Adi Utarini, Peneliti Demam Berdarah dari UGM yang Diakui Dunia
Adi Utarini, profesor dari UGM, baru saja mengharumkan nama Indonesia. Namanya masuk dalam daftar 10 orang yang menentukan sains pada 2020 versi jurnal ilmiah bergengsi, Nature.
Oleh
ESTERLINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
DOKUMENTASI WMP YOGYAKARTA
Profesor Adi Utarini, ilmuwan Indonesia dari Universitas Gadjah Mada yang namanya masuk dalam daftar 10 orang penentu sains 2020 versi jurnal ilmiah Nature. Ia diakui kiprahnya berkat memimpin penelitian pemberantasan nyamuk penyebab demam berdarah dengue.
Adi Utarini (55) masuk dalam daftar 10 orang yang menentukan perkembangan sains pada 2020 versi Nature, jurnal ilmiah ternama dunia dari Inggris. Riset dia dan tim dinilai membuka jalan bagi manusia untuk melawan penyakit demam berdarah dengue (DBD) yang setiap tahun menjangkiti lebih dari 400 juta orang di seluruh dunia.
Adi Utarini yang biasa disapa Uut, sejak 2013 memimpin proyek riset untuk melawan nyamuk Aedes aegipty, pembawa virus DBD, dengan nyamuk sejenis yang mengandung bakteri Wolbachia. Uut tidak menyangka namanya akan masuk dalam daftar 10 orang yang menentukan sains versi jurnal Nature berkat penelitian ini.
Ia menceritakan, sekitar dua pekan sebelum laporan Nature itu terbit, ia sempat ditelepon reporter Nature dari London, Inggris yang mewawancarainya terkaitan penelitian dia dan tim. “Saya nyantai saja.... Seminggu setelah wawancara dikontak lagi (oleh orang Nature) yang mengabarkan akan mengirim fotografer ke Yogya, saya sempat bertanya-tanya juga. Segitu amat ya standar Nature. Kok tidak minta dikirim foto saja atau memakai fotografer dari Yogya,” ujar Uut yang tinggal di Yogyakarta kepada Kompas, Jumat (18/12/2020).
Tidak lama kemudian, ia terbengong-bengong karena mendapat kabar namanya masuk dalam daftar 10 orang yang menentukan sains. “Kok bisa ya?” ujar Project Leader for World Mosquito Program (WMP) Indonesia ini.
Karena kurang yakin dengan kabar itu, ia menghubungi Direktur WMP di Vietnam Scott O’Neill yang ternyata juga dihubungi Nature. Uut menduga namanya bisa masuk karena ada yang mengajukan. “Ternyata tidak. Nature punya cara sendiri untuk memilih,” tambah Uut.
Dalam daftar itu ada pula beberapa tokoh yang berperan penting dalam perang melawan pandemi Covid-19 antara lain Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus; ilmuwan vaksin dari Pfizer Khatrin Jansen; Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern; pembela sains dari AS Anthony Fauci; dan arsitek karantina total Wuhan Li Lanjuan.
Nature menyebut Uut sebagai “komandan nyamuk” lantaran ia memimpin riset untuk menanggulangi DBD yang melibatkan banyak ilmuwan. Tim meneliti nyamuk Aedes aegipty yang diinfeksi dengan bakteri Wolbachia. Nyamuk itu disebarkan agar menularkan nyamuk Aedes aegipty lainnya yang membawa virus DBD.
Penelitian dilakukan di Kota Yogyakarta yang memiliki transmisi penularan DBD tinggi. Hasilnya telah dirilis akhir Agustus lalu dengan kesimpulan teknologi Aedes ber-Wolbachia mampu menurunkan 77,1 persen kejadian DBD di wilayah yang diberi intervensi.
Adi Utarini dan tim telah mengeksekusi pengujian dengan standar sangat tinggi dan menyodorkan kepada kita bukti keampuhan teknologi ini
Hasil ini membuka harapan dunia untuk mengakhiri perang melawan nyamuk pembawa virus DBD yang telah berlangsung puluhan tahun terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. “Adi (Utarini) dan tim telah mengeksekusi pengujian dengan standar sangat tinggi dan menyodorkan kepada kita bukti keampuhan teknologi ini,” ujar Scott O’Neill seperti dikutip Nature.
Sejauh ini, upaya pemberantasan DBD, seperti pengasapan/fogging, pemberantasan sarang nyamuk, 4M Plus (menguras, mengubur, menutup, dan memantau tempat yang potensial sebagai tempat nyamuk), belum berhasil menurunkan jumlah penderita DBD secara signifikan. Riset pemberantasan DBD dengan intervensi nyamuk ber-Wolbachia bisa menjadi salah satu solusi yang alami.
“Sudah lebih 50 tahun negara (Indonesia) melawan DBD. Sudah berapa banyak nyawa, orang sakit, dan anggaran yang habis. Teknologi Wolbachia Ini betul-betul harapan baru, bisa jadi jurus baru yang melengkapi dan menguatkan program pengendalian DBD yang sudah jalan,” tegas Uut.
