Imas Titi Rahmawati, Perajut Harapan dari Kedung Kandang
Imas berhasil memanfaatkan hobinya merajut untuk memberdayakan ibu-ibu dan santri pesantren di Kampung Kedung Kandang, Malang. Kini, kampung itu disebut sebagai kampung rajut.
Imas Titi Rahmawati (28) tidak mengira hobi merajutnya akan mengubah kehidupannya dan kehidupan orang banyak di sekitarnya. Keterampilan merajut yang ia perkenalkan kepada para ibu rumah tangga dan penghuni pesantren membuat mereka punya penghasilan tambahan.
Imas awalnya hanya iseng membuat kerajinan rajutan pada 2014. Imas, yang belajar merajut dari ibunya, memproduksi beberapa kerajinan, seperti taplak, tatakan gelas, dan hiasan. Belakangan, ia membuat produk mode, mulai dari tas, kaus kaki, hingga rompi.
Dua tahun kemudian, Imas dan keluarganya pindah rumah ke kawasan Kedung Kandang, Kecamatan Kedung Kandang, Kota Malang, Jawa Timur. Di tempat baru itu, hobi merajut mulai digarap lebih serius. Imas juga mulai melibatkan para ibu yang tinggal di kampugnya.
Di sekitar rumah saya ini, apalagi di atas bukit, banyak ibu-ibu yang menganggur. Kadang mereka ke ladang, habis itu tidak ada kegiatan
”Di sekitar rumah saya ini, apalagi di atas bukit, banyak ibu-ibu yang menganggur. Kadang mereka ke ladang, habis itu tidak ada kegiatan. Kadang mereka kerja untuk pabrik rokok, pekerjaan habis tidak ada kegiatan lagi,” kata Imas yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (24/12/2020).
Imas mendatangi para ibu dan mengajar mereka merajut dari nol secara cuma-cuma. Awalnya, hanya 10 orang yang mau terlibat. Meski tinggal di satu kelurahan, rumah mereka ada di atas bukit sehingga Imas mesti mengeluarkan tenaga esktra untuk mencapai rumah mereka. ”Tetapi, kegiatan ini tetap saya jalani,” kata Imas sembari tersenyum.
Lama-kelamaan semakin banyak ibu-ibu yang tertarik belajar merajut. Selain menambah keterampilan, penghasilan keluarga juga bertambah. Mereka dapat menjual hasil rajutannya ke toko Imas atau menjualnya sendiri. Sejauh ini, harga satu produk kerajinan produksi para ibu rumah tangga itu berkisar Rp 5.000-an hingga Rp 300.000-an.
Walaupun demikian, banyak kesulitan yang dihadapi Imas pada masa-masa awal. Betapa tidak, kualitas rajutan yang dihasilkan para ibu rumah tangga itu belum terjaga. ”Tahun pertama, banyak sekali hasil rajutan yang harus di-dedel (dibongkar) dan dirajut ulang,” kenang Imas.
Setelah memutar otak, ia mencoba mengatasi masalah ini dengan menjalankan sistem kerja baru. Ia meminta ibu-ibu binaannya itu hanya merajut satu bagian dari sebuah produk. Misalnya untuk membuat tas, ada yang hanya membuat bagian alas, ada yang membuat bagian samping. Satu tas bisa dibuat oleh empat sampai lima orang.
Cara seperti ini lebih mudah untuk ibu-ibu karena mereka hanya mengerjakan bagian yang sama setiap hari dengan pola yang sama. Sejak cara kerja itu diterapkan, tidak ada lagi hasil rajutan yang harus di-dedel karena kesalahan tusuk.
Untuk merangkai produk dan menjaga kualitas, Imas mengandalkan lima ibu yang benar-benar sudah terlatih. Hasil rajutan ibu-ibu lain di kampung di atas bukit dikumpulkan lalu disatukan bagian-bagiannya oleh kelima ibu tersebut.
Kampung rajut
Tahun berganti, semakin banyak warga di sekitar yang tertarik belajar merajut. Tidak hanya ibu-ibu, tetapi juga anak-anak sekolah dan santri pesantren di sekitar rumah Imas. ”Di dekat sini ada dua pondok pesantren yang santrinya belajar merajut. Kalau libur, mereka pulang membawa hasil rajutan. Kalau anak-anak sekolah biasanya membuat gantungan kunci. Mereka jual di rumah masing-masing,” kata Imas.
Imas menjual produknya melalui Instagram @croche_vissti. Selain itu, ia juga mengandalkan penjualan dari aneka pameran.
Lantaran semakin banyak orang yang belajar merajut di kampung Kedung Kandang, kampung itu lantas dinobatkan sebagai kampung rajut pada 2018. Tahun depan, Imas berencana mengajar teknik merajut kepada para penghuni lembaga pemasyarakatan.
