Tino Christian Menjaga Nam Salu yang Selalu Dirindu
Tino Christian ditertawakan karena memiliki gagasan untuk menyulap kawasan tambang timah terbuka Nam Salu menjadi tempat wisata. Namun, berkat kerja kerasnya, buah pemikiran yang dianggap gila itu pun menjadi anugerah.
Tino Christian (43) sempat ditertawakan karena memiliki gagasan untuk menyulap kawasan tambang timah terbuka atau open pit Nam Salu di Belitung Timur menjadi tempat wisata. Namun, berkat kerja kerasnya, buah pemikiran yang dianggap gila itu pun menjelma menjadi anugerah.
Kini, open pit Nam Salu selalu dirindukan banyak wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri. Statusnya pun kian cemerlang setelah ditetapkan menjadi satu dari 17 geosite bagian dari UNESCO Global Geopark Belitong.
Kawasan tambang timah terbuka Nam Salu terletak di Desa Senyubuk, Kecamatan Kelapa Kampit, Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jaraknya hanya sekitar 35 kilometer (km) dari Manggar, ibu kota Kabupaten Belitung Timur.
Dulunya Tino memang bergelut di bidang tambang. Pada rentang tahun 2006-2009, dia bekerja di PT Menara Cipta Mulia untuk menggarap proyek eksplorasi base metal. Tiga tahun berselang, Tino pindah ke PT Freeport Indonesia, Papua, dan bekerja di sana sekitar dua tahun. ”Selesai bekerja di PT Freeport, saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman,” ungkapnya, Sabtu (24/4/2021).
Namun, Tino tak berminat lagi menjadi seorang petambang, melainkan beralih menjadi penjaga lingkungan. ”Saya ingin mengubah pola pikir masyarakat untuk tidak lagi bergantung pada tambang timah, melainkan mencari pekerjaan yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya lewat sektor pariwisata,” ujarnya.
Tekad itu muncul karena ia menyadari, aktivitas tambang timah di sekitar Nam Salu akan membuat kaki Gunung Kir Karak semakin kritis. Hutan lindung yang ada di sekitar itu juga terancam. Sebuah gebrakan pun dia ciptakan, yakni dengan mengelola kawasan bekas open pit di Nam Salu menjadi obyek wisata sejak tahun 2011.
Awalnya, banyak orang yang menertawakan ide itu. Mereka menganggap kawasan bekas tambang tidak mungkin bisa diubah menjadi obyek wisata. Apalagi, kawasan itu sudah lama rusak. Namun, anggapan itu tidak membuat Tino patah arang. Dia tetap mengumandangkan visinya tersebut kepada semua orang, utamanya pemuda desa, dengan mendatangi sekolah-sekolah di sekitar kawasan.
Bak gayung bersambut, beberapa siswa sekolah tertarik untuk membantu Tino merealisasikan idenya itu. Mereka membersihkan kawasan, membuat rambu penunjuk jalan, hingga menjadi pemandu bagi wisatawan yang datang. ”Awalnya, mereka tidak dibayar, hanya diberi makan seadanya. Tapi, mereka tidak mengeluh dan tetap bersemangat,” ucapnya.
Visinya itu kian terang ketika pada 2016 Yayasan Alumni ITB 81 mengajaknya untuk menjadikan Nam Salu sebagai bagian dari kawasan Geopark Belitong. Beragam kajian mengenai Nam Salu pun dibuat. Kawasan ini memiliki sejarah panjang, bahkan aktivitas penambangan timah diduga sudah ada sejak 150 tahun lalu di masa kolonial Belanda.
Bahkan, aktivitas penambangan di Nam Salu kala itu merupakan yang terbesar dan termodern pada masanya, tidak hanya di Indonesia, tetapi se-Asia Tenggara. Gambaran itu sudah terlihat dari pola penambangan terbuka dan juga adanya jalur bawah tanah dengan panjang mencapai 676 meter dengan kedalaman 75 meter di bawah permukaan tanah.
Keunikan geologi inilah yang membuat banyak pelajar, mahasiswa, sampai peneliti datang untuk berwisata dan membuat kajian ilmiah. ”Nam Salu juga menciptakan banyak sarjana, bahkan doktor,” kata Tino.
Melalui Sekolah Alam Desa Tambang yang ia dirikan pada 2017, para wisatawan, yang beberapa di antaranya adalah para peneliti itu, saling bertukar pikiran dan berdialog mengenai banyak hal. Hasil perbincangan inilah yang membuat banyak pemuda desa yang turut berdiskusi menjadi lebih memahami kawasan tempat mereka tinggal.
”Keunikan geologi dan aktivitas edukasi inilah yang memancing wisatawan dari banyak negara untuk singgah,” ucap Tino. Mereka datang dari negara-negara di Eropa, Australia, Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan banyak negara lain.
