Wawan Sofwan, Rumah Tangga Teater
Berawal minder karena tak percaya diri tampil di depan umum, Wawan Sofwan justru menemukan jalan hidup sebagai aktor sekaligus sutradara pentas teater. Dia pun ingin membuktikan pentas teater bisa menghidupi.
Wawan Sofwan (55) secara sadar memilih teater sebagai jalan hidup. Ia menemukan persenyawaan antara ilmu kimia, yang ia tekuni di perguruan tinggi dengan dunia teater, yang jadi pilihan masa depannya. Padahal sebelumnya, ia benar-benar tak yakin, bahwa teater bisa menjadi pilihan profesi lantaran keterbatasan kepribadiannya.
“Saya minderan, takut sekali tampil di depan umum, bahkan hanya untuk mengucapkan satu kata…” kata Wawan Sofwan, Minggu (6/12/2020) dari Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Ia sedang dalam perjalanan untuk melihat potensi budaya masyarakat Labuan Bajo atas undangan seorang teman. “Siapa tahu bisa digarap jadi pertunjukan teater,” tambah Wawan.
Sewaktu mulai kuliah di IKIP Bandung (sekarang UPI Bandung) tahun 1984, Wawan memilih jurusan Pendidikan Kimia. Pilihan bidang studi ini didorong oleh keinginan untuk mengisi “kekurangan” guru kimia di kota kelahirannya, Ciamis, Jawa Barat. “Jadi itu spontan saja, walau kemudian saya ingkari sendiri,” kata Wawan.
Seorang teman bernama Mahfudi, suatu hari minta diantarkan ke Unit Kegiatan Kampus (UKM) Teater. Saat itu, secara spontan pula Mahfudi meminta agar Wawan ikut mendaftar. Wawan mendaftarkan diri sebagai bentuk solidaritas kepada Mahfudi.
Saat-saat latihan teater, bagi Wawan, tak ubahnya saat-saat yang paling menyiksa. Apalagi kalau dua pelatihnya, Godi Suwarna dan Tisna Sanjaya memintanya untuk berbicara. “Saat berkenalan misalnya, saya hanya bilangnya ‘sama seperti Mahfudi’, itu sudah dengan berkeringat dingin,” tutur aktor kelahiran Panjalu, Ciamis, Jawa Barat ini.
Ya pokoknya, dari mendesain panggung, lampu, sampai kostum. Semua saya kerjakan.
Wawan menjadi tambah minder, karena kawan-kawan sesama pegiat teater kampus selalu menertawakannya. “Ah…pasti tidak keluar suaranya…hampir selalu saya diejek seperti itu,” ujar Wawan. Lantaran merasa tidak berbakat sebagai aktor, ia kemudian lebih mengalihkan perhatiannya pada “pekerjaan” seorang kru panggung. “Ya pokoknya, dari mendesain panggung, lampu, sampai kostum. Semua saya kerjakan,” ujarnya.
Peran pertama yang ia dapat saat bersama teater IKIP Bandung berperan sebagai pengawal dalam naskah Durma Yudha karya Godi Suwarna. “Tetapi sepanjang pertunjukan saya cuma dapat satu dialog ‘Ya Tuanku…’ Terus saja begitu sampai pertunjukan selesai…Hahaha…” tutur Wawan berderai-derai.
Baca juga:
Joko Anwar, Standar Baru untuk Dilampaui
Momentum
Momentum penting dalam perjalanan karirnya di dunia teater terjadi ketika tahun 1988 ia menjebloskan diri dengan bergabung bersama Studiklub Teater Bandung (STB) pimpinan Suyatna Anirun. Tahun-tahun itu, kata Wawan, nama Suyatna Anirun sudah berkibar-kibar dalam dunia teater Indonesia, sejajar dengan Arifin C Noer atau Putu Wijaya. “Tujuan saya ikut STB, ingin membuktikan bahwa saya bisa jadi aktor dengan mengandalkan ketekunan,” kata Wawan.
Dalam kelompok ini, Wawan menimba ilmu keaktoran dengan menjajal lakon-lakon terjemahan, sebagaimana yang menjadi kecenderungan STB. Tetapi, katanya, lagi-lagi ia cuma kebagian peran-peran pelengkap. Dalam lakon King Lear karya William Shakespeare, misalnya, ia kebagian berperan sebagai pengawal. “Ya sama dialognya cuma ‘Ya Tuanku…’ terus begitu,” ungkap Wawan.
Lantaran STB terus-menerus memainkan naskah-naskah asing, Wawan merasa sisi keaktorannya kurang berkembang. Ia kemudian nekat mendirikan kelompok bernama Main Teater Bandung bersama Nandang Aradea (alm), Otong Durahim, dan Deden Abdul Aziz. Kelompok inilah yang kelak menjadi tim produksi Wawan dalam menggarap kerja teater.
Saya bertekad bahwa teater juga bisa menjadi pilihan untuk hidup…
Suatu hari, calon istrinya Een Rohaeni bertanya, “Siapa yang akan menjadi pegawai negeri kelak?” Sebagai sesama penggelut dunia teater, Wawan merasa Een ingin berbagi peran agar “teater” rumah tangga mereka kelak tidak terganggu oleh kinerja dunia panggung. Dengan penuh keberanian Wawan menjawab,”Biar saya di panggung, kamu jadi pegawai saja,” katanya.
