Aryani Widagdo Mendesain Pakaian Bebas Sampah di Surabaya
Aryani Widagdo mengajak banyak orang untuk menghasilkan pakaian tanpa menghasilkan banyak sampah.
Aryani Widagdo (71) mendorong banyak orang untuk mendesain pakaian yang minim sampah. Setelah puluhan tahun menekuni dunia mode, dia mendirikan Aryani Widagdo Creativity Nestyang bergerak di bidang riset, pendidikan mode dan seni menjahit.
Pandemi Covid-19 yang membatasi gerak hampir semua orang tidak menghentikan langkah Aryani. Aktivitas berbagi ilmu dari Aryani Widagdo Creativity Nest di Surabaya, Jawa Timur, malah semakin luas dengan pelatihan secara daring.
Aryani mengadakan pelatihan menjahit pakaian dengan cara zero waste fashion design (desain pakaian bebas sampah). Cara menjahitnya menggunakan pola tanpa rongga sehingga tidak menyisakan kain. Kalaupun tersisa hanya sedikit sekali, berupa benang-benang kain. Dengan cara ini, pakaian yang dihasilkan bebas sampah dan lebih ramah lingkungan.
Selain ramah lingkungan, Aryani menggunakan kain tradisional seperti lurik, batik atau kain linen dari serat alami. Awalnya, dia mengajar menggunakan pola karya desainer dari Patrick Kelly dan Holy McQuillan. Beberapa kali, Aryani menggelar pelatihan membuat celana spiral karya Holly McQuillan, desainer dari Selandia Baru yang dikenal dengan desain bebas sampah.
Seiring berjalannya waktu, Aryani bersama tim dapat membuat pola sendiri. Sebut saja kebaya blus kalisuci, outer anatolia, outer antalya, atau atasan bermodel kimono yang disebut tongli. Pola dan cara menjahit itulah yang kini diajarkan Aryani.
Dia mengakui pandemi menjadi tantangan baru bagi timnya. “Kami berjuang supaya semua staf bisa tetap dipertahankan, jadi workshop dibuat online. Tapi kalau online, penjelasan tidak bisa dilakukan sembari peserta menggunting kain. Jadi harus dibuat video,” kata Aryani saat diawancara lewat Zoom, pada Senin (4/4/2021).
Saat ini, setidaknya ada 25 pola siap dibagikan oleh Aryani. Sebelum pandemi, Aryani menggelar pelatihan tatap muka kepada guru SMK, dosen atau siapa saja yang ingin belajar menjahit. Di sela-sela pelatihan, dia menyiapkan buku mengenai desain pakaian bebas sampah.
Kini, pandemi membuat dia menggelar pelatihan secara daring yang terbuka untuk siapa saja dan di mana pun berada. Hampir setiap hari, Aryani dan tim semakin sibuk menyiapkan pelatihan daring. Selain paparan, video harus dibuat secara jelas dan rinci. Biaya pelatihan relatif terjangkau, di bawah Rp 75.000. Peserta mendapat sertifikat, pola pakaian, video dan tutorial.
Setiap peserta pun bisa mengakses video cara membuat busana itu. Ketika kurang jelas, video bisa kembali dipelajari di rumah. Bahkan untuk yang belum pernah menjahit, membuat pakaian bebas sampah bukan hal yang tak mungkin.
Aryani menjelaskan, dia tidak mencari nafkah dari penyelenggaraan pelatihan sehingga biayanya dibuat murah. Bagaimana pun juga dia membutuhkan modal untuk membayar gaji staf dan pembuatan materi video. Dengan biaya yang murah, pelatihan itu bisa menjangkau peserta dari Aceh hingga Papua.
Dengan demikian, cita-cita Aryani untuk menyebarkan upaya baik yaitu desain pakaian bebas sampah bisa tercapai. Saat pelatihan, Aryani selalu gembira menyambut peserta-peserta yang mampu memodifikasi pola yang disampaikan dan menghasilkan karya baru. Selain itu, Aryani juga sering mengadakan webinar gratis.
Belajar mode
Kecintaan pada dunia busana membuat Aryani belajar jarak jauh di jurusan Fashion Design dan jurusan Fashion Merchandising di Pennsylvania International Correspondent School tahun 1987-1988. Saat itu, alumnus Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro ini sudah memiliki dua anak.
