Wilhelmina Bona dan Margareta Muti, Menenun Hingga Akhir Hayat Tiba
Wilhelmina Bona yang kini berusia 94 tahun dan Margareta Muti yang berusia 75 tahun terus menenun. Mereka menjaga tradisi yang wajib dimiliki setiap perempuan di tanah Timor, NTT.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Perlahan-lahan jari-jari keriput pucat itu merapikan benang yang sebentar lagi dirajut menjadi lembaran kain tenun ikat. Jari keriput itu milik Wilhelmina Bona (94) dan Margareta Muti (75), dua perempuan lanjut usia yang hampir sepanjang hidup mereka lewati dengan menenun. Bagi mereka, menenun sekaligus menjaga budaya yang kian tergerus modernitas.
Benang yang digunakan untuk membuat lembaran kain tenun itu dipintal sendiri dari kapas, bukan benang yang dibeli dari toko. Untuk satu lembar kain dengan panjang 3 meter dan lebar 1 meter, diperlukan sekitar 3 karung kapas. Karung dimaksud yang biasa digunakan mengisi beras ukuran 50 kilogram. Dengan tenaga yang tak lagi energik, mereka memintal benang itu setiap waktu senggang. Butuh waktu hampir satu tahun untuk memintal semuanya.
Selesai dipintal, benang direndam dengan berbagai ramuan dari kulit kayu, kemiri, dan mengkudu. Perendaman itu berlangsung selama tiga hari, kemudian benang dikukus. Proses itu diulangi sebanyak lebih dari tiga kali. Selanjutnya benang dijemur. "Tujuannya, benang semakin kuat dan tidak mudah putus," kata Muti dalam bahasa daerah Dawan, disambut anggukan Bona. Keduanya ditemui akhir Oktober 2020 lalu.
Bahasa Dawan adalah bahasa daerah yang digunakan sebagian masyarakat yang mendiami Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Muti dan Bona berasal kampung Fatubesi, Desa Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Malaka. Mereka menganut budaya Dawan. Kampung mereka di pedalaman, terpaut sekitar 256 kilometer utara Kupang, ibu kota Provinsi NTT. Perjalanan dengan bis memakan waktu lebih dari tujuh jam.
Identitas daerah dan budaya mereka yang mereka anut tercermin dalam karya tenun ikat yang mereka hasilkan. Salah satunya warna merah maron yang menjadi kekhasan. Warna itu terbuat dari akar mengkudu kemudian dicampur dengan berbagai kulit kayu. Sering juga diberi variasi kuning dengan menambahkan kunyit. Kadang juga ada titik-titik hitam setelah diberi campuran daun tarum dan kapur.
Mereka membentuk motif dengan cara diikat. Ada motif manusia, kadal, dan bunga yang merupakan simbol kehidupan semesta. "Di dunia ini tidak hanya manusia sendiri, ada hewan dan juga tumbuhan yang punya hak yang sama. Tidak boleh saling meniadakan. Alam akan marah kalau itu terjadi," kata Bona yang dipunggung tangannya terdapat tato bergambar motif tenun.
Kain tenun yang mereka hasilkan ada dua macam. Untuk pria berupa kain panjang sementara perempuan dirajut lagi menjadi bentuk sarung. Tenunan pria biasanya lebih panjang, sekitar hampir tiga meter sedangkan wanita hanya sekitar dua meter. Lebar kedua jenis kain hampir sama, yakni sekitar satu meter.
Kain tenun yang terbuat dari benang kapas yang dipintal sendiri lebih tebal sehingga membantu menghalau suhu dingin yang kerap menerjang daerah itu. Dengan pewarna alami, warna kain tidak akan luntur bila dicuci. Kain bertahan hingga puluhan tahun. Bahkan, kain yang digunakan untuk membungkus jenazah masih tetap awet apabila puluhan tahun kemudian makam dibongkar.
Bona adalah generasi tertua yang ada di kampung itu. Ia lalu mewariskan kemampuan menenun kepada generasi berikutnya, salah satunya adalah Muti. Dari tangan dua orang itu, telah lahir puluhan penenun. Kini keduanya menjadi tempat belajar dan bertanya. "Sekarang desa mulai mengembangkan kembali tenun ikat. Mereka berdua ini jadi mentor," kata Lusia Metom (54), generasi berikutnya setelah Muti.
Rumah Bona dan Muti di kampung Fatubesi kini banyak didatangi kaum ibu bahkan hingga generasi milenial, untuk belajar menenun. Dengan bantuan dana desa, terbantuk banyak kelompok penenun. Hasil karya penenun di kampung mulai laku di pasar lokal setelah pemerintah setempat mewajibkan pegawai, guru, dan anak sekolah mengenakan kain tenun pada hari tertentu.
Kain tenun semakin naik pamor setelah gencar dipromosikan baik oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten. Promosi kain sarung berbarengan dengan promosi destinasi wisata NTT. Kain tenun, selain menjaga budaya, juga mendatangkan penghasilan secara ekonomi. Di daerah itu, harga kain tenun untuk jenis pria bisa mencapai Rp 10 juta per lembar sedangkan wanita sekitar Rp 7,5 juta per lembar.
Bona dan Muti adalah turunan bangsawan dari Kerajaan Sasitamean, kerajaan yang ada di dataran tinggi Kabupaten Malaka atau foho dalam sebutan masyarakat lokal. Sejak usia belasan tahun, mereka mulai belajar menenun. Ketika pendudukan Jepang menjelang kemerdekaan Indonesia, usia Bona di atas 20 tahun. Ia dan beberapa gadis sebaya lari ke hutan dan di sana mereka terus belajar menenun.
Menenun merupakan tanda kedewasaan seorang gadis sebelum membentuk rumah tangga. Menenun adalah keterampilan wajib. "Dulu kalau anak gadis belum tahu tenun, belum bisa menikah," ujar Muti. Setiap ada calon laki-laki yang datang meminang mereka, orang tua mereka yang akan menguji keterampilan menenun. Berkat kehebatan menenun, Bona dipersunting oleh pangeran dari Kerajaan Kusa, kerajaan lain di dataran itu.
Di kalangan masyarakat setempat, kain tenun menemani mereka sepanjang usia. Sejak lahir mereka dibungkus dengan kain tenun dan pada saat meninggal jenazah mereka ditutup dengan kain tenun pula. Setiap upacara adat, penikahan, dan kematian, semua diwajibkan mengenakan kain tenun. "Semoga ini terus dijaga sampai kapan pun," ujar Bona.
Namun kendala yang dialami saat ini adalah ketersediaan kapas yang semakin berkurang. Para penenun generasi sekarang lebih memilih cara instan dengan membeli benang di toko dan mengandalkan pewarna kimia. Bona dan Muti sama-sama berharap agar pemerintah mendorong budidaya kapas dan tanaman yang biasa dijadikan pewarna alami. Setiap desa atau kelompok tenun wajib memiliki bahan baku itu.
Kedua nenek ini senang, semakin banyak orang pada generasi sekarang yang kembali memuliakan tenun ikat. Mereka berharap, motivasi generasi sekarang tidak sebatas mengejar keuntungan ekonomi. Motivasi itu bakal mudah surut. Lebih dari itu, menenun demi merawat budaya yang diwariskan leluhur sejak turun temurun. Seperti Bona dan Muti yang terus menenun hingga akhir hayat.