Jejak Alit Maryono sebagai seniman tari terbentang panjang sejak 1960-an hingga tahun 2000. Hingga kini, setelah pensiun dari dunia tari, ia masih jadi tempat orang bertanya tentang seni tari yang tumbuh di Magelang.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Kecintaan dan dedikasi Alit Maryono (76) pada seni tari tidak perlu diragukan. Ia bergelut dengan dunia tari sejak bocah hingga ia memasuki usia pensiun. Ia menciptakan tari Mahesa Jenar Simolodra yang menjadi tarian khas dari Magelang, Jawa Tengah.
Tari Mahesa Jenar Simolodra terinsipirasi oleh kisah Mahesa Jenar, tokoh utama dalam dari cerita Nagasasra dan Sabuk Inten karya SH Mintardja yang populer tahun 1960. Tarian yang diciptakan Alit saat ia duduk di bangku SMA itu memberikan kebanggaan pada warga Magelang, Jawa Tengah, antara lain karena dipentaskan dalam pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-7 di Surabaya tahun 1969.
Sepanjang perjalanan menjadi aparatur sipil negara (ASN) di perwakilan kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di Kota Magelang sejak 1966 hingga pensiun pada 2000, atas inisiatifnya sendiri, dia mempelajari, mengkaji sedikitnya 10 naskah kuno terkait sejarah Magelang pada masa lampau. Semua hasil kajian tersebut kemudian dituangkannya dalam bentuk sendratari, antara lain sendratari Mantyasih. Beberapa sendratari kreasinya sering kali dipentaskan di acara peringatan hari ulang tahun Kota Magelang.
Selain menciptakan tarian, Alit berupaya menularkan kecintaannya pada seni tari melalui sanggar tari. Ia mendirikan dua sanggar puluhan tahun lalu. Salah satunya, yakni Sanggar Pitaloka yang dirintis sekitar 33 tahun yang lalu, masih berdiri hingga sekarang. Anggotanya saat ini 50-an orang.
Sepak terjangnya secara langsung di bidang kesenian sebenarnya sudah berakhir tahun 2000 ketika ia pensiun sebagai ASN. Meski begitu, masih banyak orang yang menginginkan dia tetap terlibat menggarap kesenian. Tahun 2020, misalnya, ia masih diminta terlibat dalam pentas massal Kuntulan untuk memperingati 100 tahun berdirinya menara air atau water toren yang dibangun Belanda pada 1920. Sayangnya pentas dibatalkan akibat pandemi Covid-19.
Hingga sekarang ia masih dikunjungi orang-orang yang sekadar ingin bersilaturahmi, berdiskusi tentang seni tari, hingga menjadikannya narasumber penelitian. Ia dengan sabar melayani mereka. Bahkan, ia bersedia meminjamkan arsip hasil studinya tentang naskah-naskah kuno.
”Untuk kebutuhan (riset) para mahasiswa, banyak hasil studi saya kemudian hilang karena dipinjam dan tidak pernah dikembalikan,” cerita Alit diikuti tawa saat ditemui Minggu (31/1/2021) lalu. Meski begitu, Alit tak mau mempersoalkan hal itu. Baginya membagi ilmu lebih utama.
”Walaupun secara fisik sudah tidak sanggup menari, saya tetap terbuka untuk mendiskusikan segala sesuatu terkait kesenian,” ujar warga Kelurahan Kramat Selatan, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang itu, untuk meneguhkan komitmennya.
Jejak panjang
Perkenalan Alit dengan dunia seni tari dimulai tahun 1952 saat duduk di bangku Kelas III SD di Kabupaten Wonosobo, Jateng. Anak seorang polisi ini awalnya belajar tari dari Bambang Tetuko Sewoko yang saat itu diperbantukan untuk mengajar seni tari pada anak-anak di asrama polisi. Adapun, Bambang belajar menari dari Keraton Mangkunegaran Surakarta.
Dari gurunya inilah Alit belajar beragam tari Jawa, antara lain tari Handaga Bugis, Bambangan Cakil, Anoman Anggada. Seiring waktu, ia dipercaya mengisi pentas mulai di sekolah, hotel, hingga di sebuah acara penyambutan Perdana Menteri Malaysia di Kabupaten Wonosobo. Ia juga beberapa kali tampil di pentas wayang orang.
