Pontyanus Gea, Sineasnya Nias dan Batak Toba
Selama satu dekade terakhir, Ponti Gea konsisten membuat film berbahasa Nias dan Batak Toba. Berkat Ponti, orang Nias dan Batak Toba memiliki film yang bertutur tentang kehidupan mereka dengan bahasa ibu mereka.

Pontyanus Gea atau yang lebih dikenal dengan nama Ponti Gea adalah seorang sutradara film lokal asal Nias, Sumatera Utara
Pontyanus Gea (46) memberi warna lain pada sinema Indonesia. Selama satu dekade terakhir, ia konsisten membuat film berbahasa Nias dan Batak Toba. Berkat karya-karyanya, orang Nisa dan Batak Toba punya film yang mengangkat kisah mereka sendiri dan bertutur dengan bahasa ibu mereka.
Selama bertahun-tahun, wajah film-film (bioskop) Indonesia cenderung lebih merepresentasikan masyarakat urban, terutama Jakarta. Narasi, gaya hidup, hingga fantasi yang diangkat dalam film, cenderung digali dari masyarakat urban.
Karakter-karakter dalam film—sebagian dari mereka berwajah indo--banyak bertutur dalam bahasa Indonesia dialek Jakarta. Narasi, gaya hidup, dan fantasi masyarakat di kota-kota kecil dan desa-desa nyaris tak dapat tempat.
Seiring merebaknya gerakan film di daerah-daerah dalam satu-dua dekade terakhir, kita bisa menyaksikan film-film fiksi buatan komunitas-komunitas yang bertutur tentang kisah masyarakat lokal dengan bahasa lokal. Fenomena ini muncul di berbagai daerah yang jauh dari Jakarta sebagai episentrum industri film komersial, seperti di Makassar, Aceh, Bukittinggi, Lombok, Biak, Nias dan kota-kota lainnya.
Film buatan mereka ditayangkan mulai di festival, acara komunitas, sekolah, kanal Youtube, atau dijajakan dalam bentuk cakram padat (VCD). Ada pula yang sukses menembus jaringan bioskop 21 seperti film Uang Panai’ buatan sineas Makassar. Film ini sanggup bersaing dengan film produksi Jakarta bahkan Hollywood ketika itu dengan merebut lebih dari 500.000 penonton bioskop.
Pontyanus Gea yang biasa disapa Ponti Gea adalah sineas yang muncul dari arus gerakan film daerah. Pada 2009, ia memproduksi film serial pertamanya dalam bahasa Nias yakni Ono Sitefuyu (Anak Sesat). Film sebanyak 11 episode itu meledak di Sumatera Utara. VCD-nya terjual hampir 500.000 keping.

Pontyanus Gea atau yang lebih dikenal dengan nama Ponti Gea (tengah menggunakan rompi merah), dalam sebuah acara. Ponti konsisten membuat film berbahasa Nias dan Batak Toba selama satu dekade terakhir.
Film keduanya berbahasa Batak Toba, Anak Sasada (Anak Satu-satunya, 2011), terjual sekitar 100.000 keping. Sejak saat itu, ia terus memproduksi film berbahasa Nias dan Batak Toba yang kini sebagian juga ditayangkan televisi lokal atau kanal Youtube.
Beberapa film berbahasa Nias lainnya besutan Ponti adalah Tolu Dodo Sambua Gohito (Tiga Arah Satu Tujuan, 2011), Samadoni Tano (Persengketaan, 2011), dan Lua-Lua Mbowo Sebua atau Akibat Jujuran Tinggi (2012). Sementara itu, film berbahasa Batak Toba buatannya Ponti antara lain Tano Parsirangan (2012), Amonghu Mardua Holong (2014), Alani Hapogoson (2015), Ilu Na Maraburan (2016), dan Rongkaphu di Tano Nias (2017). Beberapa film Ponti masih bisa disaksikan melalui kanal Youtube. Penonton yang tidak berbahasa Nias atau Batak Toba dimudahkan dengan subtitel berbahasa Indonesia.
