun kearifan lokal warganya. Inilah yang menarik turis datang ke Bilebante, termasuk turis dari Inggris, Portugal, Spanyol, Jerman, Meksiko, Perancis, dan Kiribati. Mereka senang diajak bersepeda keliling desa dan persawahan, mengikuti kelas memasak, kelas terapi kebugaran, dan berkebun tanaman herbal.
Jalan panjang
Cikal bakal Bilebante sebagai desa wisata dimulai pada 2014 ketika Pemprov NTB membuat program Pijar akronim dari sapi, jagung, dan rumput laut. Salah satu kegiatannya adalah pelatihan bagi 300 orang perwakilan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). ”Dari seluruh peserta, salah satu yang berhasil adalah Hj Zaenab dari Koperasi Wanita Putri Rinjani Bilebante. Ia membuat olahan rumput laut yang menarik banyak orang untuk datang belajar,” kata Pahrul.
Setiap kunjungan, pesertanya bisa mencapai puluhan orang. Dari sana, Pahrul melihat peluang. ”Saya berpikir, kenapa kunjungan sehari saja. Seharusnya bisa lebih lama sehingga pengeluaran mereka juga semakin banyak yang berdampak kepada masyarakat,” ujarnya.
Ia lalu menginisiasi komunitas pemuda setempat. Mereka mulai mengajak peserta berkeliling desa melihat potensi. Ia juga mendorong warga memanfaatkan rumahnya sebagai homestay untuk pengunjung.
Tahun 2015, Pahrul mengikuti lokakarya tentang desa wisata. Dari sana, ia berkenalan dengan sejumlah pihak yang menunjukkan betapa Bilebante punya potensi pariwisata. Tapi Pahrul malah ragu. ”Saat itu saya berpikir desa wisata identik dengan pantai, gunung, atau air terjun. Saya pesimistis Bilebante bisa menjadi desa wisata tanpa potensi seperti itu. Tidak ada yang indah (di Bilebante), hanya kelihatan tambang,” kata Pahrul.
Meski demikian, Pahrul tidak lantas mundur. Sambil meraba-raba, ia membuka diri dan perlahan belajar tentang desa wisata. Bersama sejumlah rekan dalam komunitas yang ia inisiasi, Pahrul memberanikan diri untuk mendaftarkan Bilebante sebagai salah satu desa binaan wisata.
Gayung bersambut. Bilebante lolos sebagai satu dari tiga desa binaan GIZ. Dua desa lainnya adalah Sembalun di Lombok Timur dengan potensi kawasan Rinjani dan Sesaot di Lombok dengan hutan lindungnya. ”Bilebante saat itu lolos karena ada keinginan masyarakat untuk berubah,” kata Pahrul.
Melalui kegiatan itu, kata Pahrul, warga desa belajar menganalisis potensi yang ada di desanya desa. Dari sana, mereka menemukan berbagai potensi wisata Bilebante mulai Pura tertua di Lombok Tengah, sumur jodoh, Gong Gress, Lembah Gardenia, dan aneka kerajinan. ”Kami juga dilatih membuat dan menyusun program serta promosi paket. Tahun 2015, kami memulai paket pertama yakni sepeda,” kata Pahrul.
Pahrul ingat sekali saat itu, mereka belum punya sepeda sehingga harus meminjam ke berbagai tempat. Namun, itu tetap dijalani bersama timnya demi mewujudkan keinginan menjadikan Bilebante sebagai desa wisata. ”Di awal, kami mengundang media. Gratis (mencoba wisata desa), syaratnya, mereka menulis tentang Bilebante,” kata Pahrul.
Pada tahun yang sama, Kelompok Sadar Wisata Desa Wisata Hijau (DWH) Bilebante terbentuk. Pahrul ditunjuk sebagai ketua. Tahun berikutnya, yakni 2016, DWH Bilebante diluncurkan secara resmi.
Tak mudah
Proses menjadikan Bilebante sebagai desa wisata tidak berlangsung mulus. Saat penyusunan Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Desa Wisata Bilebante, perdebatan alot terjadi. Warga tidak setuju Bilebante jadi desa wisata karena pariwisata masih dikonotasikan negatif oleh warga.