Kalau membeli benang dalam jumlah sedikit tidak dapat menutupi harga jualnya. Jadi, kami beramai-ramai membeli benang. Sekali beli bisa Rp 10 juta
Banyak pihak yang mendukung usaha Imas. Universitas Merdeka Semarang, misalnya, memberikan berbagai pelatihan, termasuk soal pemasaran secara digital. Mereka juga mengusulkan pendirian koperasi.
Usulan itu berhasil diwujudkan. Koperasi yang didirikan sangat membantu para perajin yang kadang kesulitan mendapatkan bahan baku berupa benang. ”Kalau beli benang dalam jumlah sedikit tidak dapat menutupi harga jualnya. Jadi, kami beramai-ramai membeli benang. Sekali beli bisa Rp 10 juta,” kata Imas.
Belakangan, Imas lolos seleksi program Designers Dispatch Service dari Indonesia Design Development Center (IDDC). IDDC adalah lembaga di bawah Kementerian Perdagangan yang dirancang sebagai wadah kolaborasi antara pelaku usaha, desainer, asosiasi, akademisi, dan industri untuk berinovasi dan menghasilkan produk yang kompetitif di pasar global.
Dari IDDC, Imas memperoleh pengetahuan terkait cara mengembangkan produk berbasis desain dan membangun merek (branding) agar kompetitif di pasar global. Ia juga bisa membangun jaringan dengan perajin lain dan mendapat informasi terkini soal tren desain di dunia.
Pengetahuan baru yang ia peroleh, antara lain, membuat tudung saji dari rajutan. Produk semacam ini, kata Imas, perlu percobaan berkali-kali agar membuat rajutan menjadi kaku dan bisa berfungsi sebagai tudung saji.
Lebih jauh lagi, Imas mendapat akses ke pasar luar negeri antara lain Timur Tengah. Saat ini Imas sedang menjajaki kemungkinan ekspor ke Timur Tengah dan diharapkan tahun depan sudah ada ekspor perdana ke sana.
”Saya sudah memeriksa, seberapa kemampuan ibu-ibu untuk merajut. Jadi, sudah ada gambaran berapa produk yang bisa saya hasilkan sehingga kalau ada pembelian dalam jumlah besar dan bersamaan, saya sudah dapat memperhitungkan kemampuan saya juga,” kata Imas.
Kalau mau ada hajatan, mereka cepat sekali kerjanya karena uangnya akan digunakan untuk biaya hajatan.
Kecepatan para ibu merajut berbeda-beda. Ada yang mampu menyelesaikan taplak besar dalam satu pekan, ada yang tidak. ”Tetapi kalau mau ada hajatan, mereka cepat sekali kerjanya karena uangnya akan digunakan untuk biaya hajatan,” kata Imas sambil tertawa.
Kebutuhan lain pasar di Timur Tengah adalah barang rajutan untuk mainan bayi. Pembeli meminta bahan yang halus sekali sehingga tidak berbahaya jika dipegang oleh bayi. Sayangnya, di dalam negeri belum tersedia benang yang halus seperti yang diinginkan. Benang paling halus yang ada di sini pun belum dapat memenuhi persyaratan yang diajukan pembeli.
Imas masih memutar otak mencari cara untuk memenuhi permintaan tersebut. ”Kalau kita ambil benang dari sana, lalu dibuat di sini dan dikirim lagi, harganya menjadi sangat mahal,” kata Imas.
Namun, Imas tidak putus asa. Dia terus mencari kemungkinan sehingga apa yang diinginkan para pembeli dapat dipenuhi. Imas dan para ibu terus merajut. Benang-benang rajut yang dirangkai tusuk per tusuk secara teliti semakin terlihat bentuknya. Mereka terus merajut harapannya akan kehidupan yang lebih baik.
Imas Titi Rahmawati
Pendidikan:
- SMK Negeri 03 Malang tahun 2010 Jurusan Tata Busana
- Kelas Merancang, dengan sertifikasi menjahit dan merancang busana kategori excellent
Prestasi:
- Pemenang 3 Penghargaan Pemuda Pelopor 2017 Bidang Sosial dan Bela Negara
- Pemenang 1 Lomba Posdaya Wilayah Jatim II Kategori Produk Kain Terbaik 2016
- Penghargaan dari Kelurahan Kedung Kandang sebagai Destinasi Unggulan
Pengalaman pameran:
- Pameran Produk Unggulan Daerah Surabaya
- Inacraft Jakarta 2016
- Jawa Timur Fair Surabaya 2017
- Trade Expo Indonesia Jakarta 2018
- Expo Sampoerna Entrepreneurship Training Center Bali 2018