Film buatan Ponti populer di kalangan masyarakat Nias dan Batak Toba karena memiliki unsur lokal yang kuat dan dituturkan dalam bahasa ibu mereka. Para pembuat dan pemain filmnya juga terdiri dari anak-anak muda lokal.
Tema yang sering saya angkat itu soal kehidupan, saya mengangkat cerita yang dijalani manusia sehari-hari, bukan ilusi yang tidak mungkin
“Tema yang sering saya angkat itu soal kehidupan, saya mengangkat cerita yang dijalani manusia sehari-hari, bukan ilusi yang tidak mungkin. Masyarakat sangat tersentuh dengan cerita seperti itu karena mereka juga menjalani dan merasakan hal itu,” ujar Ponti, Jumat (26/3/2021), dari Nias.
Kiprah Ponti sebagai sutradara sekaligus produser bukan tanpa tantangan. Popularitas Youtube sebagai kanal video digital membuat film-filmnya tak selaku dulu. Belakangan, film buatannya hanya terjual 20.000-25.000 keping VCD. Meski begitu, ia tidak menyerah. Ia terus membuat film berbahasa Nias dan Batak Tobai bawah perusahaan film yang ia dirikan, PT Molakhomi Ria Gea.
Pada 2019, ia mendapat tawaran dari Polda Sumut untuk menyutradarai Sang Prawira yang dirancang untuk penonton lebih luas. Film yang bercerita tentang pemuda dari Sumut yang ingin menjadi polisi, menampilkan beberapa pejabat seperti seperti Ganjar Pranowo, Yasonna Laoly, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Tito Karnavian.
Setelah itu, pandemi Covid-19 memaksa Ponti untuk berhenti berkarya selama beberapa bulan. Baru pada Agustus 2020, ia mulai membuat film serial lagi berjudul The Jungle Boys: The Hidden Treasure of the Island yang sedang tayang di layanan bioskop virtual Okeflix.
Baca juga: Gundah Gulana Pekerja Film
Kiprah Ponti sebagai sutradara sekaligus produser bukan tanpa tantangan. Popularitas Youtube sebagai kanal video digital membuat film-filmnya tak selaku dulu. Belakangan, film buatannya hanya terjual 20.000-25.000 keping VCD. Ia terakhir menjual film dalam bentuk VCD pada 2017. Kini, ia berupaya memanfaatkan layanan film streaming dan kanal Youtube untuk mendistribusikan film-film berbahasa Nias dan Batak Toba.
Baca juga: Nasib Pekerja Film Menyambung Hidup dengan Youtube
Meski begitu, ia tidak menyerah. Ia terus membuat film berbahasa Nias dan Batak Tobai bawah perusahaan film yang ia dirikan, PT Molakhomi Ria Gea. Kini, ia berupaya memanfaatkan layanan film streaming dan kanal Youtube untuk mendistribusikan film-filmnya.
Pada 2019, ia mendapat tawaran dari Polda Sumut untuk menyutradarai film Sang Prawira yang dirancang untuk penonton lebih luas. Film yang bercerita tentang pemuda dari Sumut yang ingin menjadi polisi, mendapat penghargaan MURI sebagai film dengan pemeran polisi aktif terbanyak. Beberapa pejabat jug muncul dalam film ini, seperti Ganjar Pranowo, Yasonna Laoly, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Tito Karnavian.

Pontyanus Gea atau yang lebih dikenal dengan nama Ponti Gea (paling kanan) berbicara dengan Menteri Kemenkumham Yasonna Laoly. Laoly menjadi berperan sebagai figuran dalam film "Sang Prawira" karya Ponti Gea.
Setelah itu, pandemi Covid-19 memaksa Ponti untuk berhenti berkarya selama beberapa bulan. Baru pada Agustus 2020, ia mulai membuat film serial lagi berjudul The Jungle Boys: The Hidden Treasure of the Island yang sedang tayang di layanan bioskop virtual Okeflix.
