Toni Artaka, Anggrek yang Menggerakkan Konservasi Hutan
Bunga anggrek menjadi bahasa komunikasi dengan warga sekitar kawasan hutan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Dimulai dari anggrek, perlahan, urusan konservasi hutan pun tercapai.
Bunga anggrek menjadi ”bahasa komunikasi” dengan warga sekitar kawasan hutan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Dimulai dari anggrek, perlahan, urusan konservasi hutan tercapai.
”Pohon pinus besar tumbuh dari tunas kecil. Perjalanan ribuan kilometer dimulai dari bawah kakimu”. Begitulah Lao Tzu, beberapa abad lalu, menggambarkan ajaran filsafat China, Tao Te Ching. Intinya, semua yang besar bermula dari hal kecil. Perjalanan ribuan kilometer pun berawal dari sebuah langkah.
Hal itu pula dilakukan oleh Toni Artaka (47), pencinta anggrek dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Toni adalah Kepala Resor Ranu Darungan di Lumajang, Jawa Timur, sekaligus sebagai inisiator terciptanya Taman Anggrek Ranu Darungan, tempat menangkarkan aneka anggrek hutan TNBTS. Luas taman anggrek yang terletak di Pronojiwo, Lumajang, itu sekitar 3.600 meter persegi. Lokasinya berada di ketinggian 800 meter-1.500 meter di atas permukaan laut.
Di taman tersebut hidup ratusan jenis anggrek endemik kawasan TNBTS. Taman yang dibangun tahun 2017 itu sehari-hari dirawat oleh warga Desa Pronojiwo, yaitu Ismail dan Samian (45). Dulu mereka pemburu anggrek. Kini, mereka penggerak warga untuk menjaga kelestarian hutan.
Artaka-lah yang berhasil menggandeng Ismail dan Samian untuk menjaga anggrek dan hutan kawasan TNBTS. Di luar mereka, Artaka juga menghimpun warga untuk turut mendukung kelestarian hutan dan seisinya.
Baca juga : Bisik Syahdu Anggrek Semeru
Munculnya taman anggrek itu tak lepas dari kecintaan Artaka memotret anggrek. Ia mengenal anggrek sejak kecil karena orangtuanya juga pencinta anggrek. Saat masih SMP, ia sudah diajari orangtuanya untuk menyilangkan anggrek.
Tahun 2015, Artaka pindah dari Resor Ranupani ke Resor Ranu Darungan. Mendapat amanah menjaga kawasan hutan dan Ranu Darungan di lereng selatan Semeru, ia secara perlahan mulai memetakan potensi kawasan tempat tugasnya itu, mulai dari potensi hingga tantangannya. Salah satu potensi yang ia lihat adalah anggrek-anggrek endemik endemik Bromo-Tengger-Semeru.
Di Ranu Darungan, Artaka kembali melanjutkan hobi memotret anggrek. Memotret anggrek sudah dilakoninya sejak 2010. Berbekal fotokopi buku babon Orchids of Java karya JB Comber, Artaka melanjutkan hobinya mendata dan memotret anggrek.
Namun, kali ini, ia tidak sendiri. Ia mengajak beberapa orang, termasuk warga desa, sebagai bagian dari timnya. Pendataan anggrek secara resmi dimulai sejak 2016. Mereka keluar masuk hutan, siang dan malam, guna memotret anggrek. Ada saatnya mereka memerlukan waktu memotret khusus, dan adakalanya hal itu dilakukan sambil lalu ketika sedang mengecek hutan.
Setelah ratusan koleksi foto anggrek dikantongi, rasa galau justru membekap Artaka. Ia khawatir, jika fotonya dicetak dan diterbitkan, justru akan berbahaya bagi populasi anggrek Semeru sendiri. “Saya khawatir foto ini akan mengundang pemburu dan kolektor untuk datang dan mengambili anggrek endemik Semeru,” katanya.
Rasa galau membuat Artaka hanya menyimpan foto koleksi anggreknya selama beberapa tahun. Pada 2018, ia bertemu fotografer kawakan Don Hasman. Ia mengatakan, jika foto-foto koleksi Artaka tidak dicetak, ratusan jenis anggrek endemik itu tak pernah terdokumentasi. Generasi mendatang tak akan tahu kawasan TNBTS menyimpan keanekaragaman hayati luar biasa.
”Berita baik harus dikabarkan. Kalaupun nanti mengundang pemburu, tidak apa-apa. Nanti dicari cara agar anggrek itu tidak diburu,” kata Don ketika itu.
