Misiyah Mencetak Perempuan Berdaya
Misiyah, Direktur Institut KAPAL Perempuan, berperan dalam gerakan perempuan dengan mengambil strategi pendidikan alternatif melalui Sekolah Perempuan dan berbagai pelatihan.
Perempuan di akar rumput sering dianggap tidak berdaya, berpendidikan rendah, diremehkan, bahkan suara mereka tidak diperhitungkan dalam berbagai pengambilan keputusan di tengah masyarakat. Namun, bagi Misiyah (53), Direktur Institut KAPAL Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan) pandangan itu bisa diubah.
Buktinya, ketika para perempuan tersebut diberi penguatan kapasitas, dibekali dengan pengetahuan tentang kesetaraan jender dan kesehatan reproduksi, perubahan bisa terjadi dalam diri perempuan. Tidak hanya bangkit dari keterpurukan dan keluar dari lingkaran kekerasan dalam rumah tangga, ribuan perempuan di daerah pelosok dan terpencil, termasuk di wilayah kepulauan, kini berdaya dan mandiri, serta berpikir kritis.
Beberapa menjadi pelopor dan pemimpin, serta mendobrak sekat-sekat budaya yang menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki. Selain mencegah perkawinan anak, mereka menginisiasi dan mendorong pemerintah melahirkan berbagai peraturan yang melindungi perempuan dan anak.
”Mereka berani melakukan perubahan di rumah tangganya, bernegosiasi tentang pembagian kerja dan pengambilan keputusan keluarga. Mereka juga berkarya di komunitas, terampil membangun data, berhasil memengaruhi kebijakan pemerintah daerah, dan aksesnya meningkat, terutama pemenuhan hak atas perlindungan sosial,” kata Misiyah, yang akrab disapa Misi.
Perjuangan Misiyah bersama tim Sekolah Perempuan Nusantara (dulu Sekolah Perempuan) yang diselenggarakan Institut KAPAL Perempuan di 24 desa di sembilan kabupaten di DKI Jakarta, Sumatera Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, serta di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) melahirkan berbagai perubahan besar bagi perempuan di tingkat akar rumput. Saat ini, lebih dari 6.000 perempuan di akar rumput telah mengikuti program Sekolah Perempuan.
Mereka memantau pembangunan dan menyediakan data tentang kemiskinan perempuan untuk memastikan dipenuhinya hak-hak warga miskin, terutama perempuan. Selain kemudian direplikasi sejumlah pemerintah daerah, seperti di NTB, program Sekolah Perempuan juga menelurkan alumni yang berhasil memasukkan berbagai inisiatif seputar isu perempuan dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di tingkat daerah.
Mereka berani mengambil risiko mengampanyekan isu-isu sensitif, seperti penghapusan sunat perempuan. Mereka memantau dan mengadvokasi peningkatan akses masyarakat ke Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Gerakan perempuan
Menjadi salah satu pendiri KAPAL Perempuan membuat Misiyah paham berbagai persoalan perempuan di akar rumput. Lembaga tersebut berdiri sejak 8 Maret 2000 bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional. Mereka hadir untuk membangun gerakan perempuan dan sosial untuk mewujudkan keadilan sosial, kesetaraan jender, dan perdamaian.
Bagi Misi, tahun 2018 merupakan momen istimewa baginya ataupun KAPAL Perempuan, menyusul Soetandyo Award yang diterima Misiyah dari Universitas Airlangga Surabaya pada Desember 2018. ”Bagi saya ini pesan kuat agar saya tetap teguh dan bekerja keras, untuk tetap menjaga keindonesiaan yang berbineka,” ujar Misiyah,
Setahun kemudian, Desember 2019, kerja keras Misiyah kembali mendapatkan apresiasi dari pemerintah, yakni Kementerian Dalam Negeri. KAPAL Perempuan menerima penghargaan sebagai organisasi masyarakat sipil yang berprestasi dalam melakukan pemberdayaan perempuan.
Bagi Misiyah, penghargaan tersebut sangat berarti karena meneguhkan bagi dirinya dan kaum perempuan untuk tidak tinggal diam. Kaum perempuan harus bangkit memperjuangkan hak asasi manusia (HAM), terutama perempuan, serta menunjukan keberpihakan kepada yang minoritas dan marjinal, penghargaan terhadap keberagaman.
”Karena itu, pengetahuan tentang perempuan mesti menjadi daya untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan jender bagi semua. Model pendidikan kritis sangat penting, di tengah kondisi masyarakat yang saat ini berada dalam pusaran ekstrimisme global dan politisasi identitas yang semakin menguat,” kata istri dari Wahyu Susilo dan ibu dari Cesia.
Tahun 2020 menjadi momen penting bagi KAPAL Perempuan yang genap berusia 20 tahun. Bagi Misiyah, angka 2020 tahun sangat berarti karena menjadi penanda sekaligus angka yang setara, tidak ada yang di depan dan di belakang, sesuai dengan semangat dari KAPAL Perempuan, yakni ”Lingkaran” Pendidikan Alternatif Perempuan. Semua setara, tidak boleh ada yang menjadi pusat dan di pinggiran.
