Karmila Jusup, Pelayan Kesetaraan Perempuan
Stigma rentan memicu ketidakberdayaan perempuan dalam banyak hal. Menyeret mereka dalam kepatuhan semu. Karmila Jusuf mengajak perempuan menekan itu.
Sebagai pendeta, Karmila Jusup (55) tidak sekadar mengabdikan dirinya untuk melayani umat di gereja. Ia terjun menyelami isu kesetaraan perempuan. Mengedukasi, mendampingi, dan memperjuangkan hak perempuan yang kerap menjadi korban kekerasan akibat ketimpangan relasi kuasa.
Karmila percaya, Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan setara. Tidak ada yang lebih superior sehingga berhak untuk mendominasi. Namun, dalam relasi sosial, inferioritas perempuan membuat mereka sering ditindas dan takut untuk melawan.
Ia ingin mematahkan mitos inferioritas perempuan itu. ”Masalah ini juga panggilan teologi bagi gereja. Memperjuangkan hak asasi perempuan untuk mendapatkan keadilan serta hidup damai bebas dari kekerasan,” ujarnya di Kantor Sinode Gereja Kristen Pasundan (GKP), Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (21/4/2021).
Langkahnya memperjuangkan kesetaraan perempuan berawal dari diskusi komunitas gereja tersebut pada 2004. Saat itu, ia menjabat Sekretaris Komisi Pelayanan Perempuan Sinode GKP.
Isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mengemuka dalam diskusi. Sejumlah jemaat mengaku mengalaminya. Namun, kebanyakan mereka mendiamkannya karena dianggap lumrah.
Karmila menganggap sikap lumrah itu keliru. Mereka pun semakin intens berdiskusi untuk menemukan akar masalahnya.
”Ternyata, ada persoalan relasi kuasa. Ada isu jender di situ. Perlu dibangun kesadaran di komunitas jemaat agar menyadari bentuk-bentuk KDRT dan mencegahnya,” ujarnya.
Baca juga : Sugih Hartini, Nyali Hebat Perempuan Kuat
Tidak cuma kekerasan fisik, tetapi juga verbal dan psikis. Jika tidak dicegah, dampaknya bisa berantai menyasar pada anak.
Bersama sejumlah pendeta, Karmila bertekad menyusun pelayanan khusus untuk korban KDRT. Dibutuhkan konselor terampil dalam mendampingi korban.
Tekad itu membawa Karmila menimba ilmu di The Presbyterian Church in the Republic of Korea (PROK) pada 2011. Selama tiga bulan, ia belajar di Durebang Center, lembaga pelayanan perempuan di gereja tersebut.
Pada awalnya, Durebang Center fokus mendampingi perempuan Korea yang dieksploitasi menjadi pekerja seks di kamp tentara Amerika Serikat pada Perang Korea awal 1950-an. Namun, saat ini jangkauan pelayanannya lebih luas. Tidak hanya warga Korea, tetapi juga perempuan pekerja migran yang menjadi korban kekerasan.
Fakta itu membuka wawasan Karmila dalam mengelola isu kekerasan terhadap perempuan. Meskipun di bawah organisasi gereja, Durebang Center membuka layanan umum, bahkan untuk warga negara asing.
Hal itu membuatnya semakin yakin. Pembentukan pusat penanganan krisis bagi perempuan di gerejanya tak bisa ditawar. Atas kerja sama GKP dan PROK, didirikan Women’s Crisis Center Pasundan-Durebang pada 9 Maret 2013.
Di dalam negeri, Karmila menjajaki kerja sama dengan berbagai lembaga. Bersama empat rekannya, ia belajar mendampingi perempuan korban kekerasan di Rifka Annisa Women Crisis Center, DI Yogyakarta, pada 2012.
Ratusan korban
Delapan tahun berdiri, WCC Pasundan-Durebang telah mendampingi lebih dari 200 perempuan korban kekerasan. Bahkan, korbannya lebih banyak di luar jemaat gereja dengan latar belakang suku dan agama berbeda.
Lembaga ini fokus pada pencegahan dan penanganan korban. Kasus yang dihadapi beragam, di antaranya KDRT, pemasungan, dan pemerkosaan.
Dalam program pencegahan, WCC Pasundan-Durebang mengedukasi jemaat dan masyarakat mengidentifikasi bentuk kekerasan pada perempuan. ”Pesertanya tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Tujuannya agar kedua pihak saling memahami,” jelasnya.
