Radyum Ikono menyediakan dirinya sebagai teman para pemburu beasiswa di luar negeri. Lewat komunitas dan usaha rintisannya, ia membantu banyak orang agar bisa lolos seleksi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
Radyum Ikono (32) pernah meraih 10 beasiswa kuliah ataupun kursus di luar negeri. Ia ingin anak muda di Indonesia bisa meraih kesempatan yang sama. Ia pun mendirikan komunitas dan layanan digital untuk membantu pelajar dan mahasiswa Indonesia berburu beasiswa.
Pria yang biasa disapa Ikono itu melihat anak muda Indonesia yang belajar di luar negeri masih sedikit dibandingkan dengan Vietnam dan Malaysia. ”Sayang sekali. Anak-anak Indonesia yang punya potensi, seperti di Indonesia timur (tidak mencari peluang beasiswa di luar negeri),” ujar Ikono, Jumat (26/2/2021), dari Depok, Jawa Barat.
Menurut Ikono, kesempatan kuliah di luar negeri akan memberikan pengalaman hidup yang penting bagi kaum muda Indonesia. Ia merasakannya sendiri setelah 11 tahun tinggal di luar negeri, sebagian besar untuk kuliah. Matanya menjadi lebih terbuka mengapa sebuah negara bisa maju.
Selama ini, ia melihat banyak anak muda yang potensial, tetapi minder untuk bersaing meraih beasiswa. ”Saya sering mengadakan seminar di daerah, seperti NTB dan Makassar. Saya tanya siapa yang yakin bisa kuliah ke luar negeri? Tidak ada yang angkat tangan. Ada ras tidak percaya diri. Kalaupun merasa bisa, tidak tahu caranya,” ujarnya.
Rasa prihatin itu mendorong Ikono untuk membangkitkan rasa percaya diri anak muda Indonesia agar ikut berburu peluang beasiswa di luar negeri. Ia makin termotivasi ketika seorang temannya datang ke rumah untuk bertanya cara menembus beasiswa di Jerman. Ikono dengan senang hati menjawab pertanyaan sang teman, bahkan membimbingnya selama tiga bulan. Hasilnya, sang teman berhasil menyabet beasiswa S-2 di Jerman. Kini, ia sudah menjadi doktor dan peneliti di Jerman.
Saya selalu bersemangat untuk berbagi dan kasih masukan, mulai dari cara menulis essay sampai motivation letter.
”Saya selalu bersemangat untuk berbagi dan kasih masukan, mulai dari cara menulis essay sampai motivation letter. Jangan pilih kampus ini, ke situ saja supaya prospek diterima lebih bagus. Rasanya bahagia dan puas melihat teman saya lolos,” katanya.
Sahabat beasiswa
Agar semakin banyak anak muda yang bisa dibantu untuk mengejar beasiswa, Ikono menggagas Komunitas Sahabat Beasiswa pada 2013. Lewat media sosial milik komunitas, ia mencoba meyakinkan anak muda bahwa berburu beasiswa dan kuliah di luar negeri tidak sesusah yang dibayangkan. Yang diperlukan hanya keuletan dan kesabaran.
Ikono menceritakan, dirinya pernah tujuh kali mencoba meraih peluang beasiswa di Eropa dan Amerika, tetapi gagal. Ia mencoba lagi berburu beasiswa yang lain dan akhirnya tembus di Jepang. Setelah itu, ia mengaku meraih 10 beasiswa kuliah pascasarjana ataupun kursus singkat di Italia, Belanda, dan Jerman.
Kegiatan Komunitas Sahabat Beasiswa cukup kencang. Hingga 2019, komunitas itu sudah ada di 50 kota di semua provinsi di Indonesia. Komunitas memberikan informasi beasiswa, pelatihan untuk menghadapi seleksi penerimaan beasiswa, dan lain sebagainya.
”Tiap pekan ada kegiatan, sampai mengundang anak-anak yang pernah kuliah di luar negeri. Saya yakin komunitas Sahabat Beasiswa ada dampaknya untuk membuat anak-anak muda berani bermimpi bisa dapat beasiswa kuliah di luar negeri,” ujar Ikono yang menekuni teknologi nano.
Akan tetapi, ada satu hal yang membuat ia galau. Pernah Sahabat Beasiswa membuat kelas IELTS gratis dengan mendatangkan pengajar berkualitas yang bersedia dibayar murah. Awalnya ada 20 peserta yang hadir pada pertemuan pertama. Selanjutnya tinggal tiga orang. ”Saya pusing. Dikasih gratisan, kok, komitmennya tidak kuat. Bagaimana mau punya dampak masif kalau begitu,” kata Ikono.
Ia juga melihat kelemahan lain pada komunitas Sahabat Beasiswa yang mengandalkan sukarelawan. Hal itu berarti kegiatan komunitas bergantung pada sisa waktu yang dimiliki sukarelawan sehingga kegiatannya tidak bisa selalu kencang.
Untuk mengatasi hal itu, Ikono bersama dua temannya yang juga giat di Sahabat Beasiswa, M Aziz dan Rahmatri Mardiko, mendirikan Schoters alias Scholarship Hunters pada 2018. Usaha rintisan berkonsep kewirausahaan sosial ini dirancang sebagai platform untuk membantu orang-orang yang mau belajar ke luar negeri, baik dengan beasiswa maupun biaya sendiri. Layanannya mulai dari bimbingan bahasa untuk IELT/TOEFL, mendaftar ke kampus, sampai pengurusan visa dan tiket pesawat. Bagi pemburu beasiswa, ada bimbingan untuk simulasi wawancara, memahami pertanyaan saat tes dan cara menjawabnya.
Saat ini ada sekitar 400.000 pengguna yang terdaftar di Schoters. Sebanyak 10.000 merupakan pengguna berbayar. Schoters punya target jangka panjang, yakni bisa melayani hingga 100 negara. ”Saya tadinya berpikir polos, berdosa edukasi dibuat komersial. Tapi, saya dapat masukan, kalau mau kencang berbuat sesuatu yang berdampak, aspek sosial dan bisnis digabungkan menjadi social enterprise,” kata Ikono.
Ia tetap mempertahankan Sahabat Beasiswa dan memberikan informasi dan kegiatan gratis kepada anggotanya.
Radyum Ikono
Lahir: Jakarta, 24 Desember 1988
Pendidikan:
S-1 Material Science and Engineering di Nanyang Technological University, Singapura (2006-2010)
S-2 Material Engineering di University of Tsukuba, Jepang (2010-2012)
S-3 Bisnis Manajemen di Institut Pertanian Bogor (2014-2019)
S-3 Biomedical Science, joint program di Matsumoto Dental University dan University of Tokyo, Jepang (2015-2020)
Pekerjaan:
Co-Founder dan CEO Schoters (2018-sekarang)
Co-Founder & Advisor Nano Venture (2013-sekarang)
Asisten Profesor di Universitas Teknologi Sumbawa (2013-sekarang)
Pendiri Sahabat Beasiswa (2013-sekarang)
Peneliti Muda di National Institute for Material Science di Universitas Tsukuba, Jepang
Prestasi, antara lain:
Pemilik 5 paten teknologi dan penulis 20 artikel jurnal internasional dan nasional
Membawa Schoters menjadi juara 1 di DSlaunchpad Accelerator 2020 dan juara 2 di Techinasia Pitch Night 2020