Kiryono, Jumpono, dan Dasimto, Tiga Bersaudara Memulihkan Puncak
Tiga bersaudara, yaitu Kiryono, Jumpono, dan Dasimto, menjaga kawasan Puncak, Bogor, melalui Kelompok Tani Hutan Cibulao.
Hidup dalam keterbatasan sebagai anak buruh pemetik teh tak gentarkan tiga bersaudara, Kiryono, Jumpono, dan Dasimto, memulihkan Puncak, Bogor, yang kini di ambang kehancuran. Dengan sabar, mereka mengubah perilaku warga di tempat tinggalnya dari perambah menjadi pelaku konservasi hutan.
Kawasan Puncak, meliputi Cisarua dan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, saat ini benar-benar dalam kondisi kritis. Hampir separuh kawasan itu diselimuti lahan sangat kritis. Selama hampir lima tahun terakhir, longsor dan banjir bandang terjadi setiap tahun di hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung ini. Buruknya kondisi alam Puncak juga kerap dikaitkan sebagai penyebab banjir kiriman di Jakarta.
Jauh dari kegaduhan saling tuduh penyebab bencana, tiga bersaudara membangun kesadaran warga di tempat tinggalnya di perkampungan pemetik teh, Kampung Cibulao, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, dengan menanami area hutan yang masih kosong dengan tanaman keras. Berangkat dari ikhtiar ini, trio kakak beradik ini kemudian membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Cibulao.
Dimulai pada 2007, anggota KTH yang umumnya buruh pemetik teh di kebun milik perusahaan swasta ini menjadi penanam kopi dan pelestari alam. Saat ini, anggota KTH mencapai 300 petani dari sejumlah kampung di sekitar Kampung Cibulao. Beberapa tahun belakangan, KTH Cibulao juga dipercaya mengelola area hutan Perum Perhutani di Cisarua dengan total luas 610,64 hektar. Hingga kini sudah 250 hektar yang dihijaukan, ditanami tak kurang dari 500.000 pohon kopi dan pohon keras lainnya.
”Sungai Ciliwung itu, kan, bermula dari titik nolnya. Maka, kondisi hulunya atau mata airnya harus dijaga. Karena jutaan orang hidup dan bergantung dari sini. Tak hanya airnya, tapi oksigen dari hutan ini, dan juga pencegahan bencana longsor dan banjir dengan menjaga kelestarian alam,” tutur Ketua KTH Cibulao Jumpono saat ditemui di Kampung Cibulao bersama Kiryono dan Dasimto pada akhir Desember 2020 lalu.
Upaya membangun kesadaran warga menjadi penjaga lingkungan bukan perkara instan. Sebelumnya, warga Kampung Cibulao, termasuk Jumpono, adalah perambah hutan. Ini dikarenakan upah kerja sebagai buruh pemetik teh yang minim. Selama 1990-an hingga 2000, contohnya, upahnya sebagai pemetik teh hanya Rp 10.000 hingga Rp 20.000 per hari. Baru sekarang upahnya naik menjadi Rp 32.500 per hari, tetapi tetap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebab, total upah yang diterima setiap bulan hanya Rp 600.000 setelah dipotong libur.
Minimnya upah sebagai pemetik teh ini mendorong warga untuk mencari tambahan pendapatan dengan merambah hutan. Saat itu, warga berpikir bahwa segala yang sudah disediakan hutan bisa diambil cuma-cuma oleh warga.
Pendampingan
Kiryono, si sulung dari tiga bersaudara ini, mengatakan, sebelum KTH Cibulao terbentuk, pada 2002 kampungnya kedatangan sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan pegiat pelestarian alam. Mereka melakukan penyuluhan soal pelestarian hutan. Dari sana, Jumpono dan Kiryono tergerak untuk mulai melestarikan alam. Kesadaran untuk melestarikan alam pada Dasimto, yang saat itu masih kanak-kanak, pun mulai tertanam.
Sebelum terlibat dalam pelestarian alam, tiga bersaudara ini bersama almarhum ayah mereka juga sudah menanam kopi di kebun untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kopi di keluarga. Bibit kopi mereka peroleh dari kampung halaman di Temanggung, Jawa Tengah.
Tiga bersaudara ini memang pendatang di Puncak. Orangtua mereka datang dari Temanggung untuk bekerja sebagai buruh pemetik teh di Puncak sekitar tahun 1980-an.
Melalui kopi, mereka tak hanya menerima manfaat dapat menikmati biji kopi. Namun, berdasarkan pengalaman mereka, pohon kopi juga memiliki akar yang kuat sehingga dapat digunakan untuk konservasi hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Kesadaran itu muncul karena kala itu pun mereka prihatin terhadap kondisi hutan di sekitar kampungnya yang semakin rusak.
Perlahan-lahan mereka mengajak warga sekitar untuk menanam kopi hingga terbentuklah KTH Cibulao. Namun, kala itu, warga di tempat tinggal mereka masih apatis terhadap ajakan menanam kopi. Warga lebih memilih menanam sayur yang bisa dipanen dalam waktu bulanan ketimbang menanam kopi yang perlu waktu tahunan sebelum bisa dipanen.
”Saya bisa memaklumi, ya, warga butuh uang dari panen yang cepat. Padahal, dengan menanam sayur di perbukitan kami yang curam ini, mudah menyebabkan longsor. Selain itu, lahannya juga dulu bekas hutan,” ujar Yono, panggilan akrab Kiryono.
