Jemi Nikolaus Rahangiar Memanfaatkan Limbah Tekstil Menjadi Produk Unik Saparo
Jemi Nikolaus Rahangiar memanfaatkan limbah tekstil, khususnya denim, menjadi produk mode yang keren dan unik.
Jemi Nikolaus Rahangiar (29) memadukan pengelolaan limbah tekstil dengan dunia mode. Bersama keluarganya, Jemi menciptakan kreasi unik dengan merek Saparo di Kota Semarang, Jawa Tengah. Tidak sepenuhnya berorientasi bisnis, ia mengedepankan ide-ide kreatif yang sebagian besar justru didapatnya dari jalanan.
Berbahan baku limbah tekstil, Saparo memproduksi beragam produk, mulai dari tas, baju, topi, hingga lukisan. Salah satu keunikannya, limbah tekstil ditenun menggunakan teknik sakiori dari Jepang pada produk-produk mereka. Potongan-potongan kain denim dijahit menjadi tas atau baju yang keren. Jemi mendapatkan limbah tekstil dari pengepul di Jakarta dan Semarang.
Dalam mengerjakan itu, Jemi dibantu dua kakaknya, yakni Rinto Rahangiar dan Ansina Susana Rahangiar. Mereka mengandalkan empat alat tenun dengan berbagai ukuran.
Keluarga asal Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku, itu memang tertarik pada hal-hal kreatif dan terbiasa mengelola limbah menjadi produk-produk bermanfaat. Tak heran, tempat tinggal kontrakan mereka di Tembalang, Semarang, dihiasi kerajinan dari bahan-bahan tak terpakai, seperti hiasan pintu dan pajangan dari limbah besi.
Hasil tenun dan potongan bahan-bahan denim nyaris memenuhi menutupi seluruh dinding di salah satu ruangan lokakarya Saparo, yang berukuran 4 meter x 2 meter, di Semarang, Kamis (18/3/2021). Di tengah ruangan terdapat dua alat tenun dengan lebar 60 sentimeter dan 30 sentimeter, sedangkan panjangnya tergantung pada kebutuhan tenunan. Bisa hingga 6 meter. Mereka mengandalkan lima mesin jahit.
”Saya tak mau bicara jauh tentang kepedulian lingkungan. Yang utama, urus limbah sendiri saja. Awalnya, hanya media bermain dan berkreasi. Kalau kami mengolah limbah di dekat kami kan satu persoalan terselesaikan,” kata Jemi di tempat lokakarya Saparo di Semarang, Kamis (18/3/2021).
Mulai produksi sejak 2018, Saparo menawarkan produk by custom (sesuai permintaan). Bagi Jemi, komunikasi dengan calon pembeli menjadi paling utama. Dari situ, muncul pertukaran ide. Harga jual produk pun bisa berbeda setiap konsumen. Sementara secara umun, harga produk Saparo berkisar Rp 200.000-Rp 3.000.000.
Saat ini, konsumen Saparo berasal dari sejumlah daerah, bahkan hingga Jakarta. Jemi mengaku tidak punya target produksi dan keuntungan. Produksinya bergantung pada mood, kemunculan ide, serta adanya pemantik.
Hal tesebut pula yang membuat usahanya tak begitu terdampak pandemi Covid-19. Sebaliknya, pada 2020, ia justru banyak berkolaborasi dengan desainer ataupun usaha kreatif lainnya. Saparo juga meraih Juara II Kategori Fashion pada Indonesia Fashion & Craft Awards (IFCA) 2020 yang diselenggarakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Tanpa disadari, minat Jemi pada mode rupanya tertanam sejak SD saat ia belajar menjahit secara otodidak karena ada mesin jahit di rumahnya. Ia membuat sarung tangan kiper, mengingat sepak bola ialah salah satu hobinya. Posisinya sebagai kiper. Kedua orangtuanya sendiri bukan penjahit.
Sementara pada dunia pendidikan formal, Jemi kesulitan mengikuti hingga membuatnya tak lulus saat duduk di kelas 3 SMP pada 2006. Ia merasa minder jika harus mengulang kelas. Lalu, dia mengikuti Kejar Paket B untuk bisa masuk ke SMK Pariwisata Santa Theresia Langgur, Maluku Tenggara.
Jemi sempat bimbang bersekolah di SMK tersebut. ”Hanya ada dua jurusan, tata busana dan tata boga. Kalau masuk situ malu juga, karena nyaris tidak ada siswa cowok. Tapi daripada mengulang SMP, saya ikut saja dan kebetulan diterima (tata busana). Jadi, sebenarnya kecelakaan,” katanya.
Di sekolah dengan siswa lebih banyak perempuan, Jemi sempat mengasingkan diri dari teman-teman mainnya di sekitar rumahnya. Setiap berangkat sekolah, ia lewat bagian belakang rumahnya. Di kamarnya, ia pajang barang-barang elektronik milik kakaknya yang sedang merantau. Yang teman-temannya tahu, ia bersekolah teknik.
Hal tersebut ia ,lakukan selama dua tahun. Baru saat kelas 3 SMK, karena lebih rajin belajar, Jemi berprestasi. Ia pun mewakili provinsi pada Lomba Keterampilan Siswa Nasional. Sejak itu, ia terbuka kepada teman-temannya. Kepercayaan dirinya pun meningkat.