Pernyataan Don menyemangati Artaka untuk membukukan foto-foto anggreknya. Buku Anggrek Taman Nasional Bromo Tengger Semeru edisi I dicetak tahun 2019, berisi 180-an koleksi anggrek. Edisi kedua sudah disiapkan.
Baca juga : Sepotong Ketenangan di Ranu Darungan
Dekat
Artaka mengatakan, anggrek selama ini menjadi bahasa komunikasi dengan warga sekitar kawasan hutan. Dimulai dengan anggrek, hubungan terjalin semakin baik. Urusan konservasi hutan pun menjadi lebih gampang.
Ia tidak mau menggunakan kekerasan dalam menjaga hutan. Kalau ia bertemu pemburu pakis, ia akan membeli pakis itu dan meminta mereka tidak membabat pakis karena bisa membahayakan pohonnya. Pakis biasanya diambil warga dengan cara dibabat pohon induknya.
Untuk menjalin kedekatan dengan warga, Artaka siap memenuhi undangan warga yang menggelar hajatan. Meski menjabat kepala resor, pria yang mulai bekerja di TNBTS tahun 2000 itu tidak menempatkan diri sebagai seorang petinggi. Ia memilih menjadikan dirinya teman dan bapak bagi warga. Dengan begitu, warga bisa mengadu kepadanya.
Pendekatan manusiawi itulah yang menimbulkan simpati warga. Warga tidak merasa dikejar-kejar dan ditakut-takuti. Itu sebabnya, tahun 2016, warga berinisiatif membentuk kelompok tani binaan.
”Awalnya atas inisiatif mereka sendiri. Mereka ingin berperan melestarikan air di kawasan Ranu Darungan. Mereka sadar air ranu yang selama ini mereka konsumsi bisa surut jika kawasan hutan tidak dilindungi dan pohonnya terus dibabat,” kata pria lulusan S-1 Kehutanan Institut Pertanian Malang itu. Air Ranu Darungan memang surut setiap dua tahun sekali.
Warga dengan sukarela membersihkan Ranu Darungan. Tanpa dukungan dana, warga bekerja sama membersihkan ranu dari tanaman salvinia dan gulma lain di dasar danau. Setahun mereka bisa tiga kali membersihkan ranu.
”Karena tanaman ini cukup banyak, dan tidak ada tempat khusus membuangnya, gulma akhirnya hanya ditumpuk di kebun salak pinggir jalan milik kelompok tani binaan. Gulma tersebut dibiarkan mengering dan menjadi pupuk organik. Rupanya pupuk organik itu cukup berhasil menyuburkan tanaman salak warga,” ujar Artaka.
Tahun 2019, Artaka mendapatkan suntikan dana resmi dari tempatnya bekerja untuk membersihkan Ranu Darungan secara rutin. Jika tidak dibersihkan, gulma akan menutupi ranu sehingga mengganggu ekologi ranu.
”Tidak mungkin menjaga hutan tanpa melibatkan warga sekitar. Tidak mungkin pula setiap saat petugas TNBTS harus kejar-kejaran dengan warga yang selama ini hidup dari hutan. Yang dibutuhkan adalah pemberdayaan warga sekitar. Kalau tidak boleh merambah hutan, mereka tetap bisa hidup dari hal lain. Di sanalah fungsi pembinaan dan pemberdayaan,” tutur Artaka.
Hubungan manusiawi saling menguntungkan itu menyebabkan kelompok tani binaan TNBTS terus berkembang. Awalnya, mereka hanya kelompok tani pelestari air, lalu berkembang menjadi kelompok tani madu dan pakan ternak. Ada sekitar 140 warga desa tergabung dalam kelompok tani binaan TNBTS saat itu.
Dari semula hanya bicara soal anggrek, Artaka akhirnya secara perlahan mengenalkan nilai-nilai konservasi. Kini, warga binaan TNBTS-lah yang sukarela turut menjaga dan mengawasi hutan jika ada orang yang ingin merusaknya.
Toni Artaka
Lahir: Malang, 12 September 1973
Istri: Sayekti Rahayu
Anak: Arrayana Artaka dan Aryahiyata Artaka
Pendidikan: S-1 Kehutanan di Institut Pertanian Malang
Aktivitas:
- Kepala Resor Ranu Darungan TNBTS (2016-sekarang)
- Kepala Resor Ranupani TNBTS (2013-2016)
- Mendokumentasikan dan melestarikan anggrek di kawasan Bromo-Tengger-Semeru