Berkelana ke Eropa
Ponti lahir di keluarga petani miskin di Desa Onowaembo Idanoi, Nias. Masa kecilnya berat. Ayah Ponti meninggal ketika ia masih berusia tiga tahun. Ponti pun hanya mengecap pendidikan formal hingga kelas dua SD.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, Ponti terpaksa bekerja sebagai kurir ekspedisi desa sejak usianya baru delapan tahun. Ia berjalan kaki menempuh jarak sejauh tujuh kilometer dari kampungnya menuju Kota Gunungsitoli untuk mengangkut getah, karet, dan kelapa. Pulangnya ia membawa sembako.
Berangkat remaja ia merantau ke Kota Sibolga. Di sana ia jualan koran, rokok, atau mengayuh becak agar dapat uang. “Saya menjalani hidup di emperan sekitar sebelas tahun,” kata Ponti yang kemudian berkelana ke Medan.
Berbekal kemampuan berbahasa Inggris yang ia pelajari dari turis di Sibolga, ia menjadi pemandu wisata lepas pada 1995. Ia juga menjadi sopir dan pramukantor di beberapa perusahaan hingga awal tahun 2000-an.
Setelah beberapa tahun, Ponti memutuskan untuk menjajal pekerjaan sebagai pramukantor dan supir di beberapa perusahaan distributor selama 1999-2002. Di tengah perjuangan itu, ibunya meninggal dunia pada tahun 2000.
Berkat organisasi agama Focolare Movement dari Italia yang ia ikuti, Ponti mendapat kesempatan berkelana ke Eropa mulai Italia, Swiss, hingga Hongaria. Di sana, ia belajar agama, budaya, “Selama di Italia, saya juga belajar perfilman di Roma sembari bekerja paruh waktu. Saya belajar komputer, cara mengedit, dan membuat video clip,” tutur Ponti yang sempat kembali ke Indonesia pada 2005 untuk membantu penanganan dampak tsunami Aceh.
Ponti baru benar-benar pulang ke Indonesia pada 2007. Ia mulai menerapkan ilmu perfilman yang diperoleh dari Italia sembari meniti karier sebagai penyanyi. Meski karier menyanyinya mandek, namun kariernya di dunia film justru menjanjikan. Ia mendapat beberapa proyek pembuatan film saat itu.
Setahun kemudian, ia memulai debut sebagai sutradara film. Ia gunakan uang tabungan selama di Eropa untuk membiayai proyek film yang berkisar antara Rp 100 juta hingga Rp 500 juta per film. Sebagian dana dibantu oleh istrinya.
Saya ingin mengekspos budaya yang ada di Sumatera Utara lewat film agar orang bisa mengenal budaya dan destinasi di setiap daerah, khususnya Nias dan Batak
Sejak awal ia menggarap film berbahasa Nias dan Batak Toba. “Setelah belajar di Eropa, saya ingin mengekspos budaya yang ada di Sumatera Utara lewat film agar orang bisa mengenal budaya dan destinasi di setiap daerah, khususnya Nias dan Batak. Banyak sudut adegan film saya sengaja ambil panorama alamnya, seperti Danau Toba,” kata Ponti.
Terlepas dari kualitas film yang dihasilkan, Ponti berjasa membawa narasi tentang Nias dan Batak Toba ke panggung perfilman Indonesia. Sejauh ini, bisa dikatakan, ia masih bergulat sendirian mengembangkan film Nias dan Batak Toba. Karena itu, ia berharap pemerintah daerah ikut membangun ekosistem industri perfilman Nias dan Batak Toba. (BSW)
Baca juga: Jaring Pengaman Sosial Dibutuhkan untuk Melindungi Pekerja Film
Pontyanus Gea
Lahir: Gunungsitoli, 4 Mei 1974
Istri: Emilia Sarumaha (almh)
Anak: Lucia Esperanza Molakhomiria Gea
Pendidikan: SDN di Onowaembo Idanoi, Kecamatan Gunungsitoli Idanoi
Pelatihan:
- Diploma Scuola Gen Montet, Mariapoli Foco, Swiss (2003-2004)
- Certificato de Centre de Rencontre et de Formation, Swiss (2003-2004)
- Certificato di Frequenza da Centro Internazionale di Strodio et Esperienze Sociale Loppiano (2005-2007)
Pekerjaan: Direktur PT Molakhomi Ria Gea