George Burns mengatakan, orang tidak bisa tidak menjadi tua, tetapi orang tidak harus menjadi tua. Perkataan itu tampaknya melekat pada Wisdariman (66). Di usia yang tak lagi muda, ia masih punya semangat untuk menari.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Bagi Wisdariman, menari bukan hanya soal ritme gerakan, apalagi sekadar tontonan. Menari itu ia nilai sebagai upaya untuk melestarikan keberagaman yang ditanam nenek moyang bangsa Indonesia.
Pada Selasa (9/9/2021) pagi, Wisdariman (66) masih sibuk di kebunnya. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak yang sudah kusam dengan kaus hitam di dalamnya, celana panjang kain dengan beberapa tambalan di sana-sini dan jejak cipratan lumpur di bagian bawahnya. Pagi itu, ia menyirami beberapa tanaman sayuran dan buah naga yang ia tanam.
Tubuhnya yang mungil masih kuat menahan berat ember berisi air. Terlihat keringat menetes di antara urat-urat yang menegang di balik kulitnya. Ia langsung melempar senyum kepada siapa saja yang datang mengunjunginya. Ia lalu duduk di tempat duduk dari kayu yang ia buat sendiri di bawah pepohonan rindang.
Ia gemar sekali menanam. Kebunnya penuh dengan tanaman hingga pohon-pohon keras. Beberapa tanaman, seperti orang Dayak pada umumnya, sengaja ditanam untuk memenuhi kebutuhan dapur agar asap terus mengepul. Ia dengan lincah menunjukkan beberapa jenis daun yang biasa ia gunakan untuk bumbu. Semuanya alami.
Aktivitas itu ia lakukan selama pandemi Covid-19. Ia lebih sering menengok kebunnya, tetapi tak lupa mengurus sanggar tarinya. Ia hanya tak mau istirahat, harus selalu ada yang dikerjakan.
Pria yang lahir di sebuah desa di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, itu sudah puluhan tahun tinggal di Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalteng. Ia tinggal di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Palangkaraya.
Sebelum menjadi kelurahan saat ini, ia mengingat kembali momen 48 tahun yang lalu saat desa kecil yang masih merupakan hutan lebat itu dijadikan pemerintah sebagai lokasi transmigrasi. Saat para transmigran datang dan menempati rumah-rumah yang disediakan, Wisdariman diminta pemerintah saat itu untuk menyiapkan sebuah pertunjukan musik dan tari.
Di kampung itu, hanya Wisdariman dan keluarganya yang bisa membuat pertunjukan. Belum ada sanggar seperti sekarang ini di Palangkaraya. Ia diminta untuk membuat pertunjukan itu karena sering dipanggil menari saat acara pernikahan dan ritual adat, apalagi dirinya merupakan seorang mantir (perangkat juga gelar adat Dayak).
”Saya bingung, waktu itu hanya ada empat orang di rumah. Itu hanya cukup untuk bermain musik, lalu siapa yang menari?” kenang Wis, panggilan akrabnya.
Akhirnya, Wis pun meminta beberapa anak muda dari keluarga transmigran agar mau ia latih menari untuk pertunjukan. Bukan main-main, Tari Dadas yang diajarkannya. Tarian ini begitu magis, sangat Dayak dan dikenal sebagai tarian untuk menyembuhkan orang sakit bagi orang Dayak Ma’anyan. Saat itu, ia sempat ditentang warga Dayak lainnya, tetapi ia tetap pada pendiriannya.
Wis tetap mengajarkan anak-anak transmigran yang 100 persen dari Pulau Jawa itu untuk menari tarian khas Dayak Ma’anyan. Lahan kebunnya ia jadikan tempat untuk latihan meski kaki penuh lumpur.
Butuh waktu beberapa minggu untuk latihan hingga akhirnya penari dan pemusik siap pentas. Pentas pun berjalan dengan baik dan semua orang bergembira.
”Setelah itu, anak-anak itu masih tetap mau menari, menari tarian Dayak. Saya ikut senang, terserah orang mau bilang apa, tapi bagi saya orang yang mau belajar itu susah carinya,” ungkap Wis.
Wis kemudian diminta untuk membentuk sebuah komunitas. Akhirnya, pada 10 Februari 1980 dibentuklah komunitas bernama Manguntur Janang. Manguntur dalam bahasa Dayak Ma’anyan berarti gelanggang, sedangkan janang memiliki arti ramai. Komunitas itu kemudian berkembang menjadi sebuah sanggar tari yang hingga kini sudah menggelar beragam pentas di pulau Kalimantan dan beberapa pulau di Nusantara.
Sanggar itu menjadi yang pertama berdiri di Kota Palangkaraya. Murid-murid yang pernah ia ajari menari pun kini sudah menjalani beragam profesi, tetapi masih tetap menari, minimal untuk keluarganya, untuk keberlangsungan adat, juga identitas. Tak sedikit juga murid-murid Wis yang membuat sanggar tari. Di antara begitu banyak orang yang berlatih tari pada Wis, ada nama Bagong Kussudiardja. Ia pernah belajar tarian gelang Dayak. Sebaliknya, Wis belajar tari juga pada Bagong. Mereka saling bertukar ilmu.
Ragam semakin kaya, waktu terbang begitu saja, tetapi Wis sendiri tidak berubah. Pakaiannya masih yang itu-itu saja, yang ia pakai sejak beberapa tahun lalu. ”Dalam beberapa hal saya senang sekali melihat ragam yang kian kaya, namun banyak sekali anak muda yang menari tidak dengan dasar yang tepat. Dasar tarian Dayak harusnya tidak diubah,” kritiknya melihat penari Dayak kini.
Menurut Wis, menari harusnya bukan soal uang. Banyak penari membuat sanggar agar bisa mendapatkan panggung pentas karena bayaran yang tinggi. Akhirnya, di kota itu banyak penari sekadar memenuhi undangan pemerintah atau pihak swasta.
Hingga akhirnya, Wis bersama muridnya, Noviana Laman dan Denny dari Sanggar Balanga Tingang, menggelar sebuah pentas tari tradisional Dayak pada 26 Juni 2010. Pentas itu diikuti 50 lebih penari dari berbagai sanggar dari beberapa daerah. Pentas itu menjadi pentas pertama yang diinisiasi oleh sanggar-sanggar di Kota Palangkaraya.
”Tak ada perbedaan apa pun. Dalam menari semuanya sama. Gerakan tari tidak mengenal suku, agama, dan lainnya. Semuanya membaur dalam tarian,” ungkap Wis.
Ia tak lagi mampu mengingat ratusan bahkan ribuan murid yang pernah ia ajari menari. Tak mau mengingat dari mana asal mereka. Ia tak menarik bayaran dan lebih sering ikhlas menerima berapa pun upah menari dari panggung ke panggung.
Baginya, menari itu melestarikan dan mengenalkan budaya dalam perbedaan paling dalam sekali pun. Bahkan, lewat menari, ia benar-benar mencari keberagaman dan melahirkan seniman-seniman dengan pemikiran Bhinneka Tunggal Ika.
Wisdariman
Lahir: Desa Baruang, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, 21 Juli 1954.
Istri: Doariani (44)
Pendidikan:
SDN Baruang, Barito Selatan
SMP-SMA Buntok
S-1 Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Tambun Bungai Palangkaraya, Kalteng