Dukungan dari warga desa pun kerap didapat. Mereka selalu bersikap ramah terhadap semua wisatawan yang datang. ”Memang masih ada yang menambang timah di sekitar Nam Salu, namun aktivitas itu menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan,” ujar Tino. Bahkan, jika beruntung, beberapa wisatawan bisa mendapatkan cendera mata berupa bijih timah.
Tino mengakui, dia tidak bisa serta-merta memaksa warga untuk langsung beralih dari tambang ke pariwisata. ”Mereka (warga) masih membutuhkan uang dari timah,” ucap Tino. Harga timah masih cukup menjanjikan dengan harga sekarang sekitar Rp 100.000 per kilogram. Karena itu, Tino lebih fokus untuk mengajak anak muda agar ketika beranjak dewasa, mereka tidak lagi tertarik menambang timah, tetapi lebih kreatif mengembangkan wisata di daerahnya.
Menjadi ”geosite”
Nam Salu saat ini menjadi satu dari 17 geosite yang terintegrasi dalam UNESCO Global Geopark Belitong. Status ini diharapkan dapat berdampak baik bagi keberadaan Nam Salu sebagai obyek wisata geologi dan wisata edukasi.
Memang sebelum ditetapkan menjadi salah satu geosite, tingkat kunjungan sudah cukup tinggi. Pada rentang waktu pertengahan 2019 hingga awal 2020, obyek wisata ini dapat menghasilkan sekitar Rp 56 juta per enam bulan. ”Dengan status baru ini, diharapkan semakin banyak lagi wisatawan yang datang,” katanya.
Walau kini masa pandemi, masih ada saja yang datang dengan mengedepankan protokol kesehatan. Bahkan, ujar Tino, wisatawan dari Singapura dan Malaysia kerap bertanya kapan Nam Salu bisa menerima wisatawan dari luar negeri. ”Mereka seakan sudah rindu untuk datang lagi,” kata Tino.
Ketika pariwisata dianggap sudah menjanjikan, harapannya tidak ada lagi aktivitas tambang yang merusak lingkungan. Tino juga ingin pengelolaan kawasan ini bisa kian melibatkan masyarakat setempat dengan menjadikannya sebagai kawasan hutan kemasyarakatan.
Dana desa yang dikelola badan usaha milik desa pun diharapkan dapat dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur pendukung guna pengembangan obyek wisata. ”Memang butuh peran dari semua pihak untuk memajukan Nam Salu,” ucap Tino.
Dyah Erowati dari Dewan Pakar Komite Nasional Geopark Indonesia menuturkan, Nam Salu memang selalu dirindu. Kawasan ini menawarkan pengalaman yang tidak bisa didapat dari tempat lain. Di Malaysia ada penambangan timah, tetapi tidak dibuka untuk umum. Mereka yang penasaran pasti akan datang ke Nam Salu untuk melihat bagaimana kisah penambangan masa lalu di sana.
Setelah gelar UNESCO Global Geopark Belitong direngkuh, ujar Dyah, keberadaan open pit Nam Salu dan 16 geosite lain bisa lebih terjaga dan mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. Berkaca dari sejumlah kawasan global geopark yang sudah ada, Pulau Jeju di Korea Selatan, misalnya, bisa mendatangkan wisatawan hingga 7 juta orang per tahun. Sementara Langkawi, Malaysia, bisa mendatangkan sekitar 3,5 juta wisatawan setiap tahunnya.
Dyah pun meyakini Global Geopark Belitong bisa memperoleh hasil serupa, bahkan lebih dari itu. ”Potensi kekayaan geologi dipadukan keunikan masyarakat lokal menjadi nilai lebih Geopark Belitong,” ucapnya.
Menjaga kekayaan geologi, termasuk ekosistem di dalamnya, menjadi penting agar kisah yang ada di baliknya tidak pupus tergerus zaman. Karena di Pulau Belitung, geologi sangat memengaruhi budaya masyarakatnya. Inilah yang harus terus dijaga. ”Melalui geopark, biarkan para pemuda tahu budayanya, bukan budaya bangsa lain,” ujar Dyah.
Tino Christian
Lahir: Tanjung Pandan, 24 Mei 1978
Pendidikan:
- TK UPTBEL II Kelapa Kampit
- SD UPTBEL VII Kelapa Kampit
- SMPN 1 Kelapa Kampit
- SPRG Depkes Bandung
- SMA Bumi Siliwangi 19, Bandung
- ARS International University, Bandung
Pekerjaan:
- PT Menara Cipta Mulia, eksplorasi base metal 2006-2009
- PT Freeport Indonesia, Papua, 2009-2011
- Badan Pengelola Geopark Belitong 2017-Sekarang