Berkat kegigihan Wasito beserta mahasiswa dan sukarelawan, pesisir Kendal memiliki perisai berupa jajaran hutan mangrove yang bisa mencegah bencana abrasi dan lingkungan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Gersangnya wilayah pesisir di Kendal, Jawa Tengah, pada pertengahan 2000-an, mendorong Wasito (47) bergerak. Ia mulai menanam mangrove di pantai terdekat dari rumahnya. Lalu berkolaborasi dengan mahasiswa untuk menjangkau pantai-pantai lain di Kendal. Buah upaya mereka kini menjadi perisai alami dari potensi bencana di pesisir.
Wasito sebenarnya pendatang dari Demak. Ia datang ke Kendal pada 1999 lantaran bekerja di tambak perusahaan udang. Belakangan ia bertemu jodohnya, Sulistianingsih, di Kendal. Mereka menikah tahun 2002 dan tinggal di Desa Kartikajaya, Kecamatan Patebon, Kendal, hingga sekarang.
Bertahun-tahun tinggal di Patebon, Wasito melihat pantai di sana gersang. Tak ada gerakan penghijauan sama sekali. Ia tidak ingin pantai Kendal bernasib sama seperti pantai lain di sejumlah titik di Kecamatan Sayung, Demak, yang tenggelam disapu air laut lantaran permukaan tanahnya terus turun. Ia pun mulai menanam dan merawat mangrove pada 2006.
”Saat itu, sebenarnya mangrove sudah ada di bantaran tambak, tetapi saya ingin tanaman itu ada di dekat garis pantai. Kalau di tambak saja, apakah kita akan menunggu abrasi sampai situ?” ujar Wasito, Sabtu (20/2/2021).
Wasito yang bekerja di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Demak sejak 2003 memilih tetap tinggal di Kendal agar bisa mengurus mangrove. Sampai sekarang, setiap hari ia menempuh perjalanan sekitar 70 kilometer, Kendal-Demak, dengan sepeda motornya.
Seiring waktu, Wasito mulai mengajak keluarga dan warga sekitar ikut menanam mangrove dalam skala kecil. Awalnya, warga tidak tertarik dan malah bertanya, ”Untuk apa menanam di sekitar pantai?” Keluarganya juga protes lantaran Wasito terlalu sibuk mengurus mangrove. Bahkan di akhir pekan pun ia memilih berjibaku dengan mangrove daripada jalan-jalan dengan keluarganya.
Wasito dengan sabar menjelaskan bahwa keberadaan mangrove penting untuk menjaga garis pantai agar tidak mundur ditelan abrasi. Penjelasannya itu bisa diterima keluarganya dan sebagian kecil warga Desa Kartikajaya yang biasa beraktivitas di pantai atau berkultur pesisir. Desa Kartikajaya kebetulan adalah daerah yang diperuntukkan bagi permukiman prajurit TNI AD yang memasuki masa purnatugas sejak 1970-an. Wasito mencoba menumbuhkan semangat konservasi di sana.
Kegigihan Wasito akhirnya menarik sejumlah sukarelawan dan tetangga. Ia juga akhirnya bisa bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Kelautan Perikanan Kendal untuk menanam 5.000-10.000 bibit mangrove. Bibitnya ada yang beli, ada yang diusahakan sendiri.
Berkat dorongan Wasito, kesadaran warga akan pentingnya konservasi tumbuh pada 2009. Warga sukarela menanam mangrove, termasuk di depan rumah. Mereka terdorong lantaran saban musim hujan, genting-genting rumah habis tersapu angin. Apalagi, dalam siklus dua tahunan, laut pasang membuat rumah terendam.
Ketika sedang senang-senangnya mengurus mangrove, ia justru ditipu seseorang dari luar kota. Sang penipu memesan 20.000 bibit mangrove dengan harga Rp 800 per bibit kepada Wasito. Kebetulan sejak 2006, Wasito merintis usaha pembibitan mangrove untuk memenuhi kebutuhan konservasi. Bibit-bibit itu sudah diberikan, bahkan sudah ditanam. Namun, hingga detik ini belum dibayar.
Sejak saat itu, ia kapok menjalankan usaha pembibitan. ”Saya mending mencari profagul (buah mangrove yang sudah berkecambah). Untuk polybag kami minta atau kerja sama dengan dinas,” kata Wasito.
