Kusni Sulang, Pengingat Nilai Budaya Dayak
Kusni Sulang, penulis dan sastrawan, biasa blusukan ke desa-desa Dayak untuk mengingatkan lagi nilai dan budaya Dayak. Ia kadang tinggal satu tahun di sebuah desa, lalu bergeser ke desa lain.
Nama Kusni Sulang (80) mungkin tidak asing bagi pembaca buku-buku budaya, khususnya soal Dayak. Ia memang dikenal sebagai penulis, penyair, dan banyak lagi. Namun pemikirannya yang besar menuntunnya untuk jalan dari desa ke desa mengenalkan kembali budaya Dayak.
Langit kembali abu-abu pada Minggu (20/12/2020) siang, Kusni Sulang mengangkati jemurannya dari pagar agar tidak basah. Sandal, sepatu pun dimasukkan ke dalam rumah.
Di dalam rumahnya, di mana-mana ada buku, kucing, dan bunga. Sederhana namun indah. Begitulah Kusni dikenal, sebagai sosok yang sederhana. Ia selalu menenteng tas tangan, mengenakan baju kaos berkerah dan celana kain panjang.
Seumur hidupnya dicurahkan untuk menulis dan berkarya tentang banyak hal, termasuk budaya. Namun, beberapa tahun terakhir, ia habiskan waktunya untuk jalan dari desa ke desa mengenalkan kembali sekolah budaya Dayak.
“Saya tidak mengajarkan mereka (masyarakat adat), karena saya juga belajar dari mereka. Saya hanya mengembalikan ingatan mereka soal nilai-nilai budaya,” ungkap Kusni.
Setidaknya ada lima desa di Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang ia kunjungi. Ia tinggal di sana selama setahun lebih. Dengan begitu, hubungan emosional dirinya dengan masyarakat di desa terbentuk.
Jalan dan tinggal dari desa ke desa itu bukan blusukan ala pejabat, bukan pula naik kuda sambil melihat bunga. Ia blusukan untuk menyatu dengan kehidupan masyarakat. Tinggal di satu rumah, lalu pindah ke rumah yang lain. Makan dari beras yang sama, bersenda-gurau, berdialog, bahkan bekerja bersama. Ia memegang prinsip “tiga sama” ketika bergaul dengan masyarakat desa, yakni kerja-makan-tidur bersama. Ia menganggap mereka guru sekaligus teman.
Baca juga: Masyarakat Adat di Kalteng Belum Diakui
Hubungan emosional yang dibangun bertujuan untuk mengingatan kembali nilai-nilai budaya dalam setiap ritual atau tradisi Dayak yang dijalankan di desa-desa. Ia mencontohkan, tradisi manetek pantan (memotong kayu), yakni tradisi yang dijalankan ketika tamu datang ke sebuah kampung. Belakangan tradisi ini juga dipakai dalam seremoni untuk menyambut tamu-tamu pejabat yang datang ke Kalteng.
“Dalam tradisi itu seharusnya ada dialog di dalamnya usai memotong kayu, harus ada yang bertanya kepada si tamu apa tujuannya datang kemari bukan sekadar menerima tamu. Saat ini, di desa-desa itu sudah dijalankan,” kata Kusni.
Selain bicara soal nilai budaya, Kusni menginisiasi sekolah budaya, mengembangkan keterampilan seperti membuat mandau atau parang khas Dayak, anyaman rotan dengan berbagai pola Dayak, dan membuat patung. “Banyak orang Dayak yang terjebak kegiatan ilegal seperti tambang emas ilegal maupun pembalakan liar. Itu terjadi karena mereka terdesak dan terpaksa, maka perlu dibuka matanya agar inisiatif itu muncul,” tambah Kusni.
Kusni juga mengenalkan sejarah Dayak. Ia sudah menulis begitu banyak buku dan artikel tentang itu. Tak hanya mengenalkan pemikirannya, ia juga mengenalkan pemikiran lain yang menurutnya relevan dengan sejarah Dayak.
Yang paling penting, Kusni tinggal dari satu tumah ke rumah yang lain untuk menjelaskan hak-hak masyarakat di dalam undang-undang atau peraturan pemerintah lainnya. Salah satu yang paling digemarinya adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. “Masyarakat di sana bahkan lebih paham dari pada anggota DPR soal undang-undang itu. Itu penting karena selama ini masyarakat ditakut-takuti soal aturan,” ungkapnya.
Baca juga: Mengintip Keunikan Kampung Adat Wologai
Kusni percaya, menjaga menjaga budaya bukan hanya pekerjaan pemerintah, tapi juga pekerjaan lembaga lain, organisasi, dan individu-individu. Bersama BIT, Kusni menginisiasi desa adat, meskipun belum sah secara administrasi kenegaraan. Sudah ada lima desa yang direkomendasikan untuk dijadikan desa adat. Mereka memulainya dengan melakukan pemetaan partisipatif, mengenal batas-batas desa, hingga mengenalkan lagi konsep desa adat Dayak.
