Diah Widuretno Mendirikan Sekolah Pagesangan untuk Masyarakat Berdaya
Diah Widuretno menginisiasi Sekolah Pagesangan yang mempraktikkan pendidikan kontekstual agar warga berdaya dengan potensi desanya.
Gelisah melihat pendidikan formal yang menjauhkan anak-anak muda dari desa, Diah Widuretno (43) menginisiasi Sekolah Pagesangan di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui sekolah itu, Diah bersama warga setempat mempraktikkan pendidikan kontekstual yang mendorong masyarakat menjadi berdaya dengan potensi desanya.
Sekolah Pagesangan bukan lembaga pendidikan formal, melainkan merupakan komunitas yang menjalankan aktivitas pembelajaran dengan model pendidikan kontekstual. Dalam pendidikan kontekstual, proses pembelajaran dilakukan sesuai konteks kehidupan sehari-hari para partisipannya.
Itulah kenapa komunitas tersebut dinamai Sekolah Pagesangan. Dalam bahasa Jawa, kata pagesangan berarti kehidupan sehingga Sekolah Pagesangan bisa dimaknai sebagai sekolah kehidupan.
Sekolah Pagesangan diinisiasi Diah Widuretno sejak akhir tahun 2008 di Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Gunung Kidul. Berbeda dengan sekolah formal, proses pendidikan Sekolah Pagesangan tak berlangsung di ruang kelas yang tertutup dan para peserta didik juga tak memakai seragam.
Menurut Diah, inisiatif membuat Sekolah Pagesangan berawal dari kegelisahan melihat praktik pendidikan formal yang terputus atau tak nyambung dengan realitas kehidupan.
”Pendidikan formal itu hanya di awang-awang dan tidak mengakar pada kehidupan orang-orang yang ikut dalam proses pendidikan itu sendiri,” ungkap Diah yang diwawancara pada Jumat (19/2/2021).
Dampak dari keterputusan pendidikan formal dengan realitas kehidupan itu terlihat jelas di sejumlah wilayah Gunung Kidul, termasuk Dusun Wintaos. Diah menyebut, pendidikan formal yang dijalani anak-anak Wintaos justru menjauhkan mereka dari kehidupan di desa.
”Sekolah formal itu menjadi salah satu pendorong untuk menjauhkan mereka dari desa. Rata-rata anak yang lulus sekolah formal itu kemudian menjadi buruh migran di perkotaan. Ini karena sekolah formal membuat mereka mendefinisikan kesejahteraan itu ada di kota,” ujar Diah.
Kondisi itulah yang mendorong Diah menginisiasi Sekolah Pagesangan. Berbeda dengan sekolah formal yang kurikulumnya sudah diatur secara ketat, pembelajaran di Sekolah Pagesangan justru berangkat dari persoalan yang sehari-hari dihadapi warga. Itulah kenapa, Sekolah Pagesangan memilih pertanian atau pangan sebagai fokus utama pembelajaran.
Hal ini karena sebagian besar warga Wintaos memang bekerja sebagai petani. Seperti banyak wilayah di Gunung Kidul, Wintaos memang tergolong sebagai daerah gersang yang sulit air karena struktur tanahnya terdiri dari batuan karst. Meski begitu, sejak dulu, masyarakat dusun itu telah memiliki sistem pangan yang bisa beradaptasi dengan kondisi tersebut.
Diah mengatakan, warga Dusun Wintaos menjalankan pertanian tadah hujan yang mengandalkan air hujan sebagai sumber pengairan. Selain itu, mereka menerapkan sistem tumpangsari, yakni menanam beragam jenis tanaman dalam satu lahan.
”Selain padi, warga juga menanam ketela, singkong, jagung, dan kacang-kacangan. Kacang-kacangannya juga tidak hanya kacang tanah, tapi juga kacang panjang, kacang hijau, kacang koro, dan sebagainya,” tuturnya.
Sebagian besar hasil pertanian warga Wintaos itu tidak dijual, tetapi dikonsumsi sendiri. Agar bisa bertahan lama, beberapa bahan pangan itu akan disimpan dan diawetkan dengan cara tertentu.
Pendidikan formal itu hanya di awang-awang dan tidak mengakar pada kehidupan orang-orang yang ikut dalam proses pendidikan itu sendiri. (Diah Widuretno)
Partisipatif
Sistem pangan dan pertanian di Dusun Wintaos yang unik itulah yang coba dijaga keberlanjutannya melalui Sekolah Pagesangan. Melalui kelompok belajar yang partisipatif, Sekolah Pagesangan mengajak anak-anak Wintaos untuk mengenali dan memanfaatkan potensi pangan yang ada di dusun mereka.
Sekolah Pagesangan juga mengajak remaja dan warga dewasa di Wintaos untuk bersama-sama belajar mengenai pertanian dan pengolahan pangan. Saat ini, ada beberapa olahan pangan yang telah diproduksi warga dusun itu, misalnya tepung mocaf, tepung gaplek, tiwul instan, keripik singkong, kerupuk singkong, sale pisang, tempe koro, dan lainnya.
