Riza Zahrul Huda Mengelola Kopi Selo di Lereng Merapi
Riza Zahrul Huda kembali ke desa untuk mengembangkan kopi Selo, Boyolali. Semua itu dilakukan demi menyejahterakan petani kopi arabika.
Ketika banyak anak muda berlomba-lomba meniti karier di kota besar, Riza Zahrul Huda (20) justru kembali ke desa. Ia mengembangkan kopi arabika di Desa Samiran, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, demi meningkatkan kesejahteraan petani dan mendukung kelestarian alam.
Perkenalan Huda dengan kopi tidak sengaja. ”Awalnya, karena ketika masih sekolah di Solo suka ngopi dan nongkrong dengan teman. Lama-lama, saya berpikir kopi ini bisa berkembang,” kata Huda pada Jumat (22/1/2021), di Boyolali.
Ia mengamati, pada 2016 hanya terdapat sekitar 15 kedai kopi di Solo. Kini, jumlahnya sudah mencapai 300 kedai kopi, baik yang besar maupun yang kecil. Kedai kopi menjamur di berbagai sudut kota, baik itu di dekat sekolah, kampus, maupun gedung-gedung perkantoran.
Suatu hari, Huda mengantar ibunya ke rumah nenek di Magelang. Ia singgah di Desa Samiran, Boyolali, untuk beristirahat dan shalat. Di situlah ia melihat kedai kopi di dekat Simpang PB IV Selo. Beberapa waktu kemudian, Huda kembali ke kedai kopi bersama teman-temannya.
Pucuk dicinta ulam tiba, ia berkenalan dan bekerja sama dengan pemilik kedai kopi, pengusaha, sekaligus petani, Heri Setiawan. ”Saya belajar kopi dari Mas Heri. Saya membantu Mas Heri memetik ceri di kebun, menjemur, dan menggiling kopi. Saya juga menemani Mas Heri bertemu dengan petani-petani binaan. Dari situ, saya mendapatkan banyak pelajaran,” jelas anak kedua dari dua bersaudara ini.
Huda jatuh cinta dengan aktivitas di perkebunan kopi karena membuatnya merasa dekat dengan alam. Dari aktivitasnya di kebun serta interaksinya dengan petani, Huda semakin terpanggil untuk menggeluti bidang ini. Apalagi, setelah membaca berbagai artikel dan jurnal ilmiah, ia mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara keempat penghasil kopi.
Sayangnya, kopi belum menguntungkan petani. ”Semangatnya, sih, sejahtera petani kopi. Saya ingin ilmu yang saya miliki dari kota bisa dibawa ke desa agar produksi kopi di desa lebih baik. Demikian juga apa yang saya dapatkan dari atas, saya bawa ke bawah. Pokoknya berjuang dari hulu ke hilir untuk meningkatkan kopi dan petani,” jelasnya.
Untuk mewujudkan mimpinya, Huda mempelajari cara menanam, merawat, dan memetik kopi. Ia juga mendalami macam-macam proses pengolahan biji kopi pascapanen, seperti natural process dan washed process. Tak hanya itu, pemuda yang memegang prinsip wong pinter iku larang regane (orang pintar mahal harganya) itu juga belajar menyajikan kopi.
Biasanya, Huda akan membagi waktu, yaitu pada hari Senin dan Selasa mengurusi kebun kopi, Rabu dan Kamis memasarkan kopi di kota-kota besar. Sementara pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu, ia akan bertugas sebagai barista di kedai kopi milik Heri Setiawan. Keterampilan mengerjakan beberapa pekerjaan ini ia jalani dengan gembira demi menghidupkan kopi Selo.
Huda mengatakan, daerahnya kerap mendapatkan bantuan berupa bibit kopi atau peralatan pengolah kopi dari pemerintah. Namun, petani masih minim pengetahuan untuk mengelola dan merawat tanaman kopi. Akibatnya, bibit dan peralatan pengolahan kopi diabaikan. Pohon kopi juga banyak yang ditebang karena dianggap tidak menghasilkan.
Hingga kini, sebagian besar petani masih fokus menanam sayuran dan tembakau. Sementara jumlah petani yang mengolah kopi bisa dihitung dengan jari. Kondisi ini mengakibatkan produksi kopi dari Selo masih terbatas. Kalaupun ada petani yang mampu memproduksi dan melakukan proses pascapanen dengan baik, mereka tidak tahu bagaimana memasarkan kopi. Satu dari empat pengolah kopi terpaksa berhenti karena tidak mampu menjual green bean.
