Penjelajahan Zack Petersen demi Seribu Hari Penentu
Ketidakpahaman warga tentang cara mencegah tengkes bisa turut memicu terabaikannya pemenuhan gizi anak selama seribu hari pertama kehidupan. Itulah pelatuk bagi Zack untuk turut mendirikan 1000 Days Fund.
Jiwa petualang Zack Petersen (40) mengantarnya tinggal di Indonesia. Penjelajahan ke kampung-kampung terpencil nan kumuh membuka mata pria asal Amerika Serikat ini bahwa tengkes pada anak-anak turut melanggengkan lingkaran kemiskinan. Di lebih dari 28 pulau, ia ikut berjuang mencegah tengkes agar anak-anak tumbuh sehat dan punya kesempatan memperbaiki nasib keluarga.
Awan mendung akhir November lalu tak kuasa menyembunyikan rupawannya sisi barat Laut Flores, Nusa Tenggara Timur. Laut yang biru berpadu dengan pulau-pulau berelief pegunungan berlipat-lipat.
Di atas perahu yang tengah melaju, Zack menikmati pemandangan itu dengan busana yang pas, yakni sandal, celana pendek, kaus, kacamata gelap, dan topi. Yang terbayang, dia nanti bakal mencebur ke surga bawah laut perairan Komodo, bersua naga komodo di Pulau Rinca, atau terbengong dengan keindahan panorama Pulau Padar.
Namun, imaji vakansi itu runtuh saat Zack mendarat di Pulau Papagarang di Manggarai Barat. Aroma amis dari cumi yang dijemur menyambut seketika itu juga. Permukiman penduduk didominasi rumah panggung, terhubung oleh gang-gang selebar 1,5-2 meter ”berhias” butir-butir kotoran kambing. Namun, Zack tanpa ragu melangkahkan sandalnya ke salah satu rumah.
Zack membekali diri dengan kertas panjang yang dinamainya poster pintar. Di bagian atas poster tertera judul ”6 Cara Cegah Anak Stunting”. Ia lalu masuk ke rumah berdinding batako dan beratap seng milik seorang nelayan cumi, Basri (29). Istri Basri yang bernama Siti Jumrah (23) tengah mengandung buah hati kedua mereka. Dengan poster pintar, Zack mengajak keluarga Basri bermain.
Zack membentangkan poster di lantai, lalu menyusun kartu-kartu secara terbalik di atas poster. Ia lantas meminta Siti membalik satu kartu dan menjelaskan gambar di dalamnya. Saat Siti kebingungan, Zack membantu memberi tahu maksud dari gambar itu.
”Ini apa, Bu? Saya lupa,” tanya Zack memancing agar Siti menjelaskan gambar obat dengan lambang tetesan merah. Gambar itu sudah muncul saat pembalikan kartu sebelumnya.
”Tablet tambah darah,” jawab Siti. Tablet tambah darah atau tablet zat besi direkomendasikan untuk diminum ibu hamil setiap hari. Tujuannya, antara lain, mencegah risiko perdarahan sewaktu sang ibu bersalin nanti serta mencegah bayi lahir prematur atau berat badan saat lahir rendah.
Gambar tablet tambah darah juga terdapat pada lembar poster pintar. Konsumsi rutin tablet tersebut oleh ibu hamil merupakan satu dari enam cara menangkal risiko stunting atau tengkes pada anak, sesuai judul di poster. Lima gambar lainnya adalah alat suntik imunisasi, vitamin dan obat cacing, makanan bergizi, pemberian air susu ibu (ASI), serta gambar mencuci tangan dengan sabun, yang semuanya berujung pada pencegahan tengkes.
Zack membawa total 18 lembar kartu dan setiap tiga kartu bergambar sama. Ini strategi komunikasi agar ibu hamil ataupun ibu dengan anak berusia hingga dua tahun terpapar informasi yang sama terus-menerus, menjadi paham, lalu menerapkan enam cara mencegah tengkes dalam hidup sehari-hari. Ayah, kakek dan nenek, atau anggota keluarga lainnya di rumah juga didorong melakukan langkah serupa.
Itulah penggalan aktivitas Zack lewat lembaga swadaya masyarakat 1000 Days Fund, yang didirikannya bersama seorang rekan bernama Simon Flint. Lembaga ini menyasar anak-anak yang kebanyakan tinggal di kampung-kampung terpencil dengan orangtua berpendidikan rendah, yang rata-rata berakhir di tingkat sekolah dasar. Karena itu, Zack bersama timnya mengembangkan desain poster pintar untuk membumikan informasi pencegahan tengkes bagi mereka.
Dari awalnya poster penuh dengan teks kemudian menjadi didominasi visual. Dari awalnya hanya menjadi media sosialisasi satu arah, kini memaksa ibu dan anggota keluarga lain untuk berinteraksi lewat permainan. ”Yang sekarang merupakan versi ketiga belas,” ujarnya.
Baca juga : Hadang Tengkes dengan Poster Pintar
Poster pintar 1000 Days Fund multiguna. Selain untuk alat permainan, poster sudah dirancang berisi tabel tinggi badan serta memiliki perekat sehingga bisa ditempel di dinding untuk mengukur tinggi badan anak hingga berusia dua tahun. Tinggi kurang merupakan salah satu indikasi tengkes.
Mengapa urusan ukuran tubuh anak sedemikian pelik? Tinggi badan kurang akibat tengkes hanyalah ukuran kasatmata. Yang tersembunyi, ukuran otak juga mengerdil. Anak tengkes nantinya lebih rentan sering absen di sekolah, bahkan bisa sampai tidak melanjutkan pendidikan. Saat dewasa, ia sulit bersaing dengan kawan seumuran yang tidak tengkes sehingga memengaruhi tingkat pendapatan dalam bekerja.
Tidak hanya itu. Anak tengkes di kemudian hari lebih mudah terserang penyakit tidak menular, seperti stroke, jantung koroner, dan diabetes, bahkan sewaktu ia masih dalam usia produktif kerja. Sudah tidak bisa ikut mengungkit pertumbuhan ekonomi, beban jaminan kesehatan nasional pun bertambah. Secara pribadi, peluang si anak mengubah nasib keluarga di masa depan makin ciut.
Sayangnya, jendela waktu untuk mencegah masa depan menyeramkan itu hanya selama seribu hari pertama kehidupan, yakni sejak dikandung oleh ibunya hingga berusia dua tahun. Sekitar 80 persen perkembangan otak berjalan dalam periode itu. Jika terlambat, tak banyak yang bisa dilakukan untuk hidup anak hingga ia dewasa.
Ketidakpahaman ibu dan keluarga anak tentang cara mencegah tengkes bisa turut memicu terabaikannya seribu hari periode emas. Zack mendapati bahwa banyak ibu tidak memberi air susu eksklusif untuk anak dan banyak anak hanya diberi makan dua kali sehari dengan nutrisi jauh dari lengkap.
Itulah pelatuk bagi Zack untuk turut membidani pendirian 1000 Days Fund sekitar dua tahun silam. Pasangan hidup pegiat aksi sosial Nila Tanzil ini kini menjabat lead strategist di sana.
Proyek perdana 1000 Days Fund adalah studi yang didanai Bank Dunia (World Bank) pada Januari 2019 di tiga pulau yang masuk wilayah kerja Puskesmas Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. NTT dipilih jadi tempat merintis penggunaan poster pintar mengingat prevalensi anak tengkes di provinsi ini mencapai 43 persen atau dialami sekitar 270.000 anak.
Mereka mengampanyekan pencegahan tengkes berbekal poster pintar di 159 rumah di tiga desa yang berlokasi di tiga pulau berbeda, yaitu Rinca, Mesah, dan Komodo. Setelah enam bulan, 65 persen wali anak (mayoritas ibu) mampu mendefinisikan tengkes dan 48 persen mampu menjelaskan mengapa pencegahan tengkes penting—meningkat pesat dibandingkan saat awal program, yang hanya 4 persen. Selain itu, 62 persen wali anak menyebutkan, memiliki poster pintar di rumah mereka membantu merubah perilaku menjadi lebih positif. Zack mencontohkan, perilaku lebih positif antara lain anggota keluarga lebih sering mencuci tangan dengan sabun.
Setelah dua tahun, angka tengkes di wilayah kerja Puskesmas Labuan Bajo turun dari 23 persen menjadi 15 persen. Artinya, angka sudah di bawah 20 persen, batas kategori kronis menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Keunggulan lainnya, poster pintar hanya berbiaya Rp 10.000 per lembar, tetapi bisa bertahan hingga setidaknya dua tahun. Ekonomis untuk ditularkan ke berbagai tempat lainnya di Indonesia. Sampai sekarang, Zack dan tim sudah memasang 63.000 poster pintar di lebih dari 28 pulau, termasuk di wilayah Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Selatan.
Zack dan kawan-kawan pun tak henti belajar cara berkomunikasi ke warga. Mantan penulis kolom ”My Jakarta” di media Jakarta Globe itu amat mengharamkan sikap tahu segalanya dan menggurui. Itu kunci agar warga sasaran menerima kehadiran mereka.
Saat di Papagarang, misalnya, ia menunjukkan bertebarannya sampah bungkus makanan ringan di jalan menuju rumah Basri. Ia mengatakan, anak-anak di sana lebih sering dicekoki makanan ringan dibanding cumi yang sebenarnya melimpah dan merupakan sumber protein. Alasannya, selain membuat anak senang, cumi lebih berharga sebagai sumber pendapatan dibandingkan sebagai sumber gizi keluarga.
Namun, Zack sama sekali tidak mengungkit tentang bagaimana kesalahan Basri dan ayah lainnya memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Ia justru mencari-cari hal positif yang sudah dilakukan, misalnya dengan memuji kuku anak pertama Basri yang terpotong rapi dan bersih sehingga turut mencegah cacingan. ”Jika saya mengajari ayah untuk tidak merokok, misalnya, dia mungkin akan langsung berkata, ’Enyahlah kau!’,” gurau Zack.
Benih jiwa petualang
Banyak lokasi yang disasar 1000 Days Fund merupakan area yang jarang disentuh karena tantangan geografis. Sebuah permukiman di Benteng, Manggarai Barat, hanya bisa dicapai dengan mobil berpenggerak empat roda selama berjam-jam dan penduduk di sana mengatakan belum pernah ada LSM yang datang kecuali 1000 Days Fund. Ada yang hanya bisa dijangkau dengan kapal atau perahu, seperti Papagarang, Rinca, dan Mesah, sehingga sangat bergantung pada kebaikan hati cuaca.
Selain itu, fisik pun digempur. Zack pernah mengalami sengatan panas (heat stroke), lalu anggota tim 1000 Days Fund lain pernah menderita gejala flu hingga diare. Tuberkulosis bahkan pernah merebak di salah satu pulau. Mereka memaklumi situasi itu mengingat banyak daerah masih kesulitan air bersih dan perilaku buang air besar sembarangan belum terkendali sehingga virus dan bakteri menyebar ke mana-mana. Di sebuah pulau, sebagian warga biasa buang hajat di pinggir laut. Namun, Zack menikmati semua prosesnya karena turut memenuhi hasrat bertualangnya. Hasrat yang tersemai sejak ia kecil.
Zack menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan berpindah-pindah. Ia pernah tinggal di New Orleans, San Diego, San Francisco, lalu mulai usia 15 tahun menetap di Iowa setelah ayahnya purnakarya dari Angkatan Laut AS. Ia beruntung punya banyak waktu bermain di luar rumah, termasuk untuk berenang di danau atau lautan. Ia dan keluarga kerap menikmati alam dengan berkemah atau melakukan perjalanan darat.
Saat di sekolah menengah atas, ia antusias mendengarkan cerita gurunya, Dan Hebl, yang pernah bergabung sebagai sukarelawan Peace Corps. Hebl kala itu ditempatkan bertugas di Kenya, Afrika Timur.
Jiwa bertualang Zack menggelegak, mengantarkan dia meniru Hebl dengan bergabung ke Peace Corps pada 2005-2007 setelah menyelesaikan studi Strata-I di University of Northern Iowa. Ia tinggal di sebuah desa kecil di Mauritania, Afrika Barat, di perbatasan dengan Senegal. ”Itu adalah dua tahun terbaik dalam hidup saya,” ucapnya.
Ia semestinya menjadi sukarelawan guru, tetapi sekolah yang dituju tidak pernah buka. Akhirnya, karena keluarga angkatnya mengelola sebuah kompleks pertanian, Zack pun turut bercocok tanam. Ia setiap hari bekerja dengan ayah angkatnya menumbuhkan padi, tomat, dan pisang.
Dari Peace Corps, ia juga belajar bahwa tidak masalah punya uang berapa pun selama pekerjaan yang digeluti melahirkan kebahagiaan. Menurut dia, menolong orang-orang untuk menemukan dunia yang lebih baik adalah pekerjaan yang membahagiakan, bahkan jika pertolongan itu hanya ibarat setetes air di ember.
Setelah ia pindah ke Indonesia lebih dari satu dekade lalu, semangat itu tetap dibawa. Apalagi, istrinya punya motivasi serupa. Nila mendirikan dan menggerakkan Taman Bacaan Pelangi dengan berbagi buku dan menghidupkan literasi, terutama untuk wilayah Indonesia timur. Nila juga mengawali gerakannya dari NTT, tepatnya Roe.
Karena melihat istrinya blusukan ke kampung-kampung mengirimkan buku, mendorong anak-anak berani bermimpi, dan menggugah mereka untuk meraih prestasi di kelas, Zack tergerak untuk ambil bagian. Memberdayakan keluarga untuk mencegah tengkes pada anak sejak dikandung hingga berusia dua tahun jadi jalan pengabdiannya.
Setiap kali melihat anak yang telanjur pendek karena tengkes, penyesalan selalu muncul di benak Zack. ”Seandainya kami sudah hadir di sana sejak dua tahun sebelumnya, anak itu masih mungkin selamat,” ujarnya.
Penyesalan itu senantiasa menyalakan semangat Zack dan 1000 Days Fund untuk menjangkau lebih banyak desa dan pulau di Indonesia, menyelamatkan lebih banyak anak dari bahaya tengkes, memberikan seribu hari kehidupan pertama yang terbaik sepanjang hayat mereka.
Baca juga : Pelatihan Komunikasi Dua Arah Dibutuhkan untuk Kampanye Pencegahan Tengkes
Zachiry Edward Petersen
Lahir : Traverse City, Michigan, Amerika Serikat (1980)
Istri : Nila Tanzil
Anak : 1 putri
Pengalaman kerja
- Lead Strategist, 1000 Days Fund (2018-sekarang)
- Public Policy Specialist, IFC - International Finance Corporation (2017–2018)
- Konsultan, RTI International (2013-2016)
- Editor, Jakarta Globe (2008-2010)
- Sukarelawan, Peace Corps (2005-2007)
Pendidikan
- S-2 International Affairs, the Fletcher School of Law & Diplomacy Tufts University (2015–2016)
- S-2 MM Sustainability Universitas Trisakti (2012-2013)
- S-1 University of Northern Iowa (2000-2005)
Penghargaan: Pegiat Pencegahan Stunting 2019 dari Pemerintah RI