”Kami berusaha meyakinkan mereka bahwa kita bisa menetapkan etika berkunjung ke Bilebante. Siapa saja boleh datang asal mau mematuhi norma-norma yang berlaku di desa,” kata Pahrul.
Singkat cerita Perdes itu akhirnya disepakati. Pahrul dan tim langsung bergerak cepat meluncurkan beberapa obyek wisata. Ia didukung penuh oleh Kepala Desa Bilebante Rakyatul Liwaudin. Meski begitu, masih banyak warga yang tetap pesimistis.
Sebagai ketua kelompok sadar wisata dan petugas di desa, saya menjadi sasaran para pengusaha tambang pasir.
Saat program wisata baru diluncurkan, tekanan datang dari para pengusaha tambang pasir. Tekanan dalam bentuk intimidasi ataupun tawaran uang suap. ”Sebagai ketua kelompok sadar wisata dan petugas di desa, saya menjadi sasaran para pengusaha tambang pasir,” kata Pahrul.
Mereka, lanjut Pahrul, menginginkan Peraturan Desa Bilebante Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Desa Wisata diubah. Dalam perdes itu, ditetapkan salah satu potensi DWH Bilebante adalah hamparan sawah. Padahal sawah diincar oleh pengusaha pasir sebagai lokasi tambang.
Pahrul bergeming. Ia menolak tawaran uang puluhan juta dari para pengusaha pasir. Ia yakin sekali Bilebante punya potensi besar sebagai desa wisata. Keyakinannya terbukti ketika turis lokal dan asing mengalir lancar ke desa itu.
Paket-paket baru diluncurkan, termasuk Pasar Pancingan yang diluncurkan bersama Generasi Pesona Indonesia. Pasar Pancingan membuat Bilebante kian populer. ”Desa wisata itu berbasis pengalaman. Semakin saya melihat tamu menikmati desa dan pelayanan kami, semakin optimistis juga rasanya,” kata Pahrul yang juga turun langsung menjadi pemandu wisata.
Pada 2017, Bilebante mendapatkan penghargaan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sebagai desa terbaik dalam ajang Desa Wisata Award 2017. Bilebante dinilai mampu menggerakkan perekonomian lewat desa wisata.
Saat ini, tidak ada lagi jalan berdebu di Bilebante. Jalan utama desa telah diaspal mulus. Ekonomi warga juga turut menggeliat seiring terus bergeraknya sektor wisata di sana.
Berbagai pencapaian itu perlahan menumbuhkan kepercayaan warga. Mereka yang sebelumnya pesimistis terhadap Pahrul dan timnya mulai ambil bagian, termasuk bergabung ke dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) DWH Bilebante. Hingga saat ini, anggotanya mencapai sekitar 50 orang.
Bagi Pahrul, apa yang dicapai Bilebante saat ini adalah berkat dukungan banyak pihak yang masih terus mengalir, bahkan ketika pandemi. Dukungan datang dari internal desa, mulai pemerintah desa, anggota Pokdarwis, hingga warga. Selain itu, desa wisata juga didukung pemerintah daerah dan pusat, instansi terkait, dan pihak swasta.
Sejauh ini, Bilebante telah bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Desa, Bappenas, Giz, Allianz, Martha Tilaar, Panorama Travel, Hotel Santika, Genpi, Universitas Mataram, dan Sekolah Seniman Pangan.
”Semua tidak mudah. Tetapi, pencapaian ini adalah hasil dari konsistensi, kerja sama tim, serta selalu jujur dan terbuka,” kata Pahrul.
Pahrul Azim
Lahir: Dasan Telaga, 11 Oktober 1985
Istri: Netti Anggraini (37)
Anak:
- Muhammad Arsil Azim (12)
- Muhammad Fatir Gauzan Azim (8)
- Fadilah Salma Azmi (8)
Pendidikan Terakhir: S-1 Tarbiyah (Pendidikan Agama Islam)