Untuk mengatasi kemacetan distribusi biji kopi ini, Huda rela ”turun gunung” alias menempuh perjalanan panjang dan berliku-liku dari Boyolali yang berada di daerah pegunungan ke kota-kota lainnya yang posisinya lebih rendah, seperti Solo, Semarang, dan Yogyakarta. Ia menghadiri acara seminar dan workshop untuk memperkenalkan biji kopi Selo kepada orang-orang kota. Ia juga memasarkan biji kopi kepada coffee roaster, atau tempat pengolah kopi.
Bagi Huda, tantangan utama mengembangkan kopi Selo adalah keterbatasan produksi mengingat kopi belum menjadi komoditas utama di daerahnya. Dengan keterbatasan produksi kopi, Huda menyiasati situasi itu dengan membatasi penjualan kepada coffee roaster hanya 3 kilogram untuk proses natural anaerob, dan 5 kg untuk honey process. ”Ada coffee roaster besar di Samarinda mau membeli 25 kg. Mengingat produksinya tidak cukup, ya tidak bisa kami penuhi,” kata Huda.
Cara ini secara tidak langsung juga ampuh untuk meningkatkan branding kopi. Semakin banyak orang yang membeli kopi, meskipun dalam jumlah sedikit, tentu dapat membuat kopi Selo semakin dikenal. ”Kopi saya jadi limited edition, banyak yang mencari,” katanya.
Perjalanan Huda bolak-balik dari desa ke kota membuatnya mempelajari banyak ilmu baru. Ia membawa ilmu dari kota ke desa untuk memperbaiki kualitas kopi. Misalnya, ia mengembangkan berbagai cara mengolah dan menyajikan kopi. Pelajaran itu ia dapatkan dari interaksi dengan barista di kota-kota besar ataupun pengusaha kopi yang lebih senior.
Ilmu yang didapatkan di kota dibawa ke desa untuk diterapkan di perkebunan. Kadang-kadang, ilmu itu tidak bisa diterapkan di lapangan. Jadi, ia berusaha menyesuaikan teori dengan kondisi ril yang ia hadapi. Terkait menjemur kopi, misalnya, Huda harus bersiasat dengan kondisi daerah Selo yang jarang kena sinar matahari.
Demikian juga penyajian kopi yang kian beragam. Kalau dulu kedai kopi hanya menyajikan kopi tubruk dan V60, kini Huda bisa membuat aneka jenis misuman dasar espresso, seperti cappuccino dan coffee latte. Tentu, sajian kopi jenis ini lebih mudah diterima penikmat kopi dari kalangan anak muda.
Tak hanya ilmu dari kota ke desa, Huda membawa ilmu, budaya, dan pengetahuan dari desa ke kota sehingga orang lebih memahami perjuangan petani. Ia berharap suatu hari nanti ia bisa memiliki kebun kopi sendiri. Dengan begitu, ia bisa lebih leluasa mengembangkan minatnya pada produksi kopi.
Tantangan petani kopi
Banyak yang percaya, menikmati kopi ibarat menghayati kehidupan. Ada proses panjang yang ditempuh biji kopi, mulai dari ditanam, dipetik, dijemur, digiling, hingga kopi siap diseduh dan disajikan. Tidak heran, secangkir kopi merangkum berbagai rasa, seperti pahit, manis, dan asam, seperti dinamika keseharian. Di Desa Samiran, Jawa Tengah, tantangan yang dihadapi dalam mengolah biji kopi kian kompleks membuat rasa yang terkandung menjadi lebih kaya.
Desa Samiran yang berada di Kecamatan Selo, Boyolali, merupakan daerah wisata yang diapit Gunung Merapi dan Merbabu. Desa ini menawarkan panorama pegunungan dan udara yang sejuk. Berada di ketinggian 1.400-2.550 meter di atas permukaan laut, desa ini kerap mengalami kekeringan.
Riza Zahrul Huda, yang bekerja sebagai pengolah biji kopi, menjelaskan, di Selo hanya ada satu mata air, yaitu tuk Babon, yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan air sembilan desa. ”Pada musim kemarau, petani sering kesulitan air,” katanya, Jumat (22/1/2021).
