Prihatin dengan kerusakan hutan Gayo, sekelompok perempuan yang diketuai Sumini bergerak melindungi hutan. Mereka masuk keluar hutan untuk berpatroli mencegah pembalakan liar dan pemburu satwa langka.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
Sumini (45), ibu rumah tangga asal Dataran Tinggi Gayo, Aceh, sedih menyaksikan hutan rusak karena perambahan. Dia khawatir kerusakan hutan akan mendatangkan bencana alam. Ia pun mengajak para perempuan di tiga desa menjaga dan mengelola hutan.
Akhir 2015, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, diguyur hujan lebat berhari-hari. Warga yang tinggal di kaki Gunung Berapi Burni Telong di Desa Damaran Baru, Fajar Harapan, dan Kenine, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, merasa waswas.
Sumini dan suaminya Sujito pun tidak tenang. Dalam hatinya tebersit sesuatu yang buruk. Benar saja, tiba-tiba dari arah Gunung Burni Telong terdengar suara bergemuruh. Banjir bandang menerjang perkebunan dan rumah warga. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam kejadian yang berlangsung singkat itu. Namun, belasan rumah dan puluhan hektar kebun kopi rusak.
”Banjir bandang terjadi karena kondisi hutan di atas sudah hancur. Banyak perambah membuka kebun di dalam hutan lindung,” kata Sumini Selasa (17/11/2020), di sela-sela kegiatan konsolidasi perempuan menjaga sumber daya alam di Bener Meriah. Ia dan 20 perempuan lainnya mendiskusikan strategi mengelola hutan di Gayo.
Desa Damaran Baru dan dua desa lainnya berada di kaki gunung berapi aktif Burni Telong. Jika hutan di pinggang gunung itu rusak, desa-desa di kaki gunung menjadi sangat rentan tersapu bencana banjir bandang atau longsor. ”Kami tidak mau bencana ini terulang. Makanya kami harus bergerak melindungi hutan,” kata Sumini.
Pasca-peristiwa banjir bandang tahun 2015, warga di tiga desa bermusyawarah untuk menghentikan kerusakan hutan. Mereka membentuk kelompok yang bertugas menjaga hutan dari perambah dan pembalak liar. Sumini yang sebelumnya pernah aktif di lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan didorong oleh warga menjadi ketua kelompok pelindung hutan.
Anggota kelompok ini mayoritas perempuan. Jumlahnya berkisar 45 orang. Mereka membentuk tim perempuan ranger atau dalam bahasa Gayo disebut mpu uteun. Syarat untuk menjadi mpu uteun antara lain berbadan sehat dan mendapat izin dari suami bagi perempuan yang menikah.
Para perempuan ranger ini secara bergantian berpatroli di wilayah hutan setiap bulan selama 10 hari. Mereka berjalan kaki puluhan kilometer ke dalam hutan. Kadang mereka mesti bermalam di hutan dan tidur dengan atap langit. Selain menjaga hutan dari pembalak, selama patroli mereka mencatat keanekaragaman flora dan fauna serta menanam sejumlah pohon.
”Perlindungan hutan terkesan seperti pekerjaan untuk laki-laki saja, tetapi perempuan Kampung Damaran Baru mengambil peran kunci untuk melindungi kawasan hutan. Bagi kami menjaga hutan sama dengan menjaga kehidupan. Hutan itu napas hidup kami. Jika hutan rusak, perempuan juga yang akan menerima dampak lebih besar,” kata Sumini.
Patroli mereka biasanya dilakukan di kawasan hutan yang sangat penting untuk menunjang kehidupan warga seperti di wilayah pinggiran daerah aliran sungai. Jika ingin menjangkau wilayah hutan yang jauh dari desa, mereka berkolaborasi dengan tim patroli yang terdiri dari laki-laki.
Berbahaya
Sebagai perempuan, Sumini dan mpu uteun lainnya memainkan sejumlah peran menentukan. Mereka mengurus keluarga, mengurus kebun, dan mengurus lingkungan, termasuk hutan. Mereka mesti ”akrobatik” mengatur waktu. Tapi, hebatnya semua berjalan dengan baik selama bertahun-tahun.
Di samping itu, para perempuan tangguh ini juga mesti berhadapan dengan para perambah hutan dan pemburu satwa dilindungi saat berpatroli. Ini kegiatan yang berbahaya. Meski begitu, mereka punya cara untuk menghindar dari bahaya, yakni dengan berbicara.
”Sebenarnya saya agak takut juga berhadapan dengan perambah, tetapi biasanya (suara) perempuan lebih didengar,” ujarnya.
Sebelum 2019, kelompok perempuan penjaga hutan yang diketuai Sumini ini belum memiliki izin resmi mengelola hutan. Akibatnya, mereka hanya bisa menegur para perusak hutan yang masuk ke kawasan hutan mereka, tanpa bisa menindak atau memberi sanksi.
Berangkat dari persoalan itu, Sumini dan warga dari tiga desa, yakni Damaran Baru, Fajar Harapan, dan Kenine, mengajukan izin pengelolaan hutan desa pada 2 Februari 2019 kepada kementerian. Proses pengajian izin dibantu oleh Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh. Pengajuan itu dikabulkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada November 2019.
”Kami sangat bahagia, akhirnya kami punya hak untuk melindungi dan mengelola sumber daya di tanah kami sendiri,” kata Sumini.
Kawasan hutan yang dikelola kelompok ini menjadi satu-satunya hutan desa di Aceh yang dikelola oleh para perempuan. Luas hutan desa Damaran Baru yang mereka kelola luasnya sekiatr 251 hektar.
Setelah surat izin pengelolaan keluar, Sumini berencana mengelola hutan desa sebagai obyek wisata konservasi. Di hutan desa terdapat air terjun dan sungai. Di sebuah tanah lapang disiapkan lahan untuk berkemah.
Tahun 2020, Desa Damaran Baru masuk nominasi Anugerah Pesona Indonesia (API) sebagai desa wisata. Promosi wisata desa terus dilakukan. Namun, karena terjadi pandemi Covid-19 banyak wisatawan yang menunda berkunjung ke sana.
Sumini optimistis hutan desa itu akan menjadi sumber pendapatan baru bagi warga. Namun yang lebih penting, hutan akan kembali pulih dan risiko bencana semakin kecil. ”Anak-anak muda di desa juga semakin peduli pada lingkungan,” kata Sumini.
Sumini
Lahir: Timang Gajah, Bener Meriah 14 April 1975
Suami: Sujito.
Pendidikan terakhir: SMA.
Pekerjaan: petani kopi
Kegiatan: Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Kampung Damaran Baru