Di samping itu, keahlian menjahitnya semakin terasah. Apalagi, sejak kelas 2 SMK, ia mulai menerima pesanan jahitan seperti pembuatan pakaian seragam.
Lulus dari SMK, pada 2009, ia diterima di Jurusan Tata Busana, Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, melalui tes pada jalur prestasi. Saat kuliah, ia sempat magang di distro. Sayangnya, tahun 2013, dia berhenti kuliah.
Awal 2014, jalan untuk meningkatkan keterampilan sekaligus berjejaring terbuka bagi Jemi. Ia mengikuti pelatihan selama dua bulan di Balai Diklat Industri Surabaya, Kemenperin. Di sana, ia mendapatkan banyak ilmu tentang jahit, khususnya garmen. Selepas itu, ia disalurkan ke salah satu perusahaan garmen di Kota Surakarta.
Jemi kemudian pindah bekerja ke Bandung, Jawa Barat, pada 2015. Suatu ketika, dia mendapatkan pelatihan di Balai Diklat Industri Jakarta. ”Di pelatihan ini, saya berkenalan dengan desainer-desainer. Saya juga jadi mengerti cara bekerja mereka. Meski hanya sebulan, saya mendapatkan ilmu penting serta jejaring,” katanya.
Sempat bekerja di salah satu butik di Depok, ia kemudian memutuskan tinggal di Semarang pada 2016 karena ibunya juga pindah ke ”Kota Lumpia” itu. Adapun, kakak-kakaknya sudah jauh lama tinggal di Semarang. Kemudian, ia sempat kembali merantau ke Bogor untuk bekerja pada seorang desainer, tetapi kemudian kembali ke Semarang dan bekerja di salah satu bridal.
Sejak 2016, Jemi sudah menemukan nama Saparo sebagai merek. Nama itu hasil penggabungan penggalan nama ibu, bapak, dan budenya yang ia telah banyak berjasa baginya. Sementara dalam bahasa timur saparo artinya separuh. Namun, kala itu ia belum tahu model usaha seperti apa yang mau ia jalankan.
Barulah pada 2018, saat tidak lagi bekerja pada orang lain, ia mulai memproduksi untuk merek Saparo. ”Saya akhirnya tahu apa yang mau saya buat. Tanpa disadari, saya memang dekat dengan limbah. Dari situ, saya terus merespons limbah (tekstil) untuk diproduksi. Produk kami berkonsep art and fashion,” ujar Jemi.
Inspirasi jalanan
Jemi mengatakan, sejak dulu, sumber inspirasi berkarya ialah jalanan. Saat di Malang, misalnya, ia sering menemui penjahit-penjahit di jalanan dan mengobrol dengan mereka. Menurut dia, banyak ilmu yang bisa diambil. Ia juga pernah menjadikan bahan jok motor tak terpakai untuk dibuatkan dua pasang sepatu.
Satu waktu, di Semarang, ia melihat seseorang dengan sepeda motor yang membawa tumpukan limbah tekstil. Jemi lalu membuntuti hingga ke rumahnya. Pengepul itulah yang menjadi mitranya hingga kini.
Baca juga: Afidha Fajar Adhitya, Keunikan Jam Tangan Kayu Eboni dari Klaten
Di Semarang, ia juga sering berkeliling dan mengobrol dengan sejumlah komunitas, salah satunya untuk mengambil semangat dan energi positif untuk berkarya. Dari situ, ia menyadari banyak orang hebat dan kreatif di kota tersebut, tetapi masih relatif kurang bersatu atau kurang adanya pergerakan.
”Semarang ini potensial, banyak orang hebat, tetapi sepertinya terlihat belum ada yang mengumpulkan sehingga akhirnya Semarang ini seperti hanya dilewati. Ini menjadi tantangan bersama,” ujarnya.
Dengan adanya Semarang Creative Hub, diresmikan 13 Maret 2021 lalu, ia berharap Kota Semarang bisa semakin dilirik.
Jemi menyadari, pasar produknya memang terbatas pada segmen tertentu. Namun, bisnis memang bukan tujuan utamanya. Dia ingin terus berkarya dan berkreasi, diilhami berbagai inspirasi. Ia pun selalu senang melayani serta mengobrol jika ada calon pembeli yang bertanya tentang produknya. Kendati demikian, saat ini ia sudah memiliki beberapa pembeli yang loyal.
Ke depan, ia berharap tempatnya berkarya dapat menjadi makerspace, artspace, atau studio desain. Bukan tak mungkin, tempat itu akan menjadi tempat berkumpul para anak muda dengan jiwa yang sama dengannya, baik dalam pengelolaan limbah maupun dalam berkarya.
Jemi Nikolaus Rahangiar
Lahir: Kei Kecil, Maluku Tenggara, 27 Desember 1991
Pendidikan:
- SMK Pariwisata St Theresia Langgur (lulus 2009)
- S-1 Pendidikan Tata Busana Universitas Negeri Malang (tidak selesai)
Pekerjaan: Pemilik usaha kerajinan berbahan limbah, Saparo
Penghargaan: Juara II Kategori Fashion, Indonesia Fashion and Craft Award (IFCA) 2020