Keseriusan mereka menanam kopi dan melakukan konservasi pun mendapat perhatian dari Institut Pertanian Bogor (sekarang IPB University). Mulai 2014, Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB membina mereka untuk melakukan konservasi hutan dengan menanam kopi.
Warga lain pun ikut tertarik menanam kopi sejak kopi Cibulao yang diusung trio kakak beradik ini menjadi juara tingkat nasional kopi robusta pada Kontes Kopi Spesialti Indonesia yang diselenggarakan Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) pada 2016.
”Sejak saat itu, semakin banyak warga yang ingin ikut menanam kopi. Memang butuh proses panjang hingga akhirnya warga bisa sadar untuk ikut dalam konservasi,” ucap Yono.
Warga kampung itu, menurut mereka, sebetulnya sadar bahwa hidup mereka bergantung dari kelestarian alam. Namun, di satu sisi, mereka juga punya kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi, yang terkadang memaksa mereka harus merusak lingkungan.
”Maka, kegiatan KTH Cibulao ini adalah kopi konservasi atau agroforestri. Jadi, menikmati panen kopi sambil menjaga lingkungan,” ujar Jumpono.
Patroli hutan
Tak hanya melakukan penghijauan dengan menanam kopi, KTH Cibulao juga aktif melakukan patroli di hutan untuk memitigasi bencana longsor di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.
Dasimto, si bungsu dari tiga bersaudara ini, yang aktif masuk-keluar hutan mengecek lahan kritis di sekitar kampung mereka. Lahan-lahan kritis yang umumnya padang rumput itu ia tanami pohon keras, seperti kopi dan alpukat, yang dapat menghasilkan buah.
Contohnya, bantaran sungai di antara Kampung Cibulao dan Kampung Cikoneng yang bermuara di Sungai Ciliwung ini sebelumnya dipenuhi pepohonan. Namun, sekarang terlihat lebih banyak potongan kayu bekas pembalakan dan tanah merah hasil erosi aliran sungai. Untuk mengendalikan erosi, area bantaran sungai itu mulai ditanami kopi.
”Apabila (lahan kosong) dibiarkan terus, ini bisa menyebabkan longsor. Maka, ini yang kami sedang rehabilitasi (dengan penanaman pohon),” ujar Dasimto.
Saat ini, warga sudah tidak lagi merambah hutan. Sebab, tanaman kopi yang ditanam membutuhkan pohon keras lain sebagai peneduh. ”Apabila ada orang yang menebang pohon, bisa menimpa tanaman kopi milik warga lain. Bisa berkelahi mereka. Karena itu, sekarang sudah tidak ada lagi yang menebang. Asyik semua merawat kopi,” ujar Dasimto dengan semangat.
Pemberdayaan warga
Tidak berhenti pada pelestarian lingkungan, KTH Cibulao juga berupaya memberdayakan warga sekitar. Yono menjadi pengepul dengan membeli green bean hasil panen warga dengan harga sekitar Rp 85.000 per kilogram. Kopi yang ia beli kemudian ia roasting atau panggang, lalu dijual dengan harga Rp 185.000-340.000 per kg.
Ia menjelaskan, hasil penjualan kopi ini bisa menjadi tambahan penghasilan warga yang sehari-hari bekerja sebagai buruh di perkebunan teh. ”Hasil dari penjualan kopi ini lumayan cukup untuk membantu ekonomi warga,” ucapnya.
Baca juga : Kawasan Puncak yang Terekam di Ingatan Generasi Paruh Baya
Untuk mengembangkan usahanya, KTH Cibulao juga sudah membuka dua kedai, yakni kedai Kopi Cibulao di jalan raya Puncak, dekat Pasar Cisarua, dan satu lagi di Telaga Saat, Cisarua. Mereka mengajak remaja dan anak-anak di Kampung Cibulao untuk menjadi barista dan penjaga kedai di sana.
Para barista muda itu dilatih oleh Dasimto. Kemampuan Dasimto meracik kopi berangkat dari pelatihan barista yang pernah ia jalani di Pekalongan, Jawa Tengah. Pelatihan itu ia peroleh berkat dukungan dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IPB. Tak hanya membagi ilmu kepada warga sekitar, Dasimto juga sering diundang pihak Kecamatan Cisarua untuk memberikan pelatihan barista kepada petani lain.
Kakak beradik ini memiliki impian, anak-anak Kampung Cibulao bisa tetap maju meski pendidikan mereka terbatas. Kecilnya upah sebagai pemetik teh, menurut mereka, membuat orangtua mereka tak mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang sekolah menengah. Yono dan Jumpono, misalnya, putus sekolah dasar, sedangkan Dasimto sedikit beruntung bisa lulus SMP.
”Impian kami, walaupun anak petani dan putus sekolah, harus punya keterampilan yang bisa diandalkan. Agar kami bisa bersaing dengan anak kota,” ujar Dasimto.
Apa yang mendorong kakak beradik ini melakukan semua itu, ketiganya menjawab bahwa itu berkat pesan dari almarhum ayah mereka yang meninggal pada 2011. ”Pesan terakhir ayah lebih kurang begini, tolong titip jaga lingkungan sekitar dan jaga tetangga masyarakat sekitar kamu. Pesan itu yang kami jaga dan laksanakan sampai hari ini,” kata Dasimto.
Kiryono
Lahir: Temanggung, 4 Juli 1980
Pendidikan terakhir: SD kelas V di Temangung
Jumpono
Lahir: Temanggung, 17 April 1983
Pendidikan terakhir: SD kelas V di Cisarua
Dasimto
Lahir: Bogor, 14 Oktober 1993
Pendidikan terakhir: Lulus SMP PGRI Tugu Cisarua