Bagi pengolah biji kopi, kondisi ini cukup menantang mengingat pengolahan kopi pascapanen dengan cara washed process, atau dengan dicuci, membutuhkan air. ”Akhirnya, kami meminimalkan proses pascapanen menggunakan air. Kalau di daerah Sumatra atau Sulawesi, mereka bisa melakukan full washed karena banyak air. Di sini, kami fokus pada pengolahan kering (dry process)dan honey process,” jelasnya.
Tantangan lain yang dihadapi pengolah biji kopi adalah sinar matahari yang muncul tidak pasti. Melewati tengah hari, kabut biasanya muncul dari arah pegunungan kemudian turun menutupi perkebunan dan pedesaan. Padahal, proses natural kopi mengandalkan sinar matahari.
Dalam proses kering atau natural, ceri kopi yang berwarna kemerahan ditebarkan di atas permukaan alas, kemudian dijemur di bawah sinar matahari. Agar tingkat kering merata, biji-biji kopi ini harus dibolak-balik. Dengan kondisi minim sinar matahari, pengolahan kopi yang tidak tepat dapat membuat warna kopi berubah menjadi putih tanda munculnya jamur.
Tidak heran, kopi dengan pengolahan natural dihargai relatif lebih mahal karena prosesnya rumit dan berisiko. Di sisi lain, pengolahan kopi secara alami ini menghasilkan rasa kopi yang lebih asam dengan unsur fruity, atau buah-buahan. ”Biasanya, kami tanya kepada coffee roaster mereka mau proses kopi apa, karena akan memengaruhi rasa dan aroma,” jelas Huda.
Memproduksi kopi di lereng gunung berapi juga menghadirkan tantangan berupa erupsi. Pengusaha dan petani kopi di Desa Samiran, Heri Setiawan, menceritakan, pada 2018, erupsi abu vulkanik Gunung Merapi membuat kopi menjadi aroma belerang.
Menolak menyerah, Heri menjadikan aroma belerang sebagai kekuatan. ”Saya bilang kepada konsumen, bau belerang ini adalah bukti bahwa kopi Arabika ini asli dari Merapi. Namanya orang jualan, semua cara dipakai,” ujarnya sambil tertawa.
Di Selo, kopi belum menjadi komoditas utama. Di daerah ini, sebagian petani masih menanam sayuran dan tembakau. Tanaman kopi umumnya dipakai sebagai tumpang sari atau pagar kebun. Meskipun belum menjadi penghasilan utama, kopi bisa menambah tabungan petani. Sejak setidaknya lima tahun terakhir, pertanian kopi mulai menggeliat karena ada permintaan.
Rata-rata, di Selo, petani menanam 20-25 pohon kopi di kebun atau halaman rumahnya. Satu pohon kopi bisa menghasilkan 8 kg ceri kopi. Ceri atau buah kopi kemudian dijual kepada pengolah kopi pascapanen seharga Rp 8.000 per kg. Hasilnya, petani bisa mengantongi Rp 1.280.000-Rp 1.600.000 untuk menambah penghasilan.
Meskipun cukup menjanjikan, tidak semua produsen mampu memasarkan kopi kepada konsumen. Tahun lalu, seorang produsen kopi berhenti beraktivitas karena produknya tidak terjual.
Baca juga : Heri Setiawan, Petani Kopi dari Lereng Merapi
Sementara, di kota-kota besar, mereka menantikan kehadiran kopi dari Merapi. Pada Desember lalu, Kompas sempat berbincang dengan coffee roaster di Solo, Jateng. Pengolah kopi itu mengeluhkan pasokan biji kopi dari Temanggung dan Selo. Ketersediaan kopi kalah dari daerah lain di Indonesia, atau bahkan dari luar negeri.
Huda menjelaskan, bagaimana mengamankan ketersediaan produk kopi dan memasarkan kopi memang menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Namun, ia yakin kopi dari daerahnya bisa berkembang. Ikon Gunung Merapi dan Merbabu membuat proses pemasaran kopi relatif mudah. Selain itu, daerah ini masih dikelilingi hutan dan pepohonan sebagai tanaman penaung yang menjaga suhu udara tetap sejuk. Aneka tanaman di daerah ini terserap tanaman kopi sehingga rasa dan aromanya menjadi lebih kaya dan nikmat.
Riza Zahrul Huda
Lahir: Boyolali, 20 januari 2000
Pendidikan: SMK 5 Surakarta
Alamat: Kelurahan Randusari, Boyolali, Jateng