Selain itu beragam diskusi dilakukan hingga akhirnya masyarakat sendiri yang mengambil keputusan apakah ingin dijadikan desa adat atau tidak. Hal itu dilakukan dengan menggunakan referendum desa adat, dari lima desa di Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, tiga desa menyatakan setuju menjadi desa adat atas kesadarannya sendiri. Sedangkan dua lainnya tidak setuju.
“Kami berharap pemerintah bisa lebih responsif mengesahkan kebijakan masyarakat adat dari pusat hingga ke daerah,” ungkap Kusni.
Penghargaan kebudayaan
Pada tahun 2020, Kusni Sulang menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia kategori Maestro Seni Tradisi bidang Pemelihara Adat Dayak. Baginya, penghargaan dalam kategori manapun dalam anugerah itu tidak mampu mencakup bidang kegiatannya apalagi disebut pemelihara adat. Ia menolak sebutan itu. “Adat itu dinamis, berkembang. Tidak statis, baik dalam bentuk maupun isi,” ujarnya.
Menurut Kusni, orang Dayak wajib menjaga dan mengawal nilai-nilai budaya. Itu merupakan ‘kutukan’. Seperti kutukan Eros (dewa cinta) pada Ahasveroz (sang pengembara) dalam sajak Chairil Anwar yang berjudul Tidak Sepadan. Sebuah tanggung jawab yang dalam kondisi apapun harus dijalankan.
Baca juga: Satu Lagi Hutan Adat di Kalteng Diusulkan
Kusni menggambarkan tanggung jawab melestarikan dan menjaga budaya, dalam setiap etnik apapun di Indonesia, seperti dirumuskan dalam sastra lisan Dayak Katingan rengan tingang nyanak jata yang artinya anak enggang putera-puteri naga.
“Visi-misi hidup manusia Dayak adalah membuat bumi, tanah air, kampung halaman menjadi tempat yang layak bagi kehidupan manusiawi,” ungkapnya.
Ia berharap caranya menjaga dan mengawal kebudayaan Dayak bisa menumbuhkan politik etnis yang mengedepankan konsep minoritas kreatif. Caranya dengan menumbuhkan desentralisasi kebudayaan beserta nilai-nilai budayanya.
“Berdiri di atas tanah Dayak, atau Flores atau etnis manapun itu penting, karena menjadi anak Dayak, anak Indonesia, dan anak manusia tidak bertentangan. Etnis dalam bangsa adalah pembatasan untuk kemanusiaan yang tunggal,” ungkap Kusni.
Kusni Sulang
Lahir: Kasongan, 25 September 1940
Istri: Andriani SJ Kusni
Pendidikan:
- Fisipol Universitas Gadjah Mada
- Ekonomi Pembangunan l’Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (l’EHESS, Paris)
- Hukum Internasional (New South Wales University, Sidney)
- Antropologi (l’EHESS, Paris)
- Sejarah ((l’EHESS, Paris)
Kegiatan saat ini:
- Pengasuh dan kontributor Halaman Budaya “Sahewan Panarung” dan Halaman Masyarakat Adat bersama istri, Andriani SJ Kusni, terbit setiap hari minggu di Harian Radar Sampit
- Konsultan riset di Borneo Institute sejak 2017
- Pendiri sekaligus Editor kepala di Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah (lembaga lokal di Palangka Raya yang berdiri sejak 2011 bergerak di bidang riset, penulisan dan penerbitan)
Karya-karya antara lain:
- Kumpulan Sajak Haussman Baboe: Naga Berlidah Api (Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, 2014)
- 100 Paribasa, Sewut, tuntang Tanding dayak Ngaju (Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, 2013)
- Kembali ke Sampit: Jendela Besar Terbuka Menghamparkan Kalimantan Tengah dan Tanah Air (Bayumedia, Malang, 2012
- Budaya Dayak: Permasalahan dan Alternatifnya, et. al. (Bayumedia, Malang, 2011)
- Senjata Tradisional & Pakaian Adat Dayak Kalteng (Badan Perpustakaan & Arsip Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, 2011)
- Kumpulan Sajak Edelweis (Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, 2011)
- Negara Etnik: Beberapa Gagasan Tentang Pemberdayaan dan Pembangunan Masyarakat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah (Fuspad, Yogyakarta: 2002)
- Dayak Membangun: Masalah Etnik Dan Pembangunan Kasus NgDayak aju, Kalimantan Tengah (PT Paragon, Jakarta: 1994)
- Sanjak dan Bunga (Yogyakarta: 1959)
- Indonesian Progresive Poem (Jajasan Pembaruan, Jakarta: 1962)
- Karungut Jata Sansana Tingang (PT Paragon Jakarta: 1994)
- Sansana Naga dan Tahun-tahun Pembunuhan (ISDM, Culemborg: 2000)
- Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil (Amanah Lontar Jakarta & Yayasan Sejarah Budaya Indonesia, Amsterdam: 2002)
Penghargaan:
- Anugerah Kebudayaan Indonesia 2020 Kategori Maestro Seni Tradisi – Pemelihara Adat Dayak