Tahun 1962, Alit pindah ke Kota Magelang mengikuti ayahnya yang berpindah tugas. Di kota ini, aktivitasnya menari terus berkembang. Ia mulai diminta mengajari tari anak-anak di lingkungan sekitarnya. Permintaan itu ia sambut dengan membentuk Sanggar Mardi Bekso. Ada 20 anak yang bergabung di sanggar saat itu. Mereka belajar tari klasik jawa dan wayang secara gratis.
Di sela-sela kegiatan melatih tari, ia mulai menciptakan tarian sendiri. Hasilnya, lahirlah tari Mahesa Jenar Simolodra yang belakangan banyak dipentaskan di berbagai acara. Nama Alit yang saat itu masih siswa SMA mulai melambung.
Sebagai berkahnya, tahun 1966, ia mendapat tawaran untuk bekerja di kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di Kota Magelang. ”Tanpa harus melalui tes ataupun seleksi apa pun, saya langsung diterima dan diangkat sebagai ASN,” ujarnya.Tahun 1962, mengikuti ayahnya yang berpindah tugas, keluarga Alit pun pindah ke Kota Magelang.
”Tanpa harus melalui tes ataupun seleksi apa pun, saya langsung diterima dan diangkat sebagai ASN.” ujarnya.
Bekerja di kantor sebagai ASN, Alit pun semakin banyak mematangkan kiprahnya bergerak di kesenian. Ia bisa mendampingi sekolah-sekolah untuk mengembangkan seni tari sebagai kegiatan ektrakurikuler. Ia juga punya akses mempelajari banyak naskah dan dokumen kuno terkait Magelang untuk dikembangkan menjadi sendratari.
Ia bertemu dengan sejumlah pakar, seniman, dan warga yang menjadi tetua di kampung-kampung. Semua hasil pembelajaran tersebut didokumentasikannya sendiri.
Di luar itu, ia berkesempatan mengikuti program pelatihan tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Semua kegiatan pembelajaran tersebut dijalaninya dengan sungguh-sungguh sehingga dia pun memiliki relasi baik dengan semua dosen pengajarnya.
Selama menjadi ASN, dia sering diminta aktif berpartisipasi dalam pentas untuk kebutuhan lomba-lomba, misi kesenian dan festival. Tahun 1967, untuk kebutuhan misi kesenian Jawa Tengah, dia pun merekrut anak-anak sekolah yang sempat dilatihnya, untuk bergabung membentuk sanggar tari Alit Sana Budaya.
Kesibukannya membentuk sanggar terus berlanjut. Tahun 1988, bersama dua seniman tari di Kota Magelang, dia membantu mendirikan Sanggar Pitaloka yang masih terus bertahan hingga kini. Dengan menampilkan sendratari Pitaloka, sanggar ini meraih juara II dalam sebuah misi kesenian Jawa Tengah.
Sembari menjalankan kesibukannya sebagai ASN, Alit juga terus menjalin komunikasi dan relasi baik dengan semua mantan murid serta dosen-dosen pengajar di ISI, tempat dirinya pernah belajar tari. Puluhan murid yang dinilainya berbakat, kemudian juga dibantunya untuk masuk untuk belajar tari di ISI.
Sepak terjangnya di dunia tari sejak era 1960-an itu meninggalkan jejak panjang dan kebanggan terutama pada warga Magelang. Kini pada usianya yang makin sepuh, ia menekuni metode terapi Waskita Reiki dan mendirikan klinik di rumahnya. memegang salah satu penghargaan yang dimilikinya.
Alit Maryono
Lahir: Sungaipenuh, Jambi, 7 Oktober 1944
Istri: Mustikawati (74)
Anak:
Arita Mustikasari (51)
Bekti Puspasari (49)
Cahya Indrasari (47)
Dyah Ayudyaning Kartikasari (43)
Pendidikan terakhir: SMA Negeri 1 Magelang
Penghargaan:
Penghargaan atas dedikasi di dunia kesenian dari Pusat Kesenian Jawa Tengah (2020)