Kecintaan Rosa Rika Wahyuni (38) pada dunia konservasi dan gajah sumatra telah tumbuh sejak masa kuliah. Cinta itu kian tumbuh saat dia menjadi dokter hewan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Aceh.
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
Kecintaan Rosa Rika Wahyuni (38) pada dunia konservasi dan gajah sumatera telah tumbuh sejak masa kuliah. Cinta itu kian tumbuh saat dia menjadi dokter hewan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh. Tidak terhitung lagi berapa ekor satwa yang telah ia rawat.
”Untuk merawat satwa, kita harus bermain dengan perasaan dan naluri sebab mereka tidak bisa bicara. Kitalah yang berusaha mengerti apa yang mereka rasakan,” ujar Rosa Rika Wahyuni di sela-sela kegiatannya merawat Inong, seekor anak gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis), Rabu (17/2/2021), di Pusat Konservasi Gajah Saree, Kabupaten Aceh Besar.
Inong adalah gajah berusia satu bulan yang ditemukan terjebak dalam kubangan di pedalaman Kabupaten Pidie. Gajah malang itu dirawat di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Saree karena kondisinya kritis. Rosa bersama anggota tim medis lain merawat gajah itu dengan penuh kasih sayang. ”Sepertinya dia haus, saya bikin susu dulu,” kata Rosa.
Rosa membuka mulut gajah itu dengan tangannya. Selang infus berisi susu formula dimasukkan ke dalam mulut gajah. ”Dia belum pandai minum pakai dot, makanya harus pakai selang infus,” ujarnya.
Rosa tampak sedih melihat kondisi gajah kecil itu. Seminggu terjebak dalam lumpur menyebabkan mata gajah itu buta, kaki lumpuh, dan bagian muka luka. Rosa mengelus muka gajah Inong. Elusan itu dibalas Inong dengan mengibaskan dua telinganya. ”Waktu dibawa ke sini, daun telinga kirinya tidak bergerak sama sekali, sekarang sudah bisa gerak,” tambah Rosa.
Gajah Inong sempat membaik, tetapi pada Rabu (3/3/2021), gajah itu mati. Rosa tak bisa menyembunyikan kesedihan. ”Kami sudah mengupayakan sekuat yang kami bisa. Kesehatannya menurun dan akhirnya Inong pergi,” ucap Rosa.
Karena cinta
Sejak remaja Rosa memang bercita-cita menjadi perawat. Itu sebabnya ia memilih bersekolah di Sekolah Perawatan Kesehatan Indonesia, setara sekolah menengah atas. Tamat dari sana, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Selama kuliah, Rosa aktif di organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Leuser. Kala itu, Rosa kerap menghabiskan waktu berkegiatan di hutan. Dia banyak belajar tentang konservasi, termasuk satwa yang dilindungi. Dari situ, perlahan rasa cinta pada lingkungan dan satwa tumbuh di hatinya. Rosa juga pernah menyelesaikan co-ass di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh.
Tahun 2010, Rosa resmi bekerja sebagai dokter hewan di BKSDA Aceh. Dia sangat bahagia karena akan kembali ke hutan dan berinteraksi dengan satwa-satwa lindung. Wilayah kerjanya satu provinsi, 23 kabupaten/kota. Rosa harus siap kapan saja ditugaskan ke lapangan. Lokasi yang didatangi adalah hutan belantara.
Terkadang dia mendapat perintah berangkat ke lapangan tengah malam. Tanpa pikir panjang, dia meraih ransel dan meluncur ke lapangan. Semakin sering terjadi konflik satwa, semakin sering Rosa berada di lapangan.
”Saya beruntung mendapat suami sangat pengertian. Suami mendukung penuh pekerjaan saya. Saat saya ke lapangan, dia yang mengurus rumah dan menjaga anak,” ujar Rosa.
Demi mendukung profesi Rosa, suaminya yang saat itu bekerja di perusahaan minyak dan gas di Riau memilih berhenti dan kini menjadi petani. Padahal, gaji suaminya jauh lebih besar daripada gaji Rosa dan hingga kini ia masih berstatus pegawai kontrak.
Rasa cinta Rosa pada gajah sumatera amat besar. Pernah suatu waktu Rosa bekerja dalam keadaan hamil tua. Sepekan menjelang masa melahirkan, Rosa baru mengajukan cuti. Meski dalam keadaan hamil, Rosa merasa kuat. Dia ikut mengevakuasi beruang di Bener Meriah dan mengotopsi gajah di Aceh Tengah. Rasa cinta pada satwa lindung memberikan kekuatan kepadanya.
Sebagai dokter hewan, Rosa memiliki tugas merawat gajah jinak di PKG Saree, merawat gajah liar yang sakit, dan melakukan otopsi bangkai gajah untuk mencari tahu penyebab kematian. Ia juga terlibat menangani satwa lindung lainnya.
Namun, saat merawat gajah, tidak jarang Rosa larut dalam perasaan. Karena terlalu sayang, saat gajah yang dia rawat mati, kesedihan berat kerap mendera, apalagi jika gajah yang mati itu dia rawat sejak bayi. Dia akan merasa seperti kehilangan seorang anak. ”Saat merawat bayi gajah, saya merasa sebagai ibu mereka,” ujar Rosa.
Kematian Inong menambah kesedihan bagi Rosa. Sebelumnya, anak gajah yang dirawat Rosa juga mati, di antaranya gajah Salma, gajah Rosa, dan gajah Agam. Anak gajah liar yang dievakuasi untuk dirawat memiliki harapan selamat relatif kecil. Pasalnya, anak gajah itu telah menyusu air susu induknya. Saat digantikan dengan susu formula, kebutuhan gizinya tidak tercukupi.
Anak gajah juga mudah stres sehingga menurunkan imunitas tubuhnya. Ujung-ujungnya, anak gajah itu jatuh sakit. Selain itu, tidak ada yang bisa menggantikan sentuhan dan perlindungan sang induk.
Konflik gajah di Aceh cukup masif dan tingkat kematian yang diakibatkannya tergolong tinggi. Berdasarkan data BKSDA Aceh, sejak 2016 hingga 2020, jumlah gajah yang mati 42 ekor. Penyebab kematiannya 57 persen karena konflik, 33 persen mati alami, dan 10 persen karena perburuan. Diperkirakan populasi gajah di Aceh tersisa 539 ekor dan tersebar di 15 kabupaten/kota.
Rosa khawatir perusakan habitat, perburuan, dan perdagangan satwa lindung memicu kematian gajah sumatera. Rosa mengajak semua pihak untuk terlibat melindungi gajah sumatera.
Rosa Rika Wahyuni
Lahir: Aceh Besar, 22 Januari 1983
Suami: Zaharuddin
Pendidikan: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Penghargaan: Dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta dari Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem