Dian Herdiany Menginspirasi Remaja agar Berani Bersuara
Selama lebih dari sepuluh tahun, Dian Herdiany berkecimpung dengan dunia remaja. Dia mengajak remaja berani bersuara mencari solusi melalui audio visual.
Melalui media audio visual, Dian Herdiany mengajak remaja Indonesia untuk memahami potensi dan persoalan di lingkungan tempat tinggal mereka. Film sebagai alat dokumentasi juga dipakai untuk menyuarakan persoalan remaja kepada teman sebaya, orang tua, dan pemerintah daerah.
“Ketika pertama kali mengajak remaja membuat film pada 2006, saya melihat film berhasil menunjukkan bagaimana remaja memandang keberagaman. Menurut saya, ini keren banget karena mereka berani bersuara,” kata Dian, ditemui di kantor Yayasan Kampung Halaman, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Senin (4/1/2021).
Dian kemudian mengajak beberapa temannya, seperti Zamzam Fauzanafi dan Cicilia Maharani, untuk berkarya melalui Kampung Halaman, sebuah tempat untuk remaja dan anak muda belajar memahami potensi dan persoalan di lingkungan tempat mereka tinggal melalui audio visual. Kelompok remaja dipilih karena selama ini keunikan karakteristiknya membuat kelompok ini kurang mendapat tempat agar suaranya didengar publik. Padahal, dalam proses pemberdayaan, partisipasi masyarakat dari berbagai pihak, baik itu remaja maupun dewasa sangat penting.
Dian menjelaskan film merupakan alat ampuh agar remaja mampu mengenal dirinya, mengetahui potensi dan persoalan di lingkungan, serta menjadi medium untuk mengungkapkan pandangan secara jujur dan terbuka. “Saya menekankan dalam membuat film remaja harus jujur dan bisa menyampaikan pandangan mereka berdasarkan riset di lapangan. Semua harus dibuktikan, tidak boleh bertolak belakang dengan kenyataan,” lanjut Dian lagi.
Yayasan Kampung Halaman (KH) pertama kali didirikan pada 2006. Setelah sempat beraktivitas selama setahun di Jakarta, kantor yayasan ini pindah ke Kota Pelajar, mendekati lokasi komunitas pertama yang mereka dampingi di Dusun Karang Ploso, Piyungan, Bantul. Ketika itu, Dian dan kawan-kawan mendampingi remaja membuat film dokumenter yang berhubungan dengan peristiwa gempa Yogyakarta.
Di Yogyakarta, yayasan ini menempati sebuah bangunan bertingkat yang terbuat dari bamboo di Kecamatan Ngemplak, Sleman. Lokasinya terletak di kawasan pedesaan, daerah yang masih hijau diapit oleh sungai dan daerah pertanian. Tempat ini disiapkan tidak hanya sebagai kantor, tetapi nantinya akan dibuat sebagai warung kopi, rumah makan, dan ruang serba guna untuk pertunjukan seni, serta pemutaran dan diskusi film.
Mencari solusi
Ide mendirikan Kampung Halaman muncul setelah Dian menemukan fakta bahwa selama ini remaja dianggap identik dengan kenakalan remaja, seperti tawuran dan pemberontakan. Pada tahun 2000-an, ketika internet mulai dipakai banyak orang, video-video pornografi remaja juga tersebar di dunia maya. “Remaja jadi sering dianggap sebagai masalah sosial, daripada solusi,” katanya.
Padahal, di daerah-daerah ia sering bertemu dengan remaja yang punya sikap eksploratif, punya keingintahuan yang tinggi, peduli, serius dan tekun menyelesaikan persoalan-persoalan daerah, seperti terkait pertanian, tingginya angka perkawinan anak, dan kasus intoleransi.
Dari situ, Dian mendapatkan ide untuk mengajak remaja untuk memetakan potensi dan persoalan daerah melalui film. Ia tidak hanya memfasilitasi remaja melakukan riset dan memproduksi karya audio visual, tetapi juga mendorong remaja mengkomunikasikan pandangan mereka kepada masyarakat ketika pemutaran dan diskusi film di desa-desa.
Kesempatan pertama muncul ketika Yayasan Kampung Halaman bekerja sama dengan sineas ternama yaitu Riri Riza serta organisasi British Council membuat workshop film tentang keberagaman di lima kota di Indonesia. Melalui program Video Diary, remaja diajak memotret keragaman di sekitar mereka. Kini metode pembuatan film dipakai oleh berbagai lembaga dan komunitas yang ingin bekerja sama dengan anak dan remaja.
Melalui karya audio visual, remaja juga berhasil mengungkapkan persoalan-persoalan daerah. Kelompok remaja di Indramayu, Jabar, misalnya, memproduksi film berjudul 17 Tahun ke Atas yang menyoroti fenomena tingginya angka perkawinan anak. Film itu diproduksi pada 2007 dan masih sering diputar sampai sekarang.
Dari film itu terungkap bahwa di Indramayu desakan untuk menikah muda sangat lumrah dilakukan. Ketika anak dan remaja masih punya cita-cita untuk sekolah lebih tinggi, orang tua kerap mendorong anak menikah karena tekanan ekonomi. Tokoh-tokoh desa setempat juga kurang melindungi kepentingan remaja, seperti memperoleh hak pendidikan.
Produksi film ini mentransformasi remaja dari malu-malu dan takut menjadi kritis dan berani bersuara. “Ketika remaja tahu mereka punya potensi, mereka jadi percaya diri. Dari sini kami telaten mendampingi remaja dari kelompok keluarga rentan, seperti mereka yang terancam putus sekolah atau rentan menjadi korban kawin anak ataupun hamil di luar nikah. Kami percaya, dampak pendampingan untuk remaja bisa luar biasa,” jelas Dian.
Tantangan mendampingi remaja, menurut Dian adalah karakterikstik mereka yang masih dalam tahap transisi menuju dewasa sehingga fokus kerap berubah-ubah. Selain itu adalah tatangan dari orang tua dan lingkungan sekitar yang kurang mau mendengarkan kebutuhan remaja. “Orang tua sering judgmental dengan remaja. Padahal, ketika remaja ditanya apa kebutuhan dan tantangan mereka, jawabannya bisa berbeda sekali dengan orang tua,” katanya.
Di salah satu daerah di Indonesia, banyak orang tua mengeluhkan remaja tidak mau membantu mereka turun ke sawah. Padahal, seelah diteliti selama ini remaja memang tidak dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup mengenai perkebunan. Itulah sebabnya, remaja kemudian lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik atau karyawan dengan gaji pas-pasan.
“Padahal, kalau mau digali lebih dalam remaja punya potensi yaitu kemampuan beradaptasi yang tinggi dengan dunia digital serta jaringan pertemanan yang luas. Mereka memang tidak bisa turun ke sawah, tetapi bisa membantu pertanian orang tua dengan memanfaatkan teknologi,” jelasnya.
Aktivitas Dian dengan dunia film dan remaja sebenarnya agak bergeser dari latar belakang pendidikan yaitu Antropologi UI. Namun, sejak kuliah, Dian sudah senang memproduksi film. Bersama kawan-kawannya, ia mendirikan Komunitas Visual Antropologi UI. Ia kemudian direkrut oleh Shanty Harmayn, Jakarta International Film Festival (JIFFEST), untuk membuat diskusi akademik tentang masalah-masalah sosial berdasarkan kajian film. Dari sini, Dian mulai menonton banyak film bagus denganberbagai genre, termasuk dokumenter. Dian dan Shanty juga berkolaborasi mendirikan komunitas film dokumenter In-DOCS yang bertujuan mengedukasi anak kuliahan membuat film dokumenter.
Fondasi di dunia film juga muncul saat Dian dan kawan-kawannya membangun Yayasan PopCorner pada 2003. Yayasan ini membantu siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) membuat Film Pendek. Dari aktivitas-aktivitas ini Dian mulai senang dengan kegiatan edukasi melalui medium audio visual. Apalagi, sekarang siapa saja bisa memproduksi film dengan biaya relatif terjangkau.
Setelah lebih dari 10 tahun berdiri, Kampung Halaman terus berkembang. Yayasan ini tidak hanya mengajak remaja untuk memproduksi film. Berbagai kegiatan dilakukan untuk mendorong pemberdayaan remaja, seperti belajar mengenai pertanian, wirausaha, berkebun, mengelola perpustakaan, seni tradisi, membuat pemutaran, dan diskusi film secara regular.
Baca juga : Animo Anak Muda di Dunia Modifikasi Digital
Dian dan kawan-kawan juga terus mengembangkan berbagai cara dan metode untuk mengikuti kebutuhan remaja di berbagai daerah di Indonesia. Selama pandemi Covid-19, misalnya, yayasan ini membuat kelas online terkait kesehatan reproduksi dan seksual untuk remaja di Ponorogo, Yogyakarta, dan Klaten. Tujuannya adalah menekan kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender, serta mendorong remaja menjadi agen perubahan sosial. Kelas kespro untuk remaja ini dibuat untuk merespons film tentang remaja korban pemerkosaan.
Dari berbagai aktivitas yang dijalani Yayasan Kampung Halaman, semakin disadari tantangan remaja masa kini makin beragam seiring pertumbuhan teknologi dan media sosial, seperti kekerasan berbasis gender online dan kesehatan mental. Perlu ada solusi menyeluruh demi melindungi remaja dan memperkuat peran mereka di komunitas tempat mereka tinggal.
Dian Herdiany
Lahir: Jakarta, 1 Desember 1975
Pendidikan: S1 Antropologi UI
Aktivitas:
- Founder dan Board Advisor Yayasan Kampung Halaman
- Co-FounderIn-DOCS
- Seminar Coordinator JIFFEST (2000 – 2002)
- Produser Film