Fauzi Azim, Perawat Detak Jam Gadang
Mencintai pekerjaan menjadi mantra jitu bagi Fauzi Azim (59) dalam melakoni perannya sebagai petugas perawat Jam Gadang selama 15 tahun.
Mencintai pekerjaan menjadi mantra jitu bagi Fauzi Azim (59) dalam melakoni perannya sebagai petugas perawat Jam Gadang selama 15 tahun. Di masa pensiunnya, Fauzi masih mengabdi untuk menjaga napas jam yang telah berdentang melintasi tiga zaman.
Jarum Jam Gadang menunjukkan pukul 15.10, Sabtu (7/11/2020). Sepuluh menit sebelumnya, lonceng jam berdentang tiga kali. Lonceng Jam Gadang berdentang setiap tiga puluh menit. Bunyi lonceng satu kali adalah penanda setengah jam. Setengah jam berikutnya, lonceng berbunyi sebanyak jumlah waktu yang ditunjuknya.
Sore itu, lantai di kawasan Jam Gadang di Bukittinggi, Sumatera Barat, masih basah oleh sisa hujan. Puluhan pengunjung berwisata di sekitarnya. Awan mendung masih menggantung di atas langit. Dengan latar kelabu itu, menara Jam Gadang setinggi 26 meter itu semakin bersinar dengan cat putihnya.
Adalah Fauzi Azim, salah seorang petugas yang memastikan Jam Gadang tetap berdetak dan menunjukkan waktu pada orang-orang di sekitarnya. Pria beranak tiga dan bercucu enam itu paling senior di antara dua petugas lainnya. Satu setengah dekade sudah ia mendedikasikan dirinya untuk ikon Kota Bukittinggi itu.
Fauzi tidak pernah menyangka bakal menjadi petugas perawat Jam Gadang. Kiprahnya mengabdi untuk Pemerintah Kota Bukittinggi dimulai sebagai pekerja harian lepas sejak tahun 1983. Sehari-hari ia menjadi petugas kebersihan di taman-taman kota, termasuk di kompleks Jam Gadang, yang waktu itu masih dikelola Dinas Kebersihan dan Pertamanan.
Keterampilan merawat Jam Gadang ini ditransfer secara turun temurun.
Dua dekade mengabdi, Fauzi seolah berjodoh dengan Jam Gadang. Tahun 2005, ia dikader sebagai penerus oleh Anwar Kasida (80), petugas perawat jam sebelumnya. Dari seniornya itu lah, Fauzi belajar melakukan servis berkala, menyetel, serta memperbaiki kerusakan pada mesin Jam Gadang.
“Keterampilan merawat Jam Gadang ini ditransfer secara turun temurun,” kata Fauzi di sela-sela kegiatannya di Jam Gadang, Sabtu (7/11/2020) sore. Menurut dia, tidak sulit mempelajari cara merawat dan memperbaiki perangkat mesin Jam Gadang. Kuncinya adalah tekun, teliti, dan sabar.
Fauzi mulai secara penuh mengambil alih tongkat estafet sebagai perawat Jam Gadang tahun 2008. Saat itu seniornya, Anwar Kasida, memasuki masa purnabakti. Sekarang, selain Fauzi, ada pula Meri Novia (40) dan Hendra Jaya (38), perawat Jam Gadang yang ia kaderisasi sejak 2019.
Perawatan
Menara Jam Gadang (jam besar) didirikan tahun 1926. Arsiteknya adalah dua putra asli Minangkabau, yaitu Yazid Sutan Maruhun dan Rasid Sutan Gigi Ameh.
Adapun mesin jam dan loncengnya dibuat oleh perusahaan B Vortmann di Recklinghausen, kota di bagian barat Jerman, tahun 1926. Seperangkat mesin jam tersebut dihadiahkan oleh Ratu Wilhelmina dari Belanda kepada sekretaris Kota Bukittinggi waktu itu.
Jam Gadang pun telah berdetak melintasi tiga zaman, yaitu zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan zaman kemerdekaan hingga sekarang. Setiap periode ditandai perubahan bentuk atap menara, yakni atap seperti kubah gereja (Belanda), atap mirip atap kuil (Jepang), dan atap menyerupai atap rumah gadang (sejak masa kemerdekaan).
Fauzi menjelaskan, empat unit jam di keempat sisi menara Jam Gadang digerakkan seperangkat mesin yang bekerja berdasarkan gaya gravitasi. Sebuah bandul seberat 90 kilogram bergerak turun sampai sejauh sepuluh meter memutar seperangkat roda gigi mesin jam. Sekali sepekan, bandul mesti diengkol untuk bisa kembali turun hingga seminggu berikutnya. Sistem kerja serupa juga diterapkan untuk lonceng jam.
Menurut dia, sekali setiap empat bulan, para petugas perawat Jam Gadang yang ia pimpin berkumpul untuk melakukan servis berkala terhadap mesin jam. Selama servis, mesin jam dimatikan, lalu dibersihkan semua girnya dari kotoran atau debu yang menempel. Setiap tiga hari, petugas juga menyemprotkan minyak WD untuk melumasi gir dan menghilangkan karat. Sekali tiap beberapa jam, petugas mengecek apakah jam berjalan normal atau tidak.
Sekilas, kata Fauzi, pekerjaan merawat cagar budaya itu terlihat mudah. Namun, di balik itu, ada hal-hal rumit yang tidak semua orang bisa melakukannya. Apalagi, usia Jam Gadang tak lagi muda. Hanya orang berpengalaman dan paham karakteristik mesin jam itu yang bisa merawat dan memperbaikinya.
Kemudian baru disadari, ada satu gir yang tersenggol saat servis. Kalau tidak sabar, pasti tidak bakalan ketemu titik masalahnya.
