Muhammad Yazid dan Rahmadia, Sosok di Balik Adegan Berbahaya
Di balik adegan berbahaya dalam film, ada keringat, keberanian, dan kreativitas para stuntman. Muhammad Yazid dan Rahmadia adalah dua di antara sekian stuntman yang malang melintang dalam banyak film laga.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·6 menit baca
Kompas/Priyombodo
Muhammad Yazid (kanan) berlatih gerak bela diri untuk film laga di Studio Piranha Stunt Indonesia di Depok, Jawa Barat, Jumat (26/3/2021). Muhammad Yazid adalah salah seorang pendiri Piranha Stunt Indonesia. Pandemi Covid-19 yang memukul industri film di tanah air berdampak pada para pemeran pengganti dan pemeran pendukung.
Posisi pemeran pengganti (stuntman) dalam industri film amat penting. Merekalah yang melakoni adegan berbahaya, seperti melompat dari atas gedung hingga berlari menembus kobaran api. Demi menyiapkan stuntman profesional, Muhammad Yazid dan Rahmadia merintis komunitas Piranha Stunt Indonesia.
Piranha Stunt Indonesia yang berdiri sejak 2005 ini, berkegiatan di Jalan Madrasah No 22, Kecamatan Cilodong, Depok, Jabar. Komunitas ini menyulap lahan seluas 300 meter persegi untuk tempat berlatih yang dilengkapi aneka peralatan adegan berbahaya, seperti alat pengaman untuk adegan terbang dan melompat, matras, serta trampoline.
Setidaknya sepekan dua kali, yaitu setiap Rabu dan Minggu, belasan pemuda-pemudi berkumpul di tempat ini untuk berlatih adegan memukul, menendang, memanah, dan berkelahi. Mereka juga berkreasi menciptakan koreografi adegan perkelahian. Di luar latihan rutin, mereka berlatih sesuai kebutuhan produksi film yang mereka ikuti masing-masing.
Rahmadia, atau yang biasa disapa Eka, mengatakan, semula para pemeran pengganti terlibat dalam komunitas Asosiasi Stuntman Indonesia. Tahun 1990-an, anggota asosiasi ini main di sejumlah film kolosal yang diangkat dari komik dan legenda masyarakat Indonesia, seperti Jaka Tingkir. Begitu shooting selesai, para pemeran pengganti kehilangan pekerjaan.
Kompas/Priyombodo
Rahmadia, pendiri komunitas Piranha Stunt Indonesia, pemeran pendukung dan pemeran pengganti film laga Kompas/Priyombodo (PRI) 26-03-2021
Dari komunitas itu, ada sekitar sembilan orang yang bertahan. Mereka rutin menggelar latihan di Studio Alam TVRI. Kemudian terbentuklah komunitas Piranha Stunt Indonesia. Dari sembilan orang perintis komunitas, saat ini hanya tersisa empat orang yang masih aktif, yaitu Yazid, Eka, Hendra Suprawijaya (Cep Hendra), dan Madi.
Dinamakan Piranha karena dulu kami sering tidak punya pekerjaan dan penghasilan. Begitu ada makanan, kami cepat menghabiskan makanan saking laparnya, persis seperti ikan piranha.
“Dinamakan Piranha karena dulu kami sering tidak punya pekerjaan dan penghasilan. Begitu ada makanan, kami cepat menghabiskan makanan saking laparnya, persis seperti ikan piranha,” ujar Eka, pemeran pengganti dan aktor laga yang pernah terlibat dalam film The Raid 1 dan 2 ini.
Para perintis komunitas melatih sekitar 20 pemeran pengganti dari berbagai daerah di Indonesia. Lambat laun jumlahnya bertambah. Kini, mereka berencana merekrut anggota baru untuk mengantisipasi naiknya permintaan pemeran pengganti saat industri film bangkit lagi pasca pandemi.
Di komunitas ini, para perintis menyiapkan para pemeran pengganti profesional yang sanggup melakukan berbagai adegan berbahaya. Mereka juga dilatih melakukan adegan berkelahi yang yang tidak biasa. Jika umumnya gerakan bela diri dalam perkelahian mengutamakan kekuatan dan kecepatan, gerakan adegan laga untuk film mengutamakan keluwesan dan keindahan. Tentu saja mereka selalu berhitung dengan bahaya.
Kompas/Priyombodo
Rahmadia berlatih aksi bela diri untuk film laga di studio Piranha Stunt Indonesia di Depok, Jawa Barat, Jumat (26/3/2021).
Dengan begitu, gerakan mereka enak untuk dinikmati saat difilmkan. Latihan yang dilakukan para stuntman juga sering menggunakan peralatan tambahan seperti tombak, panah, dan senjata api mainan.
Mengadu nasib
Keterlibatan Eka dan Yazid di industri film berangkat dari ketertarikan keduanya terhadap film laga. Menyaksikan aktor hebat seperti Dede Yusuf dan Barry Prima bermain film laga, mereka juga ingin mencoba peruntungan akting di depan kamera.
Pada 1997, Yazid membaca lowongan menjadi penonton bayaran dalam salah satu tayangan TVRI. Ia memutuskan mengejar lowongan itu dari Lampung ke Jakarta. Ia berhasil menjadi penonton bayaran di berbagai acara. Setelah itu, ia “naik kelas” menjadi pemeran figuran dalam film. Akhirnya ia mendapat peran sebagai pemeran pengganti hingga pemeran pendukung untuk adegan perkelahian (fighter).