Sementara penanganan korban mesti dilakukan sangat hati-hati. Sebab, tidak semua korban mau menceritakan tindakan kekerasan yang dialaminya. Mereka pun mewakilkannya kepada anggota keluarga atau rekannya untuk melapor.
Dalam kasus KDRT, misalnya, biasanya istri takut ketahuan oleh suaminya jika melapor langsung. ”Namun, ketika situasi membahayakan, seperti korban terancam terbunuh atau terluka, kami akan jemput. Pernah ada kasus istri dibacok suaminya sehingga perlu diamankan di shelter,” ucapnya.
Tidak sedikit pula kasus yang dikawal hingga ke pengadilan. Umumnya merupakan kasus pemerkosaan anak di bawah umur. Karmila menceritakan, pada 2015, pihaknya mendampingi perempuan berusia 15 tahun di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Remaja itu menjadi korban pemerkosaan oleh lima laki-laki.
Salah satu pelaku merupakan teman korban. Pelaku tersebut memberikan korban minuman yang telah dicampur obat tidur. Setelah tidak sadarkan diri, korban dibawa ke rumah kosong dan diperkosa.
Baca juga : Misiyah Mencetak Perempuan Berdaya
Tiga dari lima pelaku ditangkap polisi. Mereka diseret ke pengadilan dan divonis 9,5 tahun penjara.
”Akan tetapi, dalam banyak kejadian, keluarga korban menolak kasusnya dibawa ke pengadilan karena menganggapnya sebagai aib. Padahal, mestinya diusut tuntas agar pelaku dihukum. Hal ini sekaligus mencegah timbulnya korban lebih banyak,” jelasnya.
Karmila juga pernah diteror keluarga korban. Pihaknya dituding membawa misi kristenisasi. ”Tuduhan itu sempat membuat saya agak stres. Keluarganya telepon saya terus karena takut korban dikristenkan,” ucapnya.
Karmila menegaskan, WCC Pasundan-Durebang menggunakan pendekatan pelayanan berbasis hak asasi, bukan keagamaan. Ia memastikan tidak ada ajakan kepada korban untuk memeluk agama Kristen.
”Karena pelayanan berbasis hak asasi, kami pun harus memenuhi hak-hak korban untuk menjalankan ibadah agamanya,” ujarnya.
Pengalaman pribadi
Kesadaran Karmila memperjuangkan kesetaraan perempuan tidak lepas dari pengalaman pahit masa kecilnya. Keluarganya terbelenggu dalam budaya patriarki sehingga tidak mengutamakan pendidikan bagi anak perempuan.
”Setelah tamat SD, ayah tidak mendukung saya melanjutkan pendidikan. Ibu mendukung, tetapi bingung mau berbuat apa. Soalnya ayah yang bekerja mencari uang untuk biaya sekolah,” ujarnya.
Karmila tetap ngotot bersekolah. Hal itu mendorong ibunya mencari uang dengan keterampilan menjahit dan membuat kue.
”Ternyata ibu mampu. Namun, keterampilannya terpendam karena sebelumnya ilmunya tidak dipakai,” katanya.
Kisah tersebut sangat membekas di ingatan Karmila. Sejak saat itu, ia menyadari perempuan punya banyak potensi untuk berkarya dan menopang hidupnya dan keluarganya. Sayangnya, potensi itu sering ditutupi oleh stigma perempuan hanya mengurus rumah tangga.
Stigma tersebut rentan memicu ketidakberdayaan perempuan dalam banyak hal. Menyeret mereka dalam kepatuhan semu.
”Harusnya perempuan berani menyampaikan argumentasi dan mengembangkan potensi. Jangan merasa di bawah laki-laki,” ujarnya.
Teror dan tudingan miring tak membuat Karmila menyingkir dari jalan terjal memperjuangkan hak-hak perempuan. Tidak mudah, tetapi banyak tangan terlibat mengangkat cita-cita serupa. Mengantarkan perempuan keluar dari belenggu ketidakberdayaan menuju aktualisasi diri menata masa depan.
Baca juga : Rasminah, Endang Wasrinah, dan Maryanti Memerangi Perkawinan Anak
Karmila Jusup
Lahir: Kabupaten Bandung, 16 Januari 1966
Pendidikan terakhir: Universitas Kristen Duta Wacana, DI Yogyakarta (lulus 1992)
Pekerjaan: Pendeta di Gereja Kristen Pasundan, Manajer Shelter WCC Pasundan-Durebang