Dari cerita yang didapat Fauzi dari Anwar Kasida, tahun 1972 mesin jam pernah mati berbulan-bulan. Beberapa orang tukang jam pun didatangkan, termasuk dari Jakarta, tetapi tak satu pun yang mampu memperbaiki. Akhirnya, Anwar sendiri yang menemukan titik kerusakan mesin dan memperbaikinya. “Bahkan, tukang jam saja angkat tangan,” ujar Fauzi.
Selain keterampilan dan pengalaman, kesabaran dan ketelitian juga sangat dibutuhkan dalam merawat dan memperbaiki Jam Gadang. Suatu hari tahun 2017, jam tak mau hidup seusai servis berkala. Setelah hidup pun, mesin jam berulang kali mogok. Fauzi dan petugas lainnya tak tahu pangkal masalahnya.
“Sampai dua hari jam mati waktu itu. Kemudian baru disadari, ada satu gir yang tersenggol saat servis. Kalau tidak sabar, pasti tidak bakalan ketemu titik masalahnya,” kata Fauzi.
Mesin Jam Gadang termasuk tangguh karena sudah beroperasi sejak 94 tahun silam. Namun, usia memang tidak pernah berdusta. Ibarat manusia lanjut usia, kata Fauzi, mesin Jam Gadang sudah berkurang kemampuannya. “Sejak gempa (tahun 2004-2009), terutama tahun 2016, ia sudah sering ‘batuk-batuk’,” ujarnya.
Menurut Fauzi, mesin Jam Gadang beberapa tahun terakhir lebih sensitif. Ketika gempa, mesin jam sering mati karena tidak tahan terhadap goncangan. Tidak hanya itu, beberapa kali mesin jam mati karena ulah seekor cicak. Salah satu gir pendorong detik jam telah diganti dengan kayu dengan pertimbangan agar gir lain yang sulit diganti tidak aus dan rusak. Karena gir kayu itu tidak dikunci agar mudah diganti, keberadaannya mudah tergeser oleh makhluk seperti cicak.
Selain itu, kata Fauzi, sekarang relatif sulit mencari setelan normal mesin Jam Gadang. Kadang-kadang mesin jam bisa mati tengah malam. Kadang-kadang jarum jam berputar terlalu cepat atau terlalu lambat, hingga 5-10 menit lebih cepat atau lebih lambat dari jam biasa. Hal tersebut terjadi tidak menentu, kadang bisa terjadi 2-3 kali sebulan, kadang bisa tidak terjadi sama sekali. Seorang petugas perawat Jam Gadang harus sigap mengatasi masalah ini.
Dedikasi
Kecintaan terhadap pekerjaan membuat Fauzi betah sebagai petugas perawat Jam Gadang. Di saat sejumlah sejawatnya berpindah-pindah ataupun dipindah ke tempat lain, ia tetap setia pada Jam Gadang. Sejak menjadi petugas perawat jam, Fauzi mencurahkan hidupnya untuk merawat Jam Gadang. Namun, dedikasinya sering tak dihargai dan dianggap remeh oleh pengunjung dan orang sekitar.
Kata Fauzi, tugas merawat Jam Gadang dibagi menjadi dua giliran, yaitu giliran pertama pukul 07.00-15.00 dan giliran kedua pukul 15.00-22.00. Khusus Kamis hingga akhir pekan, pada giliran kedua ada dua orang yang bertugas.
Setiap hari, para perawat Jam Gadang harus memastikan jam terus berdetak. Selain itu, ada pula tugas sampingan, antara lain membersihkan pekarangan dan lantai I-IV menara, serta menyampaikan pengumuman kepada pengunjung sekitar.
Capek-capek merawatnya di sini, tiba-tiba jam mati, kami kena marah. Ada yang melaporkan ke pimpinan. Padahal, kadang kami sedang servis atau jam mati mendadak. Ya, dibawa sabar saja.
Selama menjadi petugas perawat, Fauzi belum pernah mengambil cuti sekali pun, termasuk saat Lebaran. Pernah sekali ia mengajukan cuti tetapi ditolak atasan karena perannya sangat dibutuhkan. Fauzi hanya libur sekali dalam sepekan secara bergantian dengan dua petugas lainnya. Saat libur Lebaran dan libur sekolah, Fauzi dan rekan-rekan harus kerja lembur.
“Capek-capek merawatnya di sini, tiba-tiba jam mati, kami kena marah. Ada yang melaporkan ke pimpinan. Padahal, kadang kami sedang servis atau jam mati mendadak. Ya, dibawa sabar saja. Kami paham, masyarakat tidak mau tahu, yang penting jam harus hidup,” kata Fauzi.
Di masa pensiunnya sebagai PNS dengan golongan 2C, sejak Juni 2019, Fauzi masih mengabdi untuk merawat Jam Gadang. Setelah pensiun, atasan Fauzi memintanya untuk tetap merawat cagar budaya yang telah dianggapnya sebagai rumah itu. Sekarang, Fauzi berstatus tenaga kontrak.
Fauzi tidak tahu sampai kapan ia bakal mengabdi untuk Jam Gadang. Bisa jadi ia benar-benar pensiun setahun lagi saat usianya genap 60 tahun, bisa jadi hingga ia meninggal dunia. Walakin, Fauzi tidak begitu peduli karena ia sudah mempersiapkan kader-kader pengganti.
Fauzi Azim
Lahir: Bukittinggi, 5 Mei 1961
Alamat: Kelurahan Aur Tajungkang Tengah Sawah, Kecamatan Guguk Panjang, Bukittinggi, Sumatera Barat
Pendidikan: SMA Paket C (Lulus 2013)
Pekerjaan: Petugas Perawat Jam Gadang