Sembari membantu usaha suaminya dengan berjualan ayam serta mengasuh anak, belajar terus dilakukan. “Saat itu belum ada internet. Jadi kalau materi kuliah yang dikirimkan via pos terlambat datang, saya degdegan. Sebab nanti terlambat untuk mengirimkan ujiannya,” kata Aryani mengenang masa pembelajaran jarak jauhnya.
Tahun 1990, Aryani mendirikan kursus mode. Tahun 2004, kursus mode dinamakan Arva School of Fashion di Surabaya. Sejak awal, sekolah ini memiliki perhatian pada keberlanjutan lingkungan dan isu-isu sosial.
Salah satunya, Arva School pernah menggandeng para desainer di Surabaya membuat boneka kain (rag doll) yang kemudian dilelang. Hasil lelang disumbangkan untuk pengelolaan hutan. Aryani pun mendukung kampanye di isu kesehatan perempuan hingga saat ini.
Pensiun dari Arva School of Fashion pada 2016 membuat Aryani ingin memperluas aktivitasnya. Dia mendirikan Aryani Creativity Nest, sebuah lembaga yang bergerak di bidang riset praktis untuk fashion dan kerajinan jahit. “Setelah pensiun, saya bebas dari pekerjaan rutin seperti manajemen sekolah, marketing mencari siswa. Jadi saya bisa melakukan banyak riset,” tuturnya.
Salah satu hasilnya, buku Aryani Widagdo dan Yoyo Kain: 20 Kreasi Bukan Lingkaran Biasa” diterbitkan tahun 2018. Yoyo yang dibuat dari guntingan perca dijahit pinggirannya lalu ditarik hingga berkerut bisa menjadi hiasan taplak meja. “Setiap orang orang pasti bisa bikin yoyo, tinggal idenya saja. Dikasih tema misalnya sirkus, balon sirkusnya dari yoyo yang diisi dakron, boneka badutnya dari yoyo,” tutur Aryani.
Yoyo memanfaatkan kain sisa dari industri garmen atau penjahit. Namun, kenyataannya, hanya sekitar 10 persen perca yang bisa menjadi kerajinan. Sisa sampah kain masih menggunung. Bila setiap tahun 400 miliar meter persegi kain diproduksi di dunia dan 15 persen kain dibuang selama proses pemotongan, terdapat 60 miliar meter persegi sampah kain.
Keprihatinan ini bersambut dengan informasi mengenai cara menjahit tanpa sisa kain perca dari seorang mantan muridnya. Aryani pun mencari lebih lanjut. Dia membeli dua eksemplar buku Zero Waste Fashion Design karya Timo Rissanen dan Holy McQuillan.
Baca juga : Raynanda Gunawan Ciptakan Digitalisasi Sekolah lewat Qualitiva
Dari buku ini dan riset yang dilakukan Aryani bersama timnya, muncul banyak desain baru. Sejak saat itu, pola piker Aryani dalam melihat pola baju pun berubah. Kemudian lahirlah kebaya kalisuci. Selain itu, Aryani yang gemar mengoleksi film-film kuno ini masih menyempurnakan pola kebaya tradisional yang tanpa perca.
“Kini, mimpi besar saya menghidupkan home sewing, jauh sebelum kita kenal kata sustainability dalam dunia fashion,” tuturnya.
Home sewing memberi kesempatan bagi kedua tangan menciptakan sesuatu yang indah. Kendati saat ini dirasa tidak mungkin menjahit sendiri semua baju untuk anggota keluarga, setidaknya home sewing bisa menjadi penyeimbang hidup. Harapannya, baju yang dijahit sendiri membentuk ikatan batin dan orang tak mudah membuang pakaian.
Aryani Widagdo
Lahir: Semarang, 6 Juli 1949
Anak: 2
Cucu : 4
Pendidikan:
- Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro, 1968
- Kuliah terbuka di jurusan Fashion Design dan jurusan Fashion Merchandising di Pennsylvania International Correspondence School, 1987-1988
Pekerjaan:
- Membuka kursus mode Arva Studio di Surabaya (1990)
- Pendiri dan Direktur Arva School of Fashion di Surabaya (2004-2014)
- Direktur Aryani Widagdo Creativity Nest (2015)
- Pengajar Sejarah Mode Universitas Surabaya 2012-2014
- Pengajar Sejarah Mode Universitas Kristen Petra sampai saat ini
Penghargaan, antara lain :
- Womanblitz : Blitz Inspiring Woman (2016)
- Surabaya Fashion Parade 2017 : Lifetime Achievement (2017)
- Yayasan Anne Avantie : Kartini Masa Kini (2018)