Berbagai produk olahan itu kemudian dipasarkan ke luar Wintaos melalui berbagai sarana, termasuk media sosial. Dengan berbagai aktivitas itu, Sekolah Pagesangan hendak mendorong warga di Wintaos menjadi berdaya dengan memanfaatkan potensi yang ada di desanya. Oleh karena itu, warga tidak perlu merantau ke kota untuk sejahtera.
Diah menyatakan, pembelajaran di Sekolah Pagesangan dilakukan secara partisipatif. Oleh karena itu, tidak ada guru dan murid dalam proses pembelajarannya. Dalam aktivitas belajar di Sekolah Pagesangan, Diah dan sejumlah sukarelawan memosisikan diri sebagai fasilitator atau teman belajar.
”Ketika ingin bikin kurikulum atau materi belajar, warga ditanya butuh apa atau mau belajar apa. Jadi, saya tidak menjadi Sinterklas yang memberikan jawaban atas semua persoalan. Saya hanya menjadi teman berpikir untuk mendefinisikan ulang apa persoalan dan kebutuhan mereka,” tutur Diah.
Saat ini, aktivitas Sekolah Pagesangan diikuti sekitar 40 anak-anak serta 60 remaja dan warga dewasa. Selain Diah, ada beberapa sukarelawan dari luar Wintaos yang membantu kegiatan sekolah itu. Para sukarelawan itu berasal dari sejumlah kota, misalnya Yogyakarta dan Jakarta.
Sejak mahasiswa
Meski bertahun-tahun berproses di Gunung Kidul, Diah tidak berasal dari wilayah itu. Diah lahir di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, dan menempuh pendidikan di Jurusan Biologi Institut Pertanian Bogor (IPB), sekarang IPB University. Sejak mahasiswa, Diah telah memiliki kegelisahan ihwal pendidikan formal.
Pada 1998, saat masih kuliah di IPB, Diah kerap melihat anak-anak putus sekolah yang bekerja sebagai pengojek payung dan penjual gorengan di sekitar kampusnya. Berawal dari pengamatan itu, Diah lalu menggelar kegiatan pembelajaran untuk anak-anak yang bekerja sebagai pengojek payung dan penjual gorengan di Bogor, Jawa Barat.
Menurut Diah, aktivitas pembelajaran itu sempat diikuti 20-30 anak dengan rentang usia 7-11 tahun. Sebagian dari mereka telah putus sekolah karena orangtuanya tidak memiliki uang untuk membiayai. Karena dilaksanakan secara informal, kegiatan belajar itu tidak dilangsungkan di satu tempat khusus.
”Tempatnya di mana saja, misal di kos-kosan saya. Kadang saya ajak mereka kampus, lalu kalau ada kelas yang kosong, kami duduki saja untuk belajar,” tutur Diah yang kini tinggal di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Aktivitas belajar bersama anak-anak pengojek payung dan penjual gorengan itu sempat berlangsung selama sekitar dua tahun. Setelah itu, kegiatan belajar tersebut terpaksa terhenti karena Diah memiliki banyak kesibukan lain. Meski begitu, kegelisahan Diah mengenai pendidikan tak berhenti begitu saja.
Pada 2000, Diah bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat bernama Rimbawan Muda Indonesia (RMI). Saat bergabung dengan RMI, Diah memiliki kesempatan untuk berkenalan dengan masyarakat di desa-desa di Kabupaten Bogor. Perkenalan itulah yang kemudian mendorong Diah membuat sekolah terbuka di sebuah desa di dekat kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Baca juga : Muhammad Slamet, Bersama Merawat Kawasan Hulu Brantas
Menurut Diah, sekolah terbuka itu dibuat karena banyak anak-anak setempat yang tak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Hal ini karena kampung tempat mereka tinggal berlokasi cukup jauh dari SMP terdekat, sementara kondisi jalan di wilayah itu tak memadai.
”Jaraknya mungkin hanya 7-10 kilometer, tapi mereka harus keluar masuk hutan. Jalannya enggak diaspal dan kadang longsor kalau pas hujan,” ungkapnya.
Aktivitas sekolah terbuka itu berlangsung sampai akhir tahun 2002. Kegiatan tersebut terpaksa terhenti karena Diah pindah ke Yogyakarta pada 2003 setelah menikah.
”Meski saya pindah ke Yogyakarta, kegelisahan saya tentang pendidikan itu masih berlanjut. Saya merasa ada pekerjaan yang belum selesai,” ujarnya.
Selama beberapa tahun awal di Yogyakarta, Diah aktif dalam sejumlah aktivitas sosial dan penelitian. Pada 2006, dia terlibat dalam penelitian mengenai anak-anak putus sekolah di Gunung Kidul yang dijalankan oleh sebuah lembaga internasional. Keterlibatan dalam penelitian itulah yang membuat Diah memahami persoalan di desa-desa Gunung Kidul.
Sesudah itu, pada 2008, Diah dikenalkan oleh temannya dengan masyarakat Dusun Wintaos. Perkenalan itulah yang membuat Diah akhirnya menginisiasi Sekolah Pagesangan hingga sekarang.
Diah Widuretno
Umur: 43 Tahun
Pendidikan terakhir: Jurusan Biologi Institut Pertanian Bogor
Aktivitas: Inisiator Sekolah Pagesangan, Gunung Kidul