Jawaban ini, tambah Wawan, bukan berarti ia melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. “Saya bertekad bahwa teater juga bisa menjadi pilihan untuk hidup…” katanya.
Een sekarang menjadi guru kimia di SMKN 13 Bandung dan Wawan meneruskan karirnya di dunia teater. Di sini lah kemudian bagi-bagi peran itu benar-benar menjelma dalam rumah tangga keduanya.
Sebagai konsekuensinya dengan segala risiko dan tantangannya, Wawan memperlakukan dunia teater sebagai dunia profesional. Bukan berarti ia kehilangan idealismenya dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dalam teater, tetapi ia ingin menerabas anggapan dunia teater “cuma” sekadar babakan iseng dalam hidup. “Teater juga bisa menghidupi,” tekadnya.
Tekad itu dibuktikan Wawan ketika ia menekuni dunia keaktoran dengan memainkan lakon-lakon monolog. Ia misalnya, secara berseri menggubah pidato Bung Karno (Presiden Soekarno) menjadi tujuh seri monolog. Bersama Main Teater Bandung, ia memainkan lakon-lakon itu sampai ke Rusia, Jerman, Australia, serta kota-kota di Indonesia.
Wawan juga menulis lakon-lakon monolog serta lakon-lakon besar, seperti Bunga Penutup Abad dan Nyai Ontosoroh, keduanya dari buku karya Pramoedya Ananta Toer; lalu Ladang Perminus dari novel Ramadhan KH, dan Lockdown dari novel Albert Camus. Saat menulis lakon-lakon ini, Wawan benar-benar menggunakan pulpen dan kertas. “Saya tulis tangan, bisa sampai tujuh draft, barulah diketik…” katanya.
Baca juga:
Supriyadi Hasanin, Baju Baru untuk Lagu Melayu
Mengapa?
“Tulisan tangan membuat saya menemukan irama, aksentuasi, gerak motorik sebagaimana rumus-rumus dalam ilmu kimia. Jadi ada chemistry antara ilmu kampus dan dunia teater,” kata Wawan. Dalam ilmu kimia, unsur-unsur persenyawaan antara zat sudah bisa diprediksi dengan melakukan analisis laboratorium. Wawan ingin setiap naskah yang ia tulis mempraktekkan analisis dalam ilmu kimia, sehingga ketika dipanggungkan benar-benar presisi.
Ayah dari Nirvana Vania dan Audriane Sheyla Firdaus, ini, misalnya telah membuktikan penerapan ilmu kimia itu dalam pementasan Bunga Penutup Abad yang diproduseri aktris Happy Salma. Wawan tak hanya menjadi penulis naskah yang menggubah tetralogi novel Pulau Buru dari Pramoedya Ananta Toer, ia juga bertindak selaku sutradara.
Lakon ini dipentaskan di Jakarta dan Bandung dalam dua periode pementasan. Dalam setiap pentas, seluruh tiket pertunjukan selalu terjual habis. “Persiapannya setahun untuk BPA, Bunga Penutup Abad,” ujar Wawan.
Kini ia sedang mempersiapkan pementasan Lokcdown, sebuah lakon yang digubah dari novel La Peste karya Albert Camus. Novel ini mengantarkan Camus meraih Hadiah Nobel tahun 1957. Menurut Wawan, peristiwa dalam novel ini memiliki kemiripan dengan apa yang kini dialami umat manusia dewasa ini.
Pandemi Covid-19 telah membuat hampir seluruh kota di dunia menerapkan lockdown, sehingga mengakibatkan kemerosotan dalam berbagai bidang. Penyakit pes atau sampar, telah menghancurkan kota Oran, sebuah koloni Perancis di Aljazair, dan mengakibatkan kematian umat manusia dalam jumlah besar.
“Sekarang kita bertemu hal yang serupa. Pandemi telah menghancurkan tatanan kehidupan kota, perilaku yang berubah, serta kematian yang seperti tak berhenti. Rasanya waktunya untuk berefleksi lewat dunia seperti teater,” kata Wawan. Teater, tambahnya, mengajak manusia kembali menoleh ke dalam diri, memperhatikan langkah-langkah hidup, sembari mencoba mengambil teladan di dalamnya.
Memang, katanya, teater tak mungkin menggerakkan sebuah demonstrasi, tetapi ia memberi inspirasi dan strategi. “Tinggal bagaimana kita memetik segala perenungan di dalamnya,” tutur Wawan sebelum menutup obrolan jarak jauh kami. Terakhir, katanya, teater memberi apa yang tidak bisa diberi oleh ilmu dalam menjalani hidup. Apa itu? “Nilai hidup!” katanya.
Pandemi telah menghancurkan tatanan kehidupan kota, perilaku yang berubah, serta kematian yang seperti tak berhenti. Rasanya waktunya untuk berefleksi lewat dunia seperti teater.
Wawan Sofwan
Lahir : Panjalu, Ciamis, 17 Oktober 1965
Pendidikan :
Pendidikan Kimia IKIP Bandung
Beasiswa Goethe Insitute di Berlin (1995-1996) dan Manheim (2004)
International Theater Institute Germany Hamburg (2005)
Karir Teater :
Teater IKIP Bandung (1984)
Studiklub Teater Badung (1988)
Main Teater Bandung (1994)
Mulai menjadi sutradara (1999)