Di usia yang ke-20 tahun, KAPAL Perempuan juga meluncurkan buku Daya Perempuan Akar Rumput: Kepemimpinan Perempuan untuk Perubahan yang dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berkomitmen I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Pengalaman Sekolah Perempuan membangun desa dengan slogan ”Belajar dari Pinggiran, Bergerak Mengakhiri Pemiskinan” digambarkan dalam kisah para anggota sekolah perempuan di buku tersebut. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi juga mengakui keberadaan Sekolah Perempuan adalah jawaban dari pemberdayaan masyarakat sesuai mandat Undang-Undang Desa.
Untuk mendorong percepatan pencegahan perkawinan anak, selain pendampingan terhadap perempuan-perempuan kepala desa, Misiyah menggerakkan tim KAPAL Perempuan untuk melakukan Pelatihan Penyusunan Peraturan Desa Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Anak.
”KAPAL Perempuan berperan sebagai ’dapur’ gerakan perempuan di segmen tertentu dengan mengambil strategi pendidikan alternatif melalui Sekolah Perempuan dan berbagai pelatihan untuk membangun kesadaran kritis di tingkat akar rumput dan aktivis yang mendampingi perempuan secara langsung,” kata Misiyah yang telah menulis lebih dari 30 modul pendidikan kritis berbagai tema.
Pekerja sosial
Bagi Misiyah, berkecimpung di lembaga swadaya masyarakat dengan berbagai pergulatan perempuan di aras akar rumput sudah menjadi jalan hidupnya. Jiwa kepanduan yang didapat sejak aktif di Pramuka telah mendorongnya menjadi pekerja sosial dan dunia pendidikan.
Bahkan, saat lulus kuliah pun, Misiyah mendaftarkan diri dalam program sarjana penggerak pembangunan. Ia juga menjadi guru di beberapa tempat, hingga akhirnya bertema Eva Kusuma Sundari yang mengajaknya ikut pelatihan jender, yang membawa Misiyah aktif di Kelompok Kerja Gender Jaringan Timur.
Di akhir tahun 1995, Misiyah bergabung dengan Solidaritas Perempuan. Pada tahun 2000 bersama inisiator utamanya, Yanti Muchtar, Misiyah yang juga bersama Veronica Indriani, Wahyu Susilo, dan Vianny mendirikan KAPAL Perempuan, dengan strategi pendidikan alternatif untuk membangun pemikiran kritis, mewujudkan masyarakat berkeadilan jender dan pluralis.
”Pilihan ini mendukung kematangan untuk mengasah intelektualitas sekaligus mentransformasikan ke dalam aksi-aksi nyata,” ujar Misiyah yang sejak kecil bercita-cita menjadi guru, penyiar radio atau pekerja sosial untuk membangun desa.
Di KAPAL Perempuan Misiyah menemukan semua impiannya. Meski perjalanannya tidak mudah. Tantangan terberat dialami Misiyah dan kawan-kawannya KAPAL Perempuan pada masa Orde Baru saat kantor mereka sering diteror tentara. Bahkan dua pendiri KAPAL Perempuan pernah diciduk. Setelah Orde Baru, teror berlanjut oleh kelompok yang mengatasnamakan identitas tertentu dengan berbagai ancaman.
Kendati menghadapi berbagai ancaman, Misiyah tetap dengan KAPAL Perempuan. Ketika Yanti Muchtar meninggal pada tahun 2015, Misiyah pun meneruskan perjalanan KAPAL Perempuan, hingga kini. Meski telah banyak yang dicapai lembaga, Misiyah tetap merasa masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan, terutama masa pandemi Covid-19 saat ini.
”Beberapa kemajuan berbalik pada titik awal. Guncangan ekonomi dan gagap pada cara hidup baru ini mengakibatkan perempuan dijadikan tumpuan memikul beban dalam keluarga. PR-nya, bagaimana memperkuat perempuan supaya mampu bertahan sekaligus bebannya ditopang bersama. Ini hanya bisa dilakukan jika ada kesadaran atas kesetaraan jender dari dalam keluarga dan masyarakat serta pemerintah,” ujar Misiyah, yang rajin blusukan hingga ke desa-desa di kepulauan.
Misiyah bertekad membangun kerja sama lebih luas lagi dengan jaringan dengan landasan kerja gerakan, bukan sebatas program, serta memperbanyak pemimpin perempuan, terutama kalangan muda yang bersedia menekuni dan mengabdikan diri untuk gerakan perempuan. Harapannya, jangan ada satu pun perempuan yang tertinggal dalam pembangunan.
Misiyah
Lahir : Jember, 18 Agustus, 1967
Pendidikan: S-1 Universitas Jember
S-2 Universitas Indonesia
Organisasi :
Direktur KAPAL Perempuan Periode 2012-2016 dan 2016-2019