Yazid masih ingat ketika ia terlibat dalam film Tutur Tinular (1997) dan Misteri Gunung Merapi (1998). Ia menjadi pemeran pengganti untuk karakter ikonik Sembara. Sekarang, Yazid tidak hanya terlibat untuk film laga, tetapi juga horor.
Adegan saya hanya ikut lari-larian kalau ada perkelahian di pasar atau di perkampungan
Keterlibatan Yazid dalam industri film kemudian menginspirasi adik-adiknya, Eka dan Madi, untuk berkarya di bidang yang sama. Pertama kali shooting, Eka terlibat dalam sinetron Ibnu Sabil pada awal 2000-an. Perannya ketika itu menjadi masyarakat. “Adegan saya hanya ikut lari-larian kalau ada perkelahian di pasar atau di perkampungan,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, Eka mendalami adegan-adegan menantang untuk kebutuhan film laga. Meski mengaku tidak punya dasar bela diri, pemuda ini tetap percaya diri beraksi di depan kamera. Ia berlatih gerakan perkelahian dari senior-seniornya yang lebih dulu menekuni profesi stuntman.
Kompas/Priyombodo
Muhammad Yazid membereskan peralatan keselamatan untuk aksi pemeran pengganti film di Studio Piranha Stunt Indonesia di Depok, Jawa Barat, Jumat (26/3/2021).
Pengalaman dan keterampilannya memainkan adegan perkelahian ini kemudian ia turunkan juga kepada generasi muda lain yang ingin mengikuti jejaknya sebagai stuntman.
Komunitas Piranha sejauh ini sudah terlibat dalam ratusan proyek film layar lebar dan video televisi. Mereka tidak hanya terlibat dalam proyek film buatan sineas lokal, tapi juga sineas asing. Saat kondisi normal, komunitas stuntman ini bisa terlibat dalam 5-6 proyek film layar lebar, video televisi, webseries, ataupun iklan per bulan.
Eka mengatakan, penghasilan dari film ini sebagian besar dipakai untuk membayar pemain dan membeli lahan tempat latihan. Sementara itu, untuk tempat tinggal sehari-hari, Eka masih ngontrak di rumah petakan senilai Rp 600.000 per bulan.
Tantangan hidup
Selama lebih dari 20 tahun bergelut dalam komunitas, kakak beradik Yazid dan Eka, sudah merasakan suka-duka terlibat dalam proyek film. Perasaan suka cita muncul ketika mereka melakoni adegan-adegan menantang dengan baik. Selain itu, mereka bisa dekat dengan aktor ternama dan menjalani shooting di berbagai daerah di Indonesia. Kesenangan ini berlipat ganda ketika film yang dimainkan laris di pasaran.
Peran saya yang paling berkesan adalah ketika main di The Raid karena film itu banyak ditonton orang. Dari segi popularitas, saya ikut merasakannya
“Peran saya yang paling berkesan adalah ketika main di The Raid karena film itu banyak ditonton orang. Dari segi popularitas, saya ikut merasakannya," ujar Eka yang bermain bersama aktor Iko Uwais dan Joe Taslim di film ini.
Dukanya, penghasilan dan perlindungan terhadap profesi pemeran pengganti di Indonesia tidak pasti. Mereka kerap dibayar setara upah minimum. Padahal, mereka mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu, seperti bermain peran, menjalani adegan laga, bahkan sampai menyiapkan peralatan keselamatan mereka sendiri. Yang tak boleh dilupakan adalah risiko pekerjaan mereka amat tinggi.
Kompas/Priyombodo
Rahmadia (tengah) berlatih aksi bela diri untuk film laga di Studio Piranha Stunt Indonesia di Depok, Jawa Barat, Jumat (26/3/2021). Rahmadia adalah salah seorang pendiri Piranha Stunt Indonesia.
Selama pandemi Covid-19, tantangan yang mereka hadapi makin besar. Yazid dan Eka mengatakan, tawaran untuk terlibat dalam produksi film menyusut drastis setahun terakhir. Seperti pekerja film lainnya, mereka terpaksa nganggur selama berbulan-bulan bulan.
Situasi ini memaksa Eka dan kawan-kawan menjalani pekerjaan sampingan mulai jadi tukang las, tukang bangunan, dan bercocok tanam. Apa saja mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menurut Eka, ia tidak masalah harus beralih profesi menjadi pekerja serabutan mengingat sebelum terjun di industri film sudah terbiasa hidup susah. “Saya tidak malu karena selama ini saya tidak pernah pilih-pilih pekerjaan. Apa pun saya kerjakan. Ketika saya bekerja saya tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga orang lain,” ujarnya.
Pekerjaan serabutan itu dilakukan sambil mereka tetap tekun berlatih. Latihan dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan, misalnya membatasi jumlah kunjungan ke studio latihan dan menjalani isolasi mandiri usai latihan.
Terlepas dari apapun tantangan yang dihadapi dalam situasi krisis pandemi, Eka dan Yazid percaya industri film akan bangkit lagi. Sambil menanti kebangkitan industri sinema, mereka menyiapkan diri sebaik mungkin agar peran para pemeran pengganti kelak bisa lebih dihargai.
Muhammad Yazid
Lahir: Lampung, 10 Desember 1977
Pendidikan: SMA Pembangunan Lampung Selatan (1996)
Film antara lain:
Tutur Tinular (1997)
Misteri Gunung Merapi (1998)
Air Terjun Pengantin (2011)
Rahmadia
Lahir: Lampung 24 Januari 1983
Pendidikan: SMA Pembangunan Lampung Selatan (2002)