Kolaborasi
Selain dengan warga dan dinas, Wasito juga bekerja sama dengan Ikatan Mahasiswa Kendal (Imaken) yang beranggotakan para mahasiswa asal Kendal dari sejumlah perguruan tinggi. Bersama Imaken dan sukarelawan lain, pantai yang bisa ditanami mangrove makin meluas. Sedikitnya ada 12 titik sepanjang pesisir Kendal yang mereka tanami mangrove, mulai ujung timur Kecamatan Kaliwungu, lalu ke barat, yakni Brangsong, Patebon, Cepiring, Kangkung, dan Rowosari.
Seingat Wasito, luas pesisir yang telah ditanami mangrove sekitar 30 hektar. Ia hanya hafal di dua titik, yakni Patebon dan Wonosari. ”Lainnya kami tidak hitung. Intinya, kami melakukan konservasi. Mana yang kritis, kami tanami. Kami memantau terus. Untuk bakau, tingginya rata-rata sudah di atas 7 meter,” ujar Wasito yang juga bekerja sama dengan dengan Lindungi Hutan sejak 2017.
Jenis mangrove yang mereka tanam antara lain Rhizophora (bakau), Avicennia (api-api), Bruguiera (tancang), dan Casuarina equisetifolia (cemara laut). Ada juga jenis lain, salah satunya Acanthus ilicifolius (jeruju). Hampir setiap akhir pekan atau liburan, Wasito mengecek kondisi pesisir di sekitar rumahnya. Apabila ditemukan daerah yang bolong atau kritis, ia menggerakkan orang agar menanam mangrove di sana.
Selain terjaga dari abrasi, pantai-pantai di Kendal yang telah ditanami mangrove kini teduh sehingga mampu mengundang aneka burung untuk datang. Warga yang ingin melepas penat juga mulai berdatangan ke pantai-pantai itu. Wasito tidak keberatan jika warga di daerah pesisir ingin menjadikan kawasan mangrove di desanya sebagai tempat wisata. Menurut dia, sejak awal ia hanya berniat konservasi. Baginya, berdampak positif bagi orang lain saja sudah cukup membuatnya senang.
Gerakan konservasi mangrove di Kendal yang diinisiasi Wastio dihargai banyak pihak. Pada 2015, misalnya, Wasito mendapatkan Bupati Kendal Award Kategori Pegiat Lingkungan Hidup. Tahun 2020, ia dianugerahi Kalpataru oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namanya diajukan untuk penghargaan ini oleh Imaken.
Selain penghargaan, ia juga direkrut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kendal menjadi fasilitator daerah pada sekolah laut tahun 2018. Setahun kemudian, ia ditunjuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjadi fasilitator nasional. Ia telah bertugas antara lain di Banyuwangi (Jawa Timur), Lhokseumawe (Aceh), dan Pangkal Pinang (Bangka Belitung).
Sebagai fasilitator nasional, Wasito kadang merasa lantaran pendidikannya hanya sampai SMP. Padahal ia harus memberikan pemahaman soal pengurangan risiko bencana kepada masyarakat yang beberapa di antaranya adalah akademisi. Namun, demi gerakan konservasi, ia jalan terus.
Keberhasilannya menghijaukan pesisir pantai Kendal belum membuatnya tenang. Ia sekarang menyimpan kekhwatiran setelah mendengar kabar pesisir Kendal sepanjang 15 kilometer, dari Kaliwungu hingga Patebon, akan menjadi bagian dari area proyek kawasan industri. Apabila itu mesti terjadi terjadi, ia berharap dibangun sabuk hijau guna menangkap emisi polutan yang dihasilkan oleh industri.
Wasito
Lahir: Demak, 4 Mei 1973
Istri: Sulistianingsih
Anak: 2
Pendidikan: SMP PGRI Demak (lulus 1988)
Pekerjaan: Staf Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kabupaten Demak
Pendidikan:
- SMP PGRI Demak (lulus 1988)
Organisasi:
Pusat Pemberdayaan dan Pelayanan Masyarakat Pesisir Kabupaten Kendal (2008-sekarang)
Anggota Forum Daerah Aliran Sungai Bodri (2019-sekarang)