Di luar keberhasilan riset ini, ada satu hal yang mengganjal di hati Uut. Dia melihat penerapan teknologi ini di Indonesia belum dilakukan secara serius. “Akan sedih banget kalau teknologi ini sudah terbukti dan Indonesia sebagai pioner, tapi justru negara lain yang sukses menerapkan,” ujar Uut.
Menurut Uut, di Indonesia ada anggapan jika hasil riset sudah bagus, maka dengan sendirinya riset itu penerapannya bisa berjalan begitu saja. Padahal, penerapan hasil riset membutuhkan dana tersendiri yang jumlahnya besar.
Selain itu, perlu kerja sama antar lembaga terutama dalam menentukan lokasi target implementasi penelitian. Fasilitas pendukung terutama penghasil telur nyamuk juga mesti ditingkatkan. “Fasilitas yang dimiliki saat ini berkapasitas 1-2 juta telur per minggu. Itu hanya cukup untuk DIY,” kata Uut yang pada 2021 telah mempersiapkan penerapan penelitian ini di Sleman dan Bantul.
Jika model implementasi riset ini tidak dipikirkan dengan baik, lanjut Uut, Indonesia tidak bisa menikmati keuntungan dari hasil riset ini. Padahal sebagai negara dengan kasus tertinggi DBD tertinggi ke-2 di dunia setelah Brasil, Indonesia perlu terobosan baru untuk mengakhiri perang melelahkan melawan DBD.
ARSIP WMP YOGYAKARTA
Peneliti utama World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta, Adi Utarini, memberi penjelasan mengenai hasil penelitian penanggulangan demam berdarah dengue dengan bakteri Wolbachia, Rabu (26/8/2020), di Yogyakarta.
Sebagai peneliti, Uut mengaku telah melakukan riset secara maksimal bersama tim. “Mimpi saya sekarang bukan lagi di riset, tapi bagaimana teknologi (hasil riset) ini bisa dinikmati masyarakat di tempat lain, bukan hanya di DIY,” tambah guru besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada itu.
Baik dan buruk
Uut adalah peneliti yang punya jejak panjang di dunia penelitian. Ia sempat meneliti penanggulangan penyakit TBC dan malaria. Sejak 2013, ia direkrut sebagai pemimpin proyek penelitian terkait DBD yang didanai Yayasan Tahija bekerja sama dengan Pusat Kedokteran Tropis FK-KMK UGM. Uut mengaku sejak awal sangat antusias bergabung dengan penelitian ini.
Kami sangat antusias karena penelitian ini dibiayai filantrofi Indonesia sampai tuntas hingga hasil akhir. Ini sumber kebanggaan (kami)
”Kami sangat antusias karena penelitian ini dibiayai filantrofi Indonesia sampai tuntas hingga hasil akhir. Ini sumber kebanggaan (kami),” katanya.
Uut menjelaskan dirinya bukan ahli nyamuk, melainkan ahli kebijakan kesehatan masyarakat. Dengan latar belakang itu, ia bernegosiasi dengan kementerian, pemerintah daerah, dan lembaga lain agar hasil riset bisa diterapkan dalam kebijakan. Ia turun langsung untuk menyosialisasikan riset ini ke masyarakat dan media. Dalam beberapa hal ia mesti meyakinkan masyarakat yang awalnya menolak pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di daerah mereka.
Ia bersyukur hasil penelitian timnya diakui dan disambut antusias. “Bahkan sebelum hasil final riset keluar, kami telah menerima pertanyaan dari komunitas, ‘kapan Anda melakukan itu (menyebar nyamuk ber-Wolbachia di daerah kami?’,” ujar Uut.
Berkat memimpin penelitian ini, Uut mendapat pengakuan dari beberapa lembaga bergengsi setahun terakhir ini. Pada November 2019, ia meraih penghargaan Habibie Award 2019 dan setahun kemudian namanya masuk dalam daftar 10 orang yang menentukan sains vesi Nature.
Bagi Uut, pengakuan dari Nature merupakan bonus penutup tahun yang indah di tahun yang berat akibat pandemi Covid-19. Ia kehilangan suaminya, Prof Iwan Dwiprahasto yang meninggal akbat Covid-19 pada Maret lalu. “Jadi, hal yang sangat baik dan (yang membuat) sedih datang di tahun yang sama. Ini pembelajaran kehidupan yang harus dijalani,” ujar Uut yang memilih bermain piano untuk mencari cara melupakan masa-masa yang sulit.
Terlepas dari itu semua, ia bangga bisa memimpin penelitian penting ini. Sebuah penelitian yang menjadi salah satu sumbangan Indonesia pada kesehatan dunia.
Adi Utarini
Lahir: Yogyakarta, 4 Juni 1965
Pendidikan: Doctor of Philosophy dari Umea University, Swedia (2002)
Penghargaan:
Habibie Award Bidang Kedokteran dan Bioteknologi Tahun 2019
Nature’s 10: